Kamis, 26 Juni 2014

CERPEN - You Knock Me Out


             Kewajiban! Satu kata yang sudah akrab di telinga kita. Kewajiban adalah sesuatu hal yang harus kita lakukan tanpa kecuali. Kewajiban menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak kita sukai, bahkan enggan untuk dijalani. Sebenarnya, penting gak sih menjalani kewajiban itu?

 Jawabannya, PENTING. Satu hal, yang harus kita ketahui, kewajiban adalah suatu bentuk implementasi dari hak. Kewajiban adalah sesuatu yang dilakukan dengan tanggung jawab. Ingat, Tanggung Jawab!
***
Sore hari, kuputuskan bersepeda sore disekitaran Taman dekat rumahku. Dengan kaos warna oranye dan celana pendek yang kukenakan, ku bersepeda dengan santainya. Ku amati orang-orang yang datang mengunjungi taman tersebut. Tiba-tiba ada suara keras yang membuatku menoleh ke belakang dan memberhentikan sejenak sepedaku.

“Ma.. maaf, Bu. Maaf saya sungguh tidak melihat.. maaf, Bu.” Ujar Bapak tua yang sedang membawa gerobak menabrak dagangan Ibu penjual bakso keliling. Beberapa mangkuknya pun pecah dan berantakan. Seketika orang-orang didekat lokasi tersebut menghampiri.

 “Iya, Pak. Gak apa-apa.” Ujar Ibu penjual bakso sambil merapikan mangkuk.

“Ada apa, Bu?” Tanya seseorang.

“Nggak, nggak ada apa-apa, Pak. Ini agak sedikit berantakan.” Jelas Ibu tersebut dengan senyuman.

Aku pun menghampiri dan membantu memungut pecahan mangkuk.

“Wah, ganti rugi tuh, Pak.” Ujar warga yang datang.

“Ibu, saya mohon maaf. Tapi sungguh, saya tidak mempunyai uang untuk mengganti mangkuk-mangkuk Ibu.”

“Terus gimana tuh, Pak? Kasian kan Ibu ini. Bakso belum laku semua udah mecahin mangkuk.”

“Hati-hati makanya, Pak..”

“Tau.. gak liat apa, ada meja disini?”

“Wes, wes.. sudah, Pak. Tidak perlu diperpanjang. Saya sudah ikhlas, kok.” Ujar Ibu penjual bakso.

“Ikhlas bagaimana, Bu? Ini pecah semua.”

“Masih ada mangkuk lain kok, Pak. Di ember, yang belum dicuci. Terima kasih ya, Pak, Bu, sudah membantu saya merapikan ini.”

Seiring waktu, kerumunan orang-orang satu persatu pergi meninggalkan penjual bakso. Aku masih membantunya merapikan seperti semula.

“Maafkan saya ya, Bu.. Saya benar-benar tidak sengaja. Kepala saya pusing sekali.” Ujar Pak Tua.

“Bapak sudah makan?” Tanya Ibu Penjual Bakso.

“Belum, Bu. Uang saya habis dirampok sama preman didepan gang sana. Saya sedih sekali.”

“Duduklah, Pak. Saya akan membuatkan bakso untuk Bapak.”

“Te..Terima Kasih, Bu..”

Melihat sikap Ibu penjual bakso membuatku bergidik. Masih ada orang sebaiknya. Sudah ditimpa kemalangan, masih mau memberi makan bapak tua yang sudah memecahkan mangkuk di meja jualan. Aku pun segera menghampiri penjual bakso dan memesannya.

“Bu, baksonya satu ya. Pake Bihun aja.”

“Iya, neng.”

Aku segera duduk disamping Bapak Tua tadi. Melihat wajahnya yang pucat, aku sungguh iba.

“Bu. Kalau boleh, baksonya dibungkus saja ya. Saya teringat cucu saya seorang diri dirumah. saya khawatir dia belum makan.” Ujar Bapak Tua.

Aku tidak berani bertanya kepada Bapak Tua itu, wajahnya penuh penyesalan telah menghancurkan dagangan orang lain. Begitu sedihnya ia, sampai air matanya jatuh di pipi keriputnya.

“Pak, ini ada dua bungkus, yang satu untuk Bapak, dan satu untuk cucu Bapak.” Ujar Penjual Bakso sambil memberikan bungkusan Bakso.

“Subhanallah. Terima kasih, Ibu. Terima kasih.. Saya janji, saya akan menggantikan mangkuk bakso ibu, kalau saya punya uang.”

“Iya, Pak. Sama-sama. Masalah mangkuk, sudah, tidak apa-apa. Saya ikhlas.”

“Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu. Permisi.” Ujarnya sambil pamit dengan wajah yang gembira.
Sungguh mulia Ibu ini, begitu sabar dan ikhlas. Tersadar dari lamunanku, Ibu penjual bakso pun datang menghampiriku membawa serta bakso pesananku.

“Makasih, Bu..”

“Iya Neng, Ibu juga berterima kasih ya, kamu udah mau bantuin Ibu beresin mangkuk.”

“Sama-sama, Bu. Bu, kok Ibu gak marah atau gak nuntut Bapak tadi untuk ganti rugi?”

Ibu itu pun tersenyum.

“Ibu percaya Allah punya rencana lain dibalik musibah yang Ibu alami. Anggap saja tadi teguran dari Allah, agar Ibu hati-hati.”

Seseorang laki-laki seusiaku datang menghampiri gerobak bakso.

“Bu, baksonya 30 bungkus ya. Ada kan?” Tanyanya.

Ibu tersenyum begitu lebar, ia bahagia sekali mendengar laki-laki itu datang membawa rezeki untuknya.

“Ada, Mas.. sebentar ya..” Ibu Penjual Bakso pun segera meracik bakso sesuai pesanan.

Aku tersenyum bangga pada Ibu penjual bakso ini. Begitu mulia hatinya, tutur katanya yang lembut membuat aku nyaman berbincang padanya. Hari ini aku mendapat ilmu, bahwa dibalik datangnya musibah, pasti Allah menggantikannya yang lebih baik.
***

“Suara lo tuh bagus banget, Sha. Gue suka merinding denger suara lo. Bener kata Mas Bena, Agnes Monica aja kalah sama lo. ” Puji Farhan, temanku di kelompok Paduan Suara.

“Suara lo juga bagus juga, kok” Balasku tersenyum.

Aku begitu senang mendengar pujian darinya. Sosok laki-laki yang sepertinya mulai kukagumi. Dari awal aku di audisi, dialah orang pertama yang menyapaku. Beberapa kali kata-katanya membuatku melayang bagai diatas awan. Entah, apa dia mempunyai perasaan yang sama.
***

Suatu malam, sambil mengerjakan makalah, kubuka twitter dan mengecek mention di laptopku. Banyak mention kiriman dari Farhan, yang mendukung dan menyemangatiku. Sampai akhirnya aku membuka profile dan begitu senangnya aku melihat inisial namaku disebutnya.

“Mulai jatuh cinta sama “S” ini”

S? Sasha? Aku? Apa benar Farhan menyukaiku? Ah, rasanya perasaan ini semakin menjadi-jadi.
***
Konser perdana Paduan Suaraku dimulai. Farhan begitu antusias membantuku merapikan dandanan. Dress putih dan hitam yang kukenakan begitu sepadan dengan kemeja yang dikenakan Farhan, aku terlihat cantik sore ini.

Perasaanku semakin menjadi-jadi tatkala Farhan terus berada disampingku.

“Sekarang, giliran Kelompok 3..” Ujar MC acara penyambutan anggota baru paduan suara kampusku. Kelompokku pun maju, dan tampil dengan penuh rasa percaya diri.

Konser berjalan dengan sangat lancar. Kelompokku berhasil membawakan lagu Cinta dari Chrisye dan Ekspresi dari Titi DJ dengan konsep yang sangat berbeda dari kelompok lain. Kelompokku menang juara pertama sebagai Penampilan dan Pemilihan Lagu Terbaik.

Acara ditutup dengan sesi foto-foto. Semua momen diabadikan. Aku bahagia sekali, aku berjanji akan latihan sungguh-sungguh seperti kakak-kakak senior yang berhasil menjadi Anggota Paduan Suara terbaik.

Tapi, kemana Farhan? Tak kulihat dia disekitarku? Ku arahkan pandanganku ke segala arah. Ternyata Farhan tengah berfoto dengan teman-teman cowoknya. Aku pun menghampirinya.

“Han, foto sama Kak Tisha yuk?” Ajakku.

“Duluan aja Sha, gue mau foto sama Sherly dulu.” Ujarnya sambil berlalu meninggalkanku.

“Sherly?” Aku menghela nafas.

“Sasha.. Ayo sini foto.” Panggil Dina. Aku pun menghampirinya.

Selesai acara foto, aku mengajak Hesty untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sebenarnya, bukan hanya karena sudah malam, tapi karena aku sudah jengah diabaikan oleh Farhan, dan lebih memilih bersama Sherly.

Tanpa pamit pada Farhan seperti biasanya, aku pergi meninggalkannya yang sepertinya masih sibuk dengan urusannya. Aku pulang menuju parkiran mengambil motor bersama Hesty.
***

Saat kuliah pun, aku masih terpikir mengapa aku diacuhkan seperti tadi malam. Sherly dan Farhan sama-sama berada di Jurusan Psikologi. Sedangkan aku di Akuntansi. Jelas, mereka mungkin lebih sering bertemu.

“Sasha, gimana konsernya? Bagus gak?” Tanya Andri teman sekelasku.

Aku hanya mengangguk.

“Syukurlah. Eh, kemarin udah gue tanda tanganin tuh absen lo. untung dosen gak absen balik.”

“Makasih ya, Ndri.”

Yang kutahu, Andri mempunyai perasaan yang khusus padaku, kelakuannya yang baik dan sangat perhatian, membuat teman-teman dikelasku yakin kalau Andri menyukaiku. Aku menghargainya, tetapi aku lebih menghargai temanku Friska yang lebih dulu mengagguminya.

“Nanti lo latihan padus lagi?”

“Iyalah, kemarin kan awal. Sekarang bener-bener latihan asli.”

“Awas jangan sampe malah jatuh nilai-nilai kuliahnya, padus kan cuma buat mengisi waktu senggang aja.” Jelasnya.

“Iya, Ndri...”
***

“Sasha.” Panggil Mas Bena pelatih vokal padaku.

“Iya?”

“Kapan jadwal private vokal kamu?”

“Katanya Kak Tisha sih, aku kebagian hari senin jam 2.”

“Oh udah kebagian? Yaudah, senin besok, kamu latihan vokalnya sama saya ya.”

“Hah? Iya.. Iya Mas Bena.” Ujarku senang.

Sungguh aku sangat beruntung dapat dilatih langsung oleh pelatih vokalnya. Kebanyakan teman-temanku dilatih vokal oleh kakak-kakak senior yang lebih paham. Wah, bersyukur sekali aku mendapat kesempatan ini.

Saat pulang latihan, Farhan yang ditunjuk sebagai ketua kelompok 3, mengabsen nama-nama teman yang hadir latihan hari ini. Beberapa teman berebut minta dicatat kehadirannya oleh Farhan. Aku pun melakukannya. Kuteriakan namaku di telinganya, tetapi saat dia menuliskan huruf S, kupikir akan menuliskan namaku. Ternyata Sherly. Aku tercengang. Padahal Sherly berada jauh darinya, sedangkan aku berada tepat di sisi kirinya. Aku mundur beberapa langkah menjauhinya. Sampai akhirnya Farhan menyadari bahwa namaku lah yang belum ditulisnya. Akhirnya, namaku menjadi nama terakhir di absen tersebut. Sepele memang, tapi perasaan jatuh cinta ini membuat aku sedikit sakit hati diacuhkan oleh orang yang pernah kukagumi.
***

Sampai dirumah, Ayahku telah menungguku pulang. Dan memanggilku untuk duduk mengobrol dengannya.

“Katanya kemarin konser, kok masih latihan?” Tanya Ayahku.

“Iya Yah, kan latihan terus. Sekarang latihannya dijarakin, kalau kemarin dua minggu full karena pendidikan dasar anggota baru, kalau sekarang satu minggu tiga kali latihan.” Jelasku.

“Mending kamu udahan deh, Sha. Ayah gak mau kamu jadi lupa sama kuliah kamu. Ayah kan kuliahin kamu bukan untuk ikut kelompok paduan suara, tapi untuk pendidikan sama masa depan kamu.”

Aku begitu sedih mendengar pernyataan Ayah yang tiba-tiba membuatku meneteskan air mata. Menyanyi adalah hobbiku, sebagian dari hidupku adalah menyanyi. Lolos dari Audisi Paduan Suara adalah suatu kebanggan terbesar yang sangat berarti untukku.

“Kalau kamu memang mau nyanyi, kamu bisa berkarir sendiri, bukan berkelompok seperti itu. Ayah pernah ikut nyanyi berkelompok, lalu main Band. Dan seandainya Ayah ikut rekaman waktu itu, mungkin Ayah akan menjadi orang yang terkenal sekarang, tapi Ayah sadar, main Band bukan jaminan yang baik di masa depan. Akan ada masanya kita tergeser oleh  artis-artis baru yang lebih baik. Makanya Ayah memutuskan untuk keluar dari Band dan fokus pada sekolah. Dan Ayah mau, kamu jadi orang yang sukses, Sha.”

Aku benar-benar sedih mendengarnya. Tapi memang benar, selama aku mengikuti latihan dua minggu full kemarin, aku banyak meninggalkan kuliahku. Tugas pun menjadi terlantar. Aku sadari itu. Tapi, bagaimana dengan janjiku akan latihan dengan baik? Bagaimana dengan latihan private vocal bersama Mas Bena?

Aku mungkin tidak dapat menjalani keduanya dengan baik. Dan lagi, disatu sisi, tidak ada yang dapat kupertahankan untuk tetap berada di kelompok paduan suara. Ayah sudah tidak memberiku izin, kuliahku terlantar, dan lagi... Farhan, juga tidak bisa membuatku bertahan di UKM tersebut. Aku mundur. Aku siap meninggalkan ilmu yang baru saja ingin kuraih, berdiri diatas panggung besar dan disaksikan jutaan pasang mata seperti kata seniorku yang telah berhasil membawa pulang penghargaan Juara 1 Lomba Paduan Suara di Grand Prix-Pattaya Thailand, tahun lalu.
***

Kini aku fokus menjalani kuliahku. Hubungan pertemanan yang kurang baik dikelas karena aku sering meninggalkan kelas, kini mulai ku bina. Belum telat rasanya membuat semuanya menjadi baik. Dan belum telat rasanya membuat Andri menyukaiku kembali. Walau tak yakin, karena akhir-akhir ini Andri jarang menghubungiku, aku yakin aku bisa bersamanya.

Saat kumpul bersama teman satu genk-ku yang diberi nama “RUMPI” Yusi, menyarankan sahabat-sahabatnya untuk menutup aurat seperti dirinya. Menutup aurat adalah kewajiban yang telah diperintah Allah SWT dalam Al-Quran.

Kusadari diriku belum menutup aurat. Aku niat akan mengenakan jilbab saat aku dipersunting nanti. Saat seorang pria datang menemui orangtuaku dan membawaku dalam suatu ikatan pernikahan, maka saat itulah, aku akan menutup aurat untuk menandakan tanda bakti padanya.

Alasan ini bukan tanpa sebab. Karena aku begitu bingung dengan kehidupanku yang tak jauh dari perempuan berhijab. Saat TK, SD, SMP, SMK semua teman-temanku menutup kepalanya dengan jilbab. Apakah aku harus dikelilingi dengan wanita hijab? Apa aku tidak bisa memiliki teman yang biasa saja, tak perlu berhijab seperti kebanyakan orang?

Bukan aku membencinya, tetapi aku merasa belum pantas dan siap untuk mengenakan jilbab. Aku bersekolah di SD Negeri, dan setiap hari jumat wajib mengenakan jilbab, tapi aku malah enggan menggunakannya. Ketika SMP, orangtuaku memilihkan Madrasah Tsanawiyah agar aku lebih dalam mengenal agama islam. Karena alasan terpaksa, akhirnya aku mengenakan jilbab untuk setiap harinya. Namun dirumah pun, aku masih berkeliaran keluaran rumah tanpa mengenakan jilbab untuk menutup auratku. Menginjak SMK, aku berniat tak menggunakan jilbab, sampai akhirnya wali kelasku menyuruhku untuk melanjutkan jilbabku, karena aku adalah alumni Madrasah Tsanawiyah dan alasan kewajiban. Karena alasan terpaksa juga, aku menggunakan jilbab ke sekolah. Kini saat kuliah, tak ada bisa melarangku untuk tidak menggunakan jilbab. Tak mungkin dosenku melakukan hal yang sama seperti wali kelasku, apalagi kampusku bebas. Sekali lagi ketegasanku adalah, AKU BELUM BISA DAN BELUM SIAP!

Di genk rumpi, genk-ku berjumlah 10 orang. Semuanya mengenakan jilbab, terkecuali Aku, Diana, dan Nia serta mereka yang beragama kristen. Dalam kegiatan beribadah, aku selalu mengikuti mereka yang menjalankan sholat wajib 5 waktu. Bukan karena alasan ikut-ikutan. Tapi aku memang menyadari bahwa sholat adalah suatu kewajiban umat beragama islam untuk mendapatkan ridha Allah SWT, dan merupakan hal yang pertama kali dihisab saat aku menemui sang Khaliq.

Teman-temanku menyadari, bahwa sesungguhnya dalam hal beribadah, aku cukup paham dan mengerti. Namun, mengapa aku tidak mengenakan jilbab, kalau tahu bahwa jilbab adalah suatu perintah Allah?
***

Suatu hari, aku dikejutkan dengan salah seorang temanku yang menggunakan hijab ke kampus. Merupakan suatu hal yang indah menurutku. Karena ia lebih cantik mengenakan hijab itu. Seraya, teman sekelas pun memuji atas perubahannya hari ini.

“Subhanallah, Ninda. Kamu cantik pake jilbab itu.” Ujar Yusi.

“Iya cantik banget...” Kataku.

“Iya, ssst.. jangan digituin ah, malu..” Ujar Ninda.

“Berhijab gak perlu malu. Bagus kok.. Sasha, Diana sama Nia kapan nyusul Ninda?” Celetuk Yusi.

“InsyaAllah, Yus..” Ujarku dan Diana.
***

Dalam lamunanku saat malam hari, aku terpikir tentang hari ini. “Mengapa Ninda mau mengenakan hijab? Semakin didesak deh sama Yusi untuk berhijab. Ah, pokoknya aku nanti ajalah.” Ujarku dalam hati.

***

Keesokkan hari, saat datang ke kampus, aku terkejut melihat Riani ketua kelasku datang mengenakan hijab. Begitu cantiknya ia dengan hijab model sekarang. Yusi semakin melirik tajam ke arahku, sambil berkata:

“Kapan nyusul?”

Aku hanya tersenyum kuda menjawab pertanyaannya. Lagi-lagi, hatiku belum terketuk untuk mengatakan YA, aku mau berhijab. Astagfirullah!
***

Kehidupan kampusku berjalan normal seperti biasa, belum ada tanda-tanda temanku lagi menutup auratnya. Sampai suatu hari, tepat dua hari Riani mengenakan jilbab, aku terkejut dengan kedatang Riani tanpa jilbab.

“Riani, jilbabnya kemana? Kok gak dipake?” Tanyaku.

“Iya nih, tadi buru-buru gak sempet pake jilbab.” Jelasnya.

“Haha parah Riani, ah berarti kalo besok gue buru-buru, gak usah berhijab gitu?” Celetuk Rika.

“Sst.. Rika..”

“Iya iya, maaf ya.. lupa..” Ujar Riani malu.

Jilbab seperti mainan baginya. Aku sungguh kesal melihatnya. Mengapa berani menutup lalu membuka kembali jilbab yang dikenakannya? Walau aku belum berhijab, ada satu kekesalan dalam hatiku pada bentuk penghinaan agama islam.

“Kalau belum siap, jangan kayak gorden buka tutup, kan malu sama yang non islam, kesannya mempermainkan agama islam.” Kataku dalam hati.
***

Aku masih belum menemukan makna jilbab dibalik ini semua. Aku sangat berpegang teguh pada agamaku, aku rajin mengerjakan ibadah wajib dan sunah. Namun, hati ini belum sama sekali tergerak untuk menutup auratku.

Andri. Orang yang pernah dekat denganku, ternyata memilih mundur dan mendekati seorang perempuan teman kelasku, Jihan. Jihan begitu cantik nan anggun, dengan jilbab menghiasi kepalanya. Rupanya Andri menganggumi Jihan, saat ia tak berkomunikasi lagi denganku. Aku tak kecewa, karena mungkin aku memang belum merasakan adanya getaran cinta untuk Andri. Aku tersenyum melihat dekat dengan Jihan. Apapun yang terbaik untuknya, aku turut mendoakannya.

***

Bak mati satu tumbuh seribu. Seseorang mengejutkanku dengan tingkahnya yang tak biasa denganku. Dia teman satu kelompokku, namun beberapa hari ini adalah hal yang tak wajar karena ia mendekatiku terlalu berani. Ia secara terang-terang mendekatiku, sampai teman-temanku berpikir, dia menyukaiku. Namanya Muhammad Faras. Baru kusadari wajah dan sifatnya sangat mirip dengan sahabat SMP-ku bernama Rizwan. Terkadang aku merindukan sosok Rizwan ada padanya. Kekonyolannya, keseriusannya, dan kepandaiannya dalam memecahkan soal matematika, membuatku selalu menyamai Faras dengan Rizwan. Apa kabarnya sahabatku itu? Lama tak memberi kabar padaku setelah kami Ujian Nasional SMA.

Perasaanku semakin berkecamuk ketika semua sifat Faras mirip dengan Rizwan. Aku tak dapat berkata apapun. Masalah di waktu dulu antara aku dengan Rizwan masih membekas sampai sekarang, dan terbawa hingga Faras mendekatiku. Apa yang harus aku lakukan? Menjauhi Faras agar aku tak mengingat Rizwan? Tapi, itu terlalu kekanak-kanakan. Lalu, bagaimana dengan aku? Melihat Faras saja aku tak sanggup. Bagai pinang dibelah dua, mereka sungguh membuat aku kembali ke masa dimana aku mencintai sahabatku sendiri.
***

“Faras, seneng banget sih lo ngeledekin Sasha? Ntar jatuh cinta lho!” Celetuk Helda.

“Emang kenapa?” Tanyanya.

“PHP lo.” Sahut Helda.

Itu lah jawaban Faras saat ditanya oleh teman-temannya tentang perlakuannya padaku. Ia sering membuatku tersipu, dan kadang memukulnya karena lawakannya yang terlalu berlebihan. Tak menampik, bahwa kedekatanku selama beberapa bulan ini membuatku agak sedikit jatuh hati padanya. Hal tersebut tak elak dari perasaanku dengan Rizwan di masa lalu. Aku sungguh egois, karena yang kulihat pada sosok Faras adalah Rizwan. Aku sungguh-sungguh merindukan hadirnya sahabatku disini.

Tidak ada maksud untuk mencintai sahabatku sendiri, aku sangat memegang komitmen yang kami buat saat memutuskan untuk bersahabat. Tapi kata “CINTA” yang Rizwan ucapkan padaku sebelum aku jatuh hati padanya membuat persahabatan kami mulai meretak. Dan akhirnya, aku pun ikut terhanyut dalam perasaan yang terlarang itu.

***
         “Faras itu sukanya sama Clara, bukan sama Sasha tau!” Ujar temanku saat aku masuk ke kelas. Mereka panik melihat kedatanganku, dan berusaha mengalihkan obrolan ke topik yang lain.

Aku menghampiri mereka.

“Emang kenapa kalau Faras suka sama Clara? Clara cantik kok..”

“Bukannya lo suka sama Faras?” Ujar Gina.

“Nggak. Kata siapa?”

“Oh.. Syukurlah. Karena orang yang baru kita omongin tuh baru dateng..” Tiara menunjuk Faras dan Clara yang baru memasuki pintu kelas.

“CIEEEEEEE...” Ucap teman-teman melihat kedatangan mereka. Tak ingin dibilang cemburu, aku turut mengatakan hal itu pada mereka.

Sesungguhnya CIE adalah suatu bentuk rasa cemburu yang tersembunyi. Ciyus Ini Envy! Yaaah, begitulah kira-kira.

Aku turut tersenyum melihat Clara begitu bahagia. Terlebih Clara adalah teman baikku.

***

Aku mulai membandingkan kelebihan diriku dengan orang-orang yang pernah merebut laki-laki yang aku kagumi. Apa kurangnya aku? Mengapa banyak orang begitu bahagia akan cinta yang baru ia dapatkan, sementara aku sangat tersiksa atas hubungan mereka? Mengapa wanita lain mudah sekali mendapatkan seorang kekasih yang dia inginkan dengan mudah? Sedangkan aku, mengapa susah untuk dekat dengan seseorang yang aku kagumi walau hanya sekedar berbalas? Farhan dengan Sherly, Andri dengan Jihan dan Faras dengan Clara, apa maksudnya?

Aku menyadari, dari ke semua perempuan yang kusebutkan tadi, semuanya adalah wanita berhijab. Perempuan yang menutup auratnya dari atas sampai kebawah. Disamping mereka cantik, mereka mempunyai nilai plus dalam akidahnya. Berbeda denganku yang masih enggan mengenakan jilbab untuk menutup aurat.
***

Sebuah acara gosip pagi hari mampu membuatku berdecak kagum menyaksikan acara tersebut. Dimana, seorang wanita muslimah akhirnya dipersunting oleh laki-laki soleh yang rupawan. Dia, Oki Setiana Dewi. Wanita yang menjadi contoh paling baik untuk seluruh wanita Indonesia. Tutur katanya yang santun, cantik dan solehah ini juga mampu membuatku kagum padanya. Oki Setyana Dewi melangsungkan pernikahannya dengan cara yang berbeda dengan pernikahan orang lain pada umumnya. Antara mempelai pria dan wanita duduk secara terpisah sebelum mereka sah menjadi sepasang suami istri. Tahap pengenalan mereka pun bukan dengan pacaran, melainkan Ta’aruf. Sungguh mereka adalah pasangan yang cocok dan dapat menjadi contoh yang baik dalam zaman yang sudah menyimpang dari ajaran Allah yang sebenarnya.

“Untuk pertama kalinya, saya memegang tangan suami saya selama mengenal dia. Untuk saat ini, kami mau pacaran dulu.”Ujar Oki.

Aku berdecak kagum mendengarnya sambil ikut tersenyum membayangkan betapa indahnya pacaran setelah menikah seperti Mbak Oki Setyana Dewi. Aku sangat menanti datangnya hari itu dalam hidupku.

Kabar bahagia ini, akhirnya aku sampaikan kepada sahabatku di SMA. Betapa aku sangat menganggumi keteguhannya menjalin sebuah ikatan, tanpa status “Pacar” tetapi menjalin ikatan Ta’aruf sampai mereka halal menjadi sepasang suami istri.

“Sha, cewek baik itu pasti jodohnya baik. Udah takdirnya dari sana itu..” Ujar Rizka.

Kata-kata Rizka begitu membekas sampai hari ini. Mungkin benar apa yang ia ucapkan. Karena Allah Maha Adil. Apa yang ia tanam, maka ia akan mendapatkan hasilnya dari usaha dan kerja kerasnya. Aku pun akhirnya mendapatkan suatu petunjuk. Laki-laki manapun, pasti menginginkan calon pedamping hidupnya yang sholehah dan penghuni surga.

Aku segera berkaca diri. Sudah layakkah aku menjadi seorang wanita sholehah yang menjadi bidadari penghuni surga? Sudah pantaskah aku memberikan yang terbaik untuk calon suamiku kelak? Bagaimana jika aku mendapatkan suami yang tidak sholeh akibat aku juga yang kurang menaati perintah Allah? Ya Allah, berikanlah aku laki-laki yang sholeh, laki laki yang mampu membawaku ke surga-Mu dengan izin dan ridho-Mu, laki-laki yang akan memberikanku keturunan yang sholeh dan sholehah. Kabulkanlah doaku, ya Allah..

***

Rasa sakit karena ketidakberuntungnya aku dalam mendapatkan seorang kekasih sudah sedikit tersingkir dari benakku. Tak perlu mencari pacar yang sholeh. Kelak laki-laki sholeh itu akan meminangku di waktu yang tepat. Dalam benakku kini, bukan Allah tidak menyanyangiku karena tidak memberikan aku seorang pacar, justru karena Allah menyanyangiku sehingga belum mendekatiku pada seorang laki-laki, agar terhindar dari fitnah dan zinah yang dapat terjadi karena belum adanya ikatan yang sah.

***

“Kakak, kita foto-foto, yuk..” Ujar Helen tetanggaku yang berusia 4 tahun.

Semenjak kepindahannya didekat rumahku, ia sangat akrab denganku. Aku yang menyanyangi anak kecil pun, ikut terhipnotis dengan tingkahnya yang membuat orang gemas bila didekatnya.

Anak cantik, lucu, pandai membuat orang tersenyum ini sering kukaitkan dengan tokoh kartun Masha and The Bear di salah satu stasiun televisi. Dengan poni rambut seperti Masha, aku mencoba menjadikan Helen seperti Masha, lengkap dengan kerudung pink milikku. Aku tertawa geli melihat Helen yang sangat cantik dan lucu. Ku abadikan momen tersebut di ponsel milikku. Salah satu celotehannya membuatku merinding dan terkejut.

“Kakak, kok kakak gak pake kerudung sih? Kan kakak cantik kalo lagi pake kerudung.” Ujar Helen yang membuatku sempat terbelalak.

“Ehm.. Emang kamu udah liat aku pake kerudung?”

“Udah, waktu lagi sholat pakai mukena.”

Deg. Jantungku serasa mau copot mendengarnya. Ternyata ia sering memperhatikanku saat aku sedang melakukan ibadah sholat.

“Kakak pake ini dong, coba.” Ia melepaskan kerudungnya, dan memakaikanku kerudung pink tersebut.

“Tuh kan cantik..”

Aku mengaca. Seperti ada bayangan pada kaca tersebut, memilih menutup aurat sebagai suatu kewajiban dan syarat masuk surga? Atau tetap egois dan acuh terhadap kain suci itu?

Aku benar-benar tersentuh atas saran malaikat kecil ini. Ia mampu membuatku tampil cantik dan ikhlas saat mengenakan jilbab ini.

***

Malam hari. Aku tak dapat menutup mataku dengan rapat. Aku tak bisa tertidur seperti biasanya. Seperti ada yang mengganjal yang membuatku susah menutup mata. Peristiwa sore tadi sepertinya yang menjadi penyebab tak bisanya aku menutup mata. Terlintas dalam pikiranku tentang akhir-akhir ini.

Sebenarnya apa yang aku cari lagi di dunia ini? Bukankah Allah menghidupkan para Mahluknya untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintahnya? Mengapa susah sekali mengatakan “YA aku mau berhijab, aku mau menutup auratku. Aku mau melaksanakan perintah yang Allah suruh pada seluruh umatnya.” Mengapa susah sekali? Apalagi yang ingin aku tunjukkan pada dunia dengan aurat yang masih terbuka? Bukankah Allah memerintahkan wanita untuk berjilbab dengan tujuan untuk melindungi wanita dari mata laki-laki yang tidak sopan? Dari tangan-tangan jahil yang tidak beradab? Mengapa seakan kita justru menonjolkan hal yang tidak patut diperlihatkan pada orang yang bukan muhrimnya?

Seluruh pertanyaan itu memutar-mutar dalam pikiranku. Begitu banyak mudharatnya, bila aku tidak menutup aurat. Lalu, ketika aku sudah mantap menutup auratku, bagaimana dengan pekerjaanku nanti? Bukankah pekerjaan di kantor, rata-rata mengenakan rok dan blazer terlihat cantik? Bagaimana dengan pandangan orang-orang yang melihat “aneh” atas perubahanku? Dan bukankah ketika sudah siap menutup aurat saat keluar rumah, berarti juga siap saat ke warung terdekat juga harus menutup aurat, bukankah itu berlebihan? Terlebih jarak warung hanya beberapa langkah dari rumahku? Dan bagaimana baju-baju lamaku yang rata-rata adalah pendek? Dan ternyata, sedikit sekali baju panjang yang kumiliki. Bagaimana dengan salinan pakaianku sehari-hari?

Pertanyaan sebanyak itu ternyata justru membuatku terlelap saat jam menunjukkan pukul 03.00 pagi.

***

Pagi hari. Aku segera mencuci muka dan mencari jilbab pink yang kemarin dikenakan oleh si Masha. Adikku begitu terheran-heran melihatku mengenakan kerudung dengan terburu-buru.

“Mbak. Ngapain pake kerudung?” Tanya Fino.

“Pantes gak sih, Fin?” Tanyaku balik.

“Mbak, yang namanya cewek kalo pake kerudung yaa cantik lah. Lagian mbak kenapa sih gak pake kerudung? Sholat udah mulai rajin, puasa sunnah udah biasa. Nunggu apa lagi sih, Mbak?”

Kerudung pink itu sudah melekat cantik di kepalaku. Terlihat anggun saat aku mengenakannya.

“Tuh kan cantik. Udah mbak, tutup kepalanya. Jangan dipamerin mulu ke orang. Dosa kan, mbak. Gak inget foto dari Kak Yusi apa?”

Aku mulai teringat akan gambar yang Yusi kirim kepadaku minggu lalu. Isi gambar tersebut adalah seuntai pesan yang sangat membuatku bergidik ngeri. Seperti ini:

“Satu langkah, anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka satu langkah ayahnya hampir ke neraka.”

“Sehelai rambut wanita terlihat oleh lelaki yang bukan muhrimnya dengan sengaja, maka 70.000 tahun balasan di neraka.”

Dan masih banyak lagi pesan bergambar yang Yusi kirimkan seperti itu. Aku semakin yakin untuk benar-benar menutup auratku tanpa adanya “paksaan”.

“Cantik kan, Mbak?” Tanya Fino menegaskan.

Tanpa terasa air mataku jatuh. Beginikah rasanya ikhlas menjalankan perintah Allah? Beginikah rasanya sempurna dengan penutup kepala ini? Ya Allah.. Terima kasih telah kau tunjukkan padaku hidayah yang indah ini. Terima kasih Kau tunjukkan jalan menuju surga-Mu. Aku berjanji dalam hati, aku akan mengenakan jilbab ini sampai aku dipanggil menghadap Sang Pencipta.

***

Aku datang ke kampus dengan rasa gugup. Gugup karena akan dilihat aneh oleh teman-teman dan gugup karena ini pertama kalinya aku mengenakan jilbab dengan hati yang ikhlas.

“Sashaa.. Subhanallah.. Cantik banget...”

“Sasha! Lu pake kerudung? Astaga, kiamat.....”

“Subhanallah, Sasha.. Cantik banget kamu...”

Dan masih banyak lagi pujian yang aku dapatkan dari teman-teman yang merasa takjub melihat perubahanku hari ini. Semoga ini bukan hanya sekedar “ikut-ikut” berjilbab. Tetapi memang Allah sudah memanggilku untuk segera berjilbab dan menutup aurat.

“Kalo Sasha udah jilbab-an, tinggal Yusi nih nyinggung-nyinggung gue..” Ujar Nia.

“Nia, kapan nyusul?” Tanya Yusi.

“Tuh, kan...”

***

“Sha, terinspirasi dari siapa pake jilbab?” Tanya Ryan saat tiba-tiba ia duduk disampingku.

“Hah? Ehm.. Ya gak tau. Namanya juga hidayah.” Jawabku.

“Kenapa gak dari dulu sih pake jilbab? Kan keburu ilang feelingnya.”

Aku seketika terkejut mendengar pernyataannya, apa maksud perkataannya? Memangnya, dia pernah menyukaiku?

“Maksudnya?” Tanyaku.

“Nggak.”

“Oh..”

“Oh iya, kalau lo butuh nasihat, pesan, lo bisa tanya sama ketiga kiyai di kelas ini.”

“Hah? Kiyai, siapa?”

“Kyai yang pertama Riza, yang kedua gue, yang ketiga Roni. Si Riza, biar nyeleneh, tapi dia anak pesantren dulunya. Jadi kalo lo punya pertanyaan agama, bisa tanya ke kita-kita.”

“Oh gitu. Oke..”

Aku mulai terpancing kata-kata Ryan. Bagiku, sosok Ryan adalah sosok yang jarang berbincang dengan orang lain, terutama denganku. Saat berbincang denganku, matanya yang coklat menatapku seakan menerkamku bulat-bulat. Wajahnya yang tampan baru kali ini kusadari saat ia berbincang padaku saat ini. Secara agama, ia mampu dikatakan menjadi pemimpin yang baik.

***

“Sha, kapan pakai rok kayak Yusi supaya jadi wanita muslimah yang benar? Kan manis kalau rok..” Seru Ryan saat aku menuju kelas.

“Hah? Gue belum punya rok, nanti deh..”

“Pake dong.. biar manis.”

Aku buru-buru meninggalkan kerumunan Ryan dan teman-temannya. Teman-temanku menyadari bahwa sepertinya, Ryan punya kekaguman padaku.

***

“Dari dulu kali, Sha. Dia suka sama lo, suka doang tapi.. gak ada niat buat pacaran.” Jelas Faras yang juga sahabat Ryan.

Aku sempat terkejut mendengar pernyataan Faras. Sejak dulu? Jangan-jangan, sejak Faras mulai mendekatiku. Karena semenjak Faras mendekatiku, dan teman-teman dekatku, ia bertanya banyak hal tentangku, bersikap berbeda dari sebelumnya. Lalu, tiba-tiba Faras menyatakan, bahwa ia sesungguhnya menyukai Clara secara terang-terangan.

Dan kini kusadari, mungkin Faras membantu Ryan mencari informasi tentangku melalui teman-temanku. Sehingga timbul kesan Faras menyukaiku.

Yusi mulai mengingatkanku bahwa wanita yang sholehah akan tetap jomblo sampai dia halal setelah akad nikah. Aku mengerti hal itu, walaupun terkadang aku iri pada teman-teman yang sudah menggandeng pacar kemana-mana, sedangkan aku? Hanya bisa terduduk diam menunggu kapan waktunya Allah memberikan seorang kekasih seperti wanita yang lain. Aku memang belum mempunyai perasaan khusus pada Ryan, karena ini terlalu mendadak. Aku tak pernah menyangka bahwa ada juga orang yang menaruh hati padaku, bahkan teman-temanku tahu hal itu. Tapi ini juga sungguh menyakitkan, tatkala laki-laki impian itu datang, sahabatku memperingatkan, haram hukumnya laki-laki berpacaran dengan wanita yang belum muhrim. Karena hal itu dapat menimbulkan fitnah, sampai zina. Nauzubillah’minzalik.

Salah satu status akun media sosial milik Yusi pun menyadarkanku.

“Mau pacaran sama wanita yang sholehah? Sayangnya, wanita sholehah gak pacaran.”

***

Ryan tetap berusaha mendekatiku, mengatakan hal yang manis padaku. Sampailah pada suatu pernyataan yang mencengangkan namun membuatku kagum padanya.

            “Sha, kalo ada laki-laki yang deket sama lo. Lo lihat apa tujuannya. Dia mau mengajak lo menghindari neraka, atau malah mencebloskan lo ke neraka? Karena banyak tipe laki-laki macam ini. Bilangnya sih mau pacaran sama wanita sholehah, tapi.. wanita sholehah kan gak pacaran. Begitupun laki-laki. Laki-laki yang sholeh, gak akan ajak wanitanya untuk pacaran, tapi kalau sudah siap, laki-laki sholeh itu akan mengajaknya untuk menghalalkan hubungannya dengan si wanita sholehah.” Jelas Ryan.

Aku terkesima dengan paparannya. Ia begitu mendalami agama islam. Pandangan islamnya sangat baik dan bijak. Ia seperti calon pemimpin keluarga yang aku dambakan. Terbukalah hatiku untuk tetap menjomblo sampai seorang laki-laki mengucapkan ijab qabul dihadapan orangtuaku. Biarlah hubunganku dengan Ryan tetap seperti ini. Tetap menjadi teman yang baik, tetap menjadi seorang teman yang mampu menghindariku dari siksa api neraka, dan menghindariku dari perbuatan zina.

Banyak sekali hidayah yang aku dapatkan setelah berhijab. Aku merasakan sebuah kebaikan dan pengetahuan islam perlahan masuk kedalam kehidupanku, memasuki lubang-lubang yang pernah terkikis karena kedengkian hati menjauhi perintah Allah. Begitu banyak hal-hal baik berdatangan menghampiri kehidupanku. 

Sebab Allah tidak akan merubah suatu takdir kita, kecuali kita berusaha dan berdoa. Saat aku menutup hati untuk tidak berhijab sebelum siap, Allah datangkan hidayah-hidayah yang tak pernah ku sangka. Dan semakin Allah memberikanku petunjuk, semakin pula kucari dan aku dalami maknanya, hidayah dan nikmat yang Allah berikan padaku sungguh terasa indah. Tak ada yang aku lakukan selain melakukan hal yang telah diperintahkan Allah, tidak akan aku kufuri lagi nikmat yang Allah berikan kepadaku dalam setiap hembusan nafas dan detak jantungku. Kini AKU BISA membiasakan diri menjalankan perintah Allah dengan menggunakan jilbab yang menutup mahkotaku, karena aku tidak ingin terbakar panasnya api neraka diakhirat nanti.

Dan untuk pertama kalinya, aku menunggu datangnya bulan Suci Ramadhan yang sebentar lagi akan menyapa seluruh umat islam dimuka bumi.  Untuk pertama kalinya aku ingin mengkhatamkan Al-qu’ran satu bulan penuh di bulan suci nanti. Untuk pertama kalinya pula, aku merasakan kedamaian dalam hidup ketika aku memutuskan untuk lebih jauh mengenal Allah dalam bertasbih, bertakbir dan bertahmid dihadapannya. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku, ampunilah segala keburukan sikapku selama ini. Tunjukkanlah aku jalan yang Engkau ridhoi.. Tunjukkan jalan menuju Surga-Mu. Aamiin.

Kisahku ini adalah sebagian kisah kecil dalam pencarianku mencari hidayah. Tak akan ada habisnya aku mencari segala hal yang belum aku ketahui. Semoga kisahku ini menjadi sebuah hidayah baru bagi pembaca.

Hidayah tak akan datang apabila kita tidak mencari dan berusaha. Dan hidayah itu akan datang ketika hati sejalan dengan niat dan usaha dalam mencari jalan menuju surga.