Kewajiban! Satu kata yang sudah akrab di telinga
kita. Kewajiban adalah sesuatu hal yang harus kita lakukan tanpa kecuali.
Kewajiban menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak kita sukai,
bahkan enggan untuk dijalani. Sebenarnya, penting gak sih menjalani kewajiban
itu?
Jawabannya, PENTING. Satu hal, yang harus kita
ketahui, kewajiban adalah suatu bentuk implementasi dari hak. Kewajiban adalah sesuatu yang
dilakukan dengan tanggung jawab. Ingat, Tanggung Jawab!
***
Sore hari, kuputuskan bersepeda
sore disekitaran Taman dekat rumahku. Dengan kaos warna oranye dan celana
pendek yang kukenakan, ku bersepeda dengan santainya. Ku amati orang-orang yang
datang mengunjungi taman tersebut. Tiba-tiba ada suara keras yang membuatku menoleh
ke belakang dan memberhentikan sejenak sepedaku.
“Ma.. maaf, Bu. Maaf
saya sungguh tidak melihat.. maaf, Bu.” Ujar Bapak tua yang sedang membawa
gerobak menabrak dagangan Ibu penjual bakso keliling. Beberapa mangkuknya pun
pecah dan berantakan. Seketika orang-orang didekat lokasi tersebut menghampiri.
“Iya, Pak. Gak apa-apa.” Ujar Ibu penjual
bakso sambil merapikan mangkuk.
“Ada apa, Bu?” Tanya
seseorang.
“Nggak, nggak ada
apa-apa, Pak. Ini agak sedikit berantakan.” Jelas Ibu tersebut dengan senyuman.
Aku pun menghampiri dan
membantu memungut pecahan mangkuk.
“Wah, ganti rugi tuh,
Pak.” Ujar warga yang datang.
“Ibu, saya mohon maaf.
Tapi sungguh, saya tidak mempunyai uang untuk mengganti mangkuk-mangkuk Ibu.”
“Terus gimana tuh, Pak?
Kasian kan Ibu ini. Bakso belum laku semua udah mecahin mangkuk.”
“Hati-hati makanya,
Pak..”
“Tau.. gak liat apa,
ada meja disini?”
“Wes, wes.. sudah, Pak.
Tidak perlu diperpanjang. Saya sudah ikhlas, kok.” Ujar Ibu penjual bakso.
“Ikhlas bagaimana, Bu?
Ini pecah semua.”
“Masih ada mangkuk lain
kok, Pak. Di ember, yang belum dicuci. Terima kasih ya, Pak, Bu, sudah membantu
saya merapikan ini.”
Seiring waktu,
kerumunan orang-orang satu persatu pergi meninggalkan penjual bakso. Aku masih
membantunya merapikan seperti semula.
“Maafkan saya ya, Bu..
Saya benar-benar tidak sengaja. Kepala saya pusing sekali.” Ujar Pak Tua.
“Bapak sudah makan?”
Tanya Ibu Penjual Bakso.
“Belum, Bu. Uang saya
habis dirampok sama preman didepan gang sana. Saya sedih sekali.”
“Duduklah, Pak. Saya akan
membuatkan bakso untuk Bapak.”
“Te..Terima Kasih,
Bu..”
Melihat sikap Ibu
penjual bakso membuatku bergidik. Masih ada orang sebaiknya. Sudah ditimpa
kemalangan, masih mau memberi makan bapak tua yang sudah memecahkan mangkuk di
meja jualan. Aku pun segera menghampiri penjual bakso dan memesannya.
“Bu, baksonya satu ya.
Pake Bihun aja.”
“Iya, neng.”
Aku segera duduk
disamping Bapak Tua tadi. Melihat wajahnya yang pucat, aku sungguh iba.
“Bu. Kalau boleh,
baksonya dibungkus saja ya. Saya teringat cucu saya seorang diri dirumah. saya
khawatir dia belum makan.” Ujar Bapak Tua.
Aku tidak berani
bertanya kepada Bapak Tua itu, wajahnya penuh penyesalan telah menghancurkan
dagangan orang lain. Begitu sedihnya ia, sampai air matanya jatuh di pipi
keriputnya.
“Pak, ini ada dua
bungkus, yang satu untuk Bapak, dan satu untuk cucu Bapak.” Ujar Penjual Bakso
sambil memberikan bungkusan Bakso.
“Subhanallah. Terima
kasih, Ibu. Terima kasih.. Saya janji, saya akan menggantikan mangkuk bakso
ibu, kalau saya punya uang.”
“Iya, Pak. Sama-sama.
Masalah mangkuk, sudah, tidak apa-apa. Saya ikhlas.”
“Sekali lagi saya minta
maaf ya, Bu. Permisi.” Ujarnya sambil pamit dengan wajah yang gembira.
Sungguh mulia Ibu ini,
begitu sabar dan ikhlas. Tersadar dari lamunanku, Ibu penjual bakso pun datang
menghampiriku membawa serta bakso pesananku.
“Makasih, Bu..”
“Iya Neng, Ibu juga
berterima kasih ya, kamu udah mau bantuin Ibu beresin mangkuk.”
“Sama-sama, Bu. Bu, kok
Ibu gak marah atau gak nuntut Bapak tadi untuk ganti rugi?”
Ibu itu pun tersenyum.
“Ibu percaya Allah
punya rencana lain dibalik musibah yang Ibu alami. Anggap saja tadi teguran
dari Allah, agar Ibu hati-hati.”
Seseorang laki-laki
seusiaku datang menghampiri gerobak bakso.
“Bu, baksonya 30
bungkus ya. Ada kan?” Tanyanya.
Ibu tersenyum begitu
lebar, ia bahagia sekali mendengar laki-laki itu datang membawa rezeki
untuknya.
“Ada, Mas.. sebentar
ya..” Ibu Penjual Bakso pun segera meracik bakso sesuai pesanan.
Aku tersenyum bangga
pada Ibu penjual bakso ini. Begitu mulia hatinya, tutur katanya yang lembut
membuat aku nyaman berbincang padanya. Hari ini aku mendapat ilmu, bahwa
dibalik datangnya musibah, pasti Allah menggantikannya yang lebih baik.
***
“Suara lo tuh bagus banget, Sha. Gue suka merinding denger suara lo. Bener kata Mas Bena, Agnes Monica aja kalah sama lo. ” Puji Farhan, temanku di kelompok Paduan Suara.
“Suara lo juga bagus
juga, kok” Balasku tersenyum.
Aku begitu senang
mendengar pujian darinya. Sosok laki-laki yang sepertinya mulai kukagumi. Dari
awal aku di audisi, dialah orang pertama yang menyapaku. Beberapa kali
kata-katanya membuatku melayang bagai diatas awan. Entah, apa dia mempunyai
perasaan yang sama.
***
Suatu malam, sambil mengerjakan makalah, kubuka twitter dan mengecek mention di laptopku. Banyak mention kiriman dari Farhan, yang mendukung dan menyemangatiku. Sampai akhirnya aku membuka profile dan begitu senangnya aku melihat inisial namaku disebutnya.
“Mulai jatuh cinta sama “S” ini”
S? Sasha? Aku? Apa
benar Farhan menyukaiku? Ah, rasanya perasaan ini semakin menjadi-jadi.
***
Konser perdana Paduan
Suaraku dimulai. Farhan begitu antusias membantuku merapikan dandanan. Dress
putih dan hitam yang kukenakan begitu sepadan dengan kemeja yang dikenakan
Farhan, aku terlihat cantik sore ini.
Perasaanku semakin menjadi-jadi tatkala Farhan terus berada disampingku.
“Sekarang, giliran
Kelompok 3..” Ujar MC acara penyambutan anggota baru paduan suara kampusku.
Kelompokku pun maju, dan tampil dengan penuh rasa percaya diri.
Konser berjalan dengan
sangat lancar. Kelompokku berhasil membawakan lagu Cinta dari Chrisye dan
Ekspresi dari Titi DJ dengan konsep yang sangat berbeda dari kelompok lain.
Kelompokku menang juara pertama sebagai Penampilan dan Pemilihan Lagu Terbaik.
Acara ditutup dengan
sesi foto-foto. Semua momen diabadikan. Aku bahagia sekali, aku berjanji akan
latihan sungguh-sungguh seperti kakak-kakak senior yang berhasil menjadi
Anggota Paduan Suara terbaik.
Tapi, kemana Farhan?
Tak kulihat dia disekitarku? Ku arahkan pandanganku ke segala arah. Ternyata
Farhan tengah berfoto dengan teman-teman cowoknya. Aku pun menghampirinya.
“Han, foto sama Kak
Tisha yuk?” Ajakku.
“Duluan aja Sha, gue
mau foto sama Sherly dulu.” Ujarnya sambil berlalu meninggalkanku.
“Sherly?” Aku menghela
nafas.
“Sasha.. Ayo sini foto.”
Panggil Dina. Aku pun menghampirinya.
Selesai acara foto, aku
mengajak Hesty untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Sebenarnya, bukan hanya karena sudah malam, tapi karena aku sudah jengah
diabaikan oleh Farhan, dan lebih memilih bersama Sherly.
Tanpa pamit pada Farhan
seperti biasanya, aku pergi meninggalkannya yang sepertinya masih sibuk dengan
urusannya. Aku pulang menuju parkiran mengambil motor bersama Hesty.
***
Saat kuliah pun, aku masih terpikir mengapa aku diacuhkan seperti tadi malam. Sherly dan Farhan sama-sama berada di Jurusan Psikologi. Sedangkan aku di Akuntansi. Jelas, mereka mungkin lebih sering bertemu.
“Sasha, gimana
konsernya? Bagus gak?” Tanya Andri teman sekelasku.
Aku hanya mengangguk.
“Syukurlah. Eh, kemarin
udah gue tanda tanganin tuh absen lo. untung dosen gak absen balik.”
“Makasih ya, Ndri.”
Yang kutahu, Andri
mempunyai perasaan yang khusus padaku, kelakuannya yang baik dan sangat
perhatian, membuat teman-teman dikelasku yakin kalau Andri menyukaiku. Aku menghargainya, tetapi aku lebih menghargai temanku Friska yang lebih dulu
mengagguminya.
“Nanti lo latihan padus
lagi?”
“Iyalah, kemarin kan
awal. Sekarang bener-bener latihan asli.”
“Awas jangan sampe
malah jatuh nilai-nilai kuliahnya, padus kan cuma buat mengisi waktu senggang
aja.” Jelasnya.
“Iya, Ndri...”
***
“Sasha.” Panggil Mas
Bena pelatih vokal padaku.
“Iya?”
“Kapan jadwal private
vokal kamu?”
“Katanya Kak Tisha sih,
aku kebagian hari senin jam 2.”
“Oh udah kebagian?
Yaudah, senin besok, kamu latihan vokalnya sama saya ya.”
“Hah? Iya.. Iya Mas
Bena.” Ujarku senang.
Sungguh aku sangat
beruntung dapat dilatih langsung oleh pelatih vokalnya. Kebanyakan
teman-temanku dilatih vokal oleh kakak-kakak senior yang lebih paham. Wah,
bersyukur sekali aku mendapat kesempatan ini.
Saat pulang latihan,
Farhan yang ditunjuk sebagai ketua kelompok 3, mengabsen nama-nama teman yang
hadir latihan hari ini. Beberapa teman berebut minta dicatat kehadirannya oleh
Farhan. Aku pun melakukannya. Kuteriakan namaku di telinganya, tetapi saat dia
menuliskan huruf S, kupikir akan menuliskan namaku. Ternyata Sherly. Aku
tercengang. Padahal Sherly berada jauh darinya, sedangkan aku berada tepat di
sisi kirinya. Aku mundur beberapa langkah menjauhinya. Sampai akhirnya Farhan
menyadari bahwa namaku lah yang belum ditulisnya. Akhirnya, namaku menjadi nama
terakhir di absen tersebut. Sepele memang, tapi perasaan jatuh cinta ini
membuat aku sedikit sakit hati diacuhkan oleh orang yang pernah kukagumi.
***
Sampai dirumah, Ayahku telah menungguku pulang. Dan memanggilku untuk duduk mengobrol dengannya.
“Katanya kemarin
konser, kok masih latihan?” Tanya Ayahku.
“Iya Yah, kan latihan
terus. Sekarang latihannya dijarakin, kalau kemarin dua minggu full karena
pendidikan dasar anggota baru, kalau sekarang satu minggu tiga kali latihan.”
Jelasku.
“Mending kamu udahan
deh, Sha. Ayah gak mau kamu jadi lupa sama kuliah kamu. Ayah kan kuliahin kamu
bukan untuk ikut kelompok paduan suara, tapi untuk pendidikan sama masa depan
kamu.”
Aku begitu sedih
mendengar pernyataan Ayah yang tiba-tiba membuatku meneteskan air mata.
Menyanyi adalah hobbiku, sebagian dari hidupku adalah menyanyi. Lolos dari
Audisi Paduan Suara adalah suatu kebanggan terbesar yang sangat berarti
untukku.
“Kalau kamu memang mau
nyanyi, kamu bisa berkarir sendiri, bukan berkelompok seperti itu. Ayah pernah
ikut nyanyi berkelompok, lalu main Band. Dan seandainya Ayah ikut rekaman waktu
itu, mungkin Ayah akan menjadi orang yang terkenal sekarang, tapi Ayah sadar,
main Band bukan jaminan yang baik di masa depan. Akan ada masanya kita tergeser
oleh artis-artis baru yang lebih baik.
Makanya Ayah memutuskan untuk keluar dari Band dan fokus pada sekolah. Dan Ayah
mau, kamu jadi orang yang sukses, Sha.”
Aku benar-benar sedih
mendengarnya. Tapi memang benar, selama aku mengikuti latihan dua minggu full
kemarin, aku banyak meninggalkan kuliahku. Tugas pun menjadi terlantar. Aku
sadari itu. Tapi, bagaimana dengan janjiku akan latihan dengan baik? Bagaimana
dengan latihan private vocal bersama Mas
Bena?
Aku mungkin tidak dapat
menjalani keduanya dengan baik. Dan lagi, disatu sisi, tidak ada yang dapat
kupertahankan untuk tetap berada di kelompok paduan suara. Ayah sudah tidak
memberiku izin, kuliahku terlantar, dan lagi... Farhan, juga tidak bisa
membuatku bertahan di UKM tersebut. Aku mundur. Aku siap meninggalkan ilmu yang
baru saja ingin kuraih, berdiri diatas panggung besar dan disaksikan jutaan
pasang mata seperti kata seniorku yang telah berhasil membawa pulang
penghargaan Juara 1 Lomba Paduan Suara di Grand Prix-Pattaya Thailand, tahun
lalu.
***
Kini aku fokus
menjalani kuliahku. Hubungan pertemanan yang kurang baik dikelas karena aku
sering meninggalkan kelas, kini mulai ku bina. Belum telat rasanya membuat
semuanya menjadi baik. Dan belum telat rasanya membuat Andri menyukaiku
kembali. Walau tak yakin, karena akhir-akhir ini Andri jarang menghubungiku,
aku yakin aku bisa bersamanya.
Saat kumpul bersama
teman satu genk-ku yang diberi nama “RUMPI” Yusi, menyarankan
sahabat-sahabatnya untuk menutup aurat seperti dirinya. Menutup aurat adalah
kewajiban yang telah diperintah Allah SWT dalam Al-Quran.
Kusadari diriku belum
menutup aurat. Aku niat akan mengenakan jilbab saat aku dipersunting nanti.
Saat seorang pria datang menemui orangtuaku dan membawaku dalam suatu ikatan
pernikahan, maka saat itulah, aku akan menutup aurat untuk menandakan tanda
bakti padanya.
Alasan ini bukan tanpa
sebab. Karena aku begitu bingung dengan kehidupanku yang tak jauh dari
perempuan berhijab. Saat TK, SD, SMP, SMK semua teman-temanku menutup kepalanya
dengan jilbab. Apakah aku harus dikelilingi dengan wanita hijab? Apa aku tidak
bisa memiliki teman yang biasa saja, tak perlu berhijab seperti kebanyakan
orang?
Bukan aku membencinya,
tetapi aku merasa belum pantas dan siap untuk mengenakan jilbab. Aku bersekolah
di SD Negeri, dan setiap hari jumat wajib mengenakan jilbab, tapi aku malah
enggan menggunakannya. Ketika SMP, orangtuaku memilihkan Madrasah Tsanawiyah
agar aku lebih dalam mengenal agama islam. Karena alasan terpaksa, akhirnya aku
mengenakan jilbab untuk setiap harinya. Namun dirumah pun, aku masih
berkeliaran keluaran rumah tanpa mengenakan jilbab untuk menutup auratku.
Menginjak SMK, aku berniat tak menggunakan jilbab, sampai akhirnya wali kelasku
menyuruhku untuk melanjutkan jilbabku, karena aku adalah alumni Madrasah
Tsanawiyah dan alasan kewajiban. Karena alasan terpaksa juga, aku menggunakan
jilbab ke sekolah. Kini saat kuliah, tak ada bisa melarangku untuk tidak
menggunakan jilbab. Tak mungkin dosenku melakukan hal yang sama seperti wali
kelasku, apalagi kampusku bebas. Sekali lagi ketegasanku adalah, AKU BELUM
BISA DAN BELUM SIAP!
Di genk rumpi, genk-ku
berjumlah 10 orang. Semuanya mengenakan jilbab, terkecuali Aku, Diana, dan Nia
serta mereka yang beragama kristen. Dalam kegiatan beribadah, aku selalu
mengikuti mereka yang menjalankan sholat wajib 5 waktu. Bukan karena alasan
ikut-ikutan. Tapi aku memang menyadari bahwa sholat adalah suatu kewajiban umat
beragama islam untuk mendapatkan ridha Allah SWT, dan merupakan hal yang
pertama kali dihisab saat aku menemui sang Khaliq.
Teman-temanku
menyadari, bahwa sesungguhnya dalam hal beribadah, aku cukup paham dan
mengerti. Namun, mengapa aku tidak mengenakan jilbab, kalau tahu bahwa jilbab
adalah suatu perintah Allah?
***
Suatu hari, aku
dikejutkan dengan salah seorang temanku yang menggunakan hijab ke kampus.
Merupakan suatu hal yang indah menurutku. Karena ia lebih cantik mengenakan
hijab itu. Seraya, teman sekelas pun memuji atas perubahannya hari ini.
“Subhanallah, Ninda.
Kamu cantik pake jilbab itu.” Ujar Yusi.
“Iya cantik banget...”
Kataku.
“Iya, ssst.. jangan
digituin ah, malu..” Ujar Ninda.
“Berhijab gak perlu
malu. Bagus kok.. Sasha, Diana sama Nia kapan nyusul Ninda?” Celetuk Yusi.
“InsyaAllah, Yus..”
Ujarku dan Diana.
***
Dalam lamunanku saat
malam hari, aku terpikir tentang hari ini. “Mengapa Ninda mau mengenakan hijab?
Semakin didesak deh sama Yusi untuk berhijab. Ah, pokoknya aku nanti ajalah.”
Ujarku dalam hati.
***
Keesokkan hari, saat datang ke kampus, aku terkejut melihat Riani ketua kelasku datang mengenakan hijab. Begitu cantiknya ia dengan hijab model sekarang. Yusi semakin melirik tajam ke arahku, sambil berkata:
“Kapan nyusul?”
Aku hanya tersenyum
kuda menjawab pertanyaannya. Lagi-lagi, hatiku belum terketuk untuk mengatakan
YA, aku mau berhijab. Astagfirullah!
***
Kehidupan kampusku berjalan normal seperti biasa, belum ada tanda-tanda temanku lagi menutup auratnya. Sampai suatu hari, tepat dua hari Riani mengenakan jilbab, aku terkejut dengan kedatang Riani tanpa jilbab.
“Riani, jilbabnya
kemana? Kok gak dipake?” Tanyaku.
“Iya nih, tadi
buru-buru gak sempet pake jilbab.” Jelasnya.
“Haha parah Riani, ah
berarti kalo besok gue buru-buru, gak usah berhijab gitu?” Celetuk Rika.
“Sst.. Rika..”
“Iya iya, maaf ya..
lupa..” Ujar Riani malu.
Jilbab seperti mainan
baginya. Aku sungguh kesal melihatnya. Mengapa berani menutup lalu membuka
kembali jilbab yang dikenakannya? Walau aku belum berhijab, ada satu kekesalan
dalam hatiku pada bentuk penghinaan agama islam.
“Kalau belum siap,
jangan kayak gorden buka tutup, kan malu sama yang non islam, kesannya
mempermainkan agama islam.” Kataku dalam hati.
***
Aku masih belum
menemukan makna jilbab dibalik ini semua. Aku sangat berpegang teguh pada
agamaku, aku rajin mengerjakan ibadah wajib dan sunah. Namun, hati ini belum
sama sekali tergerak untuk menutup auratku.
Andri. Orang yang
pernah dekat denganku, ternyata memilih mundur dan mendekati seorang perempuan
teman kelasku, Jihan. Jihan begitu cantik nan anggun, dengan jilbab menghiasi
kepalanya. Rupanya Andri menganggumi Jihan, saat ia tak berkomunikasi lagi
denganku. Aku tak kecewa, karena mungkin aku memang belum merasakan adanya
getaran cinta untuk Andri. Aku tersenyum melihat dekat dengan Jihan. Apapun
yang terbaik untuknya, aku turut mendoakannya.
***
Bak mati satu tumbuh
seribu. Seseorang mengejutkanku dengan tingkahnya yang tak biasa denganku. Dia
teman satu kelompokku, namun beberapa hari ini adalah hal yang tak wajar karena
ia mendekatiku terlalu berani. Ia secara terang-terang mendekatiku, sampai
teman-temanku berpikir, dia menyukaiku. Namanya Muhammad Faras. Baru kusadari
wajah dan sifatnya sangat mirip dengan sahabat SMP-ku bernama Rizwan. Terkadang
aku merindukan sosok Rizwan ada padanya. Kekonyolannya, keseriusannya, dan
kepandaiannya dalam memecahkan soal matematika, membuatku selalu menyamai Faras
dengan Rizwan. Apa kabarnya sahabatku itu? Lama tak memberi kabar padaku
setelah kami Ujian Nasional SMA.
Perasaanku semakin
berkecamuk ketika semua sifat Faras mirip dengan Rizwan. Aku tak dapat berkata
apapun. Masalah di waktu dulu antara aku dengan Rizwan masih membekas sampai
sekarang, dan terbawa hingga Faras mendekatiku. Apa yang harus aku lakukan?
Menjauhi Faras agar aku tak mengingat Rizwan? Tapi, itu terlalu
kekanak-kanakan. Lalu, bagaimana dengan aku? Melihat Faras saja aku tak
sanggup. Bagai pinang dibelah dua, mereka sungguh membuat aku kembali ke masa
dimana aku mencintai sahabatku sendiri.
***
“Faras, seneng banget
sih lo ngeledekin Sasha? Ntar jatuh cinta lho!” Celetuk Helda.
“Emang kenapa?”
Tanyanya.
“PHP lo.” Sahut Helda.
Itu lah jawaban Faras
saat ditanya oleh teman-temannya tentang perlakuannya padaku. Ia sering
membuatku tersipu, dan kadang memukulnya karena lawakannya yang terlalu
berlebihan. Tak menampik, bahwa kedekatanku selama beberapa bulan ini membuatku
agak sedikit jatuh hati padanya. Hal tersebut tak elak dari perasaanku dengan
Rizwan di masa lalu. Aku sungguh egois, karena yang kulihat pada sosok Faras
adalah Rizwan. Aku sungguh-sungguh merindukan hadirnya sahabatku disini.
Tidak ada maksud untuk
mencintai sahabatku sendiri, aku sangat memegang komitmen yang kami buat saat
memutuskan untuk bersahabat. Tapi kata “CINTA” yang Rizwan ucapkan padaku
sebelum aku jatuh hati padanya membuat persahabatan kami mulai meretak. Dan
akhirnya, aku pun ikut terhanyut dalam perasaan yang terlarang itu.
***
“Faras
itu sukanya sama Clara, bukan sama Sasha tau!” Ujar temanku saat aku masuk ke
kelas. Mereka panik melihat kedatanganku, dan berusaha mengalihkan obrolan ke
topik yang lain.
Aku menghampiri mereka.
“Emang kenapa kalau
Faras suka sama Clara? Clara cantik kok..”
“Bukannya lo suka sama
Faras?” Ujar Gina.
“Nggak. Kata siapa?”
“Oh.. Syukurlah. Karena
orang yang baru kita omongin tuh baru dateng..” Tiara menunjuk Faras dan Clara
yang baru memasuki pintu kelas.
“CIEEEEEEE...” Ucap
teman-teman melihat kedatangan mereka. Tak ingin dibilang cemburu, aku turut
mengatakan hal itu pada mereka.
Sesungguhnya CIE adalah
suatu bentuk rasa cemburu yang tersembunyi. Ciyus Ini Envy! Yaaah, begitulah kira-kira.
Aku turut tersenyum
melihat Clara begitu bahagia. Terlebih Clara adalah teman baikku.
***
Aku mulai membandingkan
kelebihan diriku dengan orang-orang yang pernah merebut laki-laki yang aku
kagumi. Apa kurangnya aku? Mengapa banyak orang begitu bahagia akan cinta yang
baru ia dapatkan, sementara aku sangat tersiksa atas hubungan mereka? Mengapa
wanita lain mudah sekali mendapatkan seorang kekasih yang dia inginkan dengan
mudah? Sedangkan aku, mengapa susah untuk dekat dengan seseorang yang aku
kagumi walau hanya sekedar berbalas? Farhan dengan Sherly, Andri dengan Jihan
dan Faras dengan Clara, apa maksudnya?
Aku menyadari, dari ke
semua perempuan yang kusebutkan tadi, semuanya adalah wanita berhijab.
Perempuan yang menutup auratnya dari atas sampai kebawah. Disamping mereka
cantik, mereka mempunyai nilai plus dalam akidahnya. Berbeda denganku yang
masih enggan mengenakan jilbab untuk menutup aurat.
***
Sebuah acara gosip pagi
hari mampu membuatku berdecak kagum menyaksikan acara tersebut. Dimana, seorang
wanita muslimah akhirnya dipersunting oleh laki-laki soleh yang rupawan. Dia,
Oki Setiana Dewi. Wanita yang menjadi contoh paling baik untuk seluruh wanita
Indonesia. Tutur katanya yang santun, cantik dan solehah ini juga mampu membuatku
kagum padanya. Oki Setyana Dewi melangsungkan pernikahannya dengan cara yang
berbeda dengan pernikahan orang lain pada umumnya. Antara mempelai pria dan
wanita duduk secara terpisah sebelum mereka sah menjadi sepasang suami istri.
Tahap pengenalan mereka pun bukan dengan pacaran, melainkan Ta’aruf. Sungguh mereka adalah pasangan
yang cocok dan dapat menjadi contoh yang baik dalam zaman yang sudah menyimpang
dari ajaran Allah yang sebenarnya.
“Untuk pertama kalinya, saya
memegang tangan suami saya selama mengenal dia. Untuk saat ini, kami mau
pacaran dulu.”Ujar Oki.
Aku berdecak kagum
mendengarnya sambil ikut tersenyum membayangkan betapa indahnya pacaran setelah
menikah seperti Mbak Oki Setyana Dewi. Aku sangat menanti datangnya hari itu
dalam hidupku.
Kabar bahagia ini,
akhirnya aku sampaikan kepada sahabatku di SMA. Betapa aku sangat menganggumi
keteguhannya menjalin sebuah ikatan, tanpa status “Pacar” tetapi menjalin
ikatan Ta’aruf sampai mereka halal menjadi sepasang suami istri.
“Sha, cewek baik itu
pasti jodohnya baik. Udah takdirnya dari sana itu..” Ujar Rizka.
Kata-kata Rizka begitu
membekas sampai hari ini. Mungkin benar apa yang ia ucapkan. Karena Allah Maha
Adil. Apa yang ia tanam, maka ia akan mendapatkan hasilnya dari usaha dan kerja
kerasnya. Aku pun akhirnya mendapatkan suatu petunjuk. Laki-laki manapun, pasti
menginginkan calon pedamping hidupnya yang sholehah dan penghuni surga.
Aku segera berkaca
diri. Sudah layakkah aku menjadi seorang wanita sholehah yang menjadi bidadari
penghuni surga? Sudah pantaskah aku memberikan yang terbaik untuk calon suamiku
kelak? Bagaimana jika aku mendapatkan suami yang tidak sholeh akibat aku juga
yang kurang menaati perintah Allah? Ya Allah, berikanlah aku laki-laki yang
sholeh, laki laki yang mampu membawaku ke surga-Mu dengan izin dan ridho-Mu,
laki-laki yang akan memberikanku keturunan yang sholeh dan sholehah.
Kabulkanlah doaku, ya Allah..
***
Rasa sakit karena
ketidakberuntungnya aku dalam mendapatkan seorang kekasih sudah sedikit
tersingkir dari benakku. Tak perlu mencari pacar yang sholeh. Kelak laki-laki
sholeh itu akan meminangku di waktu yang tepat. Dalam benakku kini, bukan Allah
tidak menyanyangiku karena tidak memberikan aku seorang pacar, justru karena
Allah menyanyangiku sehingga belum mendekatiku pada seorang laki-laki, agar
terhindar dari fitnah dan zinah yang dapat terjadi karena belum adanya ikatan
yang sah.
***
“Kakak, kita foto-foto,
yuk..” Ujar Helen tetanggaku yang berusia 4 tahun.
Semenjak kepindahannya
didekat rumahku, ia sangat akrab denganku. Aku yang menyanyangi anak kecil pun,
ikut terhipnotis dengan tingkahnya yang membuat orang gemas bila didekatnya.
Anak cantik, lucu,
pandai membuat orang tersenyum ini sering kukaitkan dengan tokoh kartun Masha and The Bear di salah satu stasiun
televisi. Dengan poni rambut seperti Masha,
aku mencoba menjadikan Helen seperti Masha,
lengkap dengan kerudung pink milikku. Aku tertawa geli melihat Helen yang
sangat cantik dan lucu. Ku abadikan momen tersebut di ponsel milikku. Salah
satu celotehannya membuatku merinding dan terkejut.
“Kakak, kok kakak gak
pake kerudung sih? Kan kakak cantik kalo lagi pake kerudung.” Ujar Helen yang
membuatku sempat terbelalak.
“Ehm.. Emang kamu udah
liat aku pake kerudung?”
“Udah, waktu lagi sholat
pakai mukena.”
Deg. Jantungku serasa
mau copot mendengarnya. Ternyata ia sering memperhatikanku saat aku sedang
melakukan ibadah sholat.
“Kakak pake ini dong,
coba.” Ia melepaskan kerudungnya, dan memakaikanku kerudung pink tersebut.
“Tuh kan cantik..”
Aku mengaca. Seperti
ada bayangan pada kaca tersebut, memilih menutup aurat sebagai suatu kewajiban
dan syarat masuk surga? Atau tetap egois dan acuh terhadap kain suci itu?
Aku benar-benar
tersentuh atas saran malaikat kecil ini. Ia mampu membuatku tampil cantik dan
ikhlas saat mengenakan jilbab ini.
***
Malam hari. Aku tak
dapat menutup mataku dengan rapat. Aku tak bisa tertidur seperti biasanya.
Seperti ada yang mengganjal yang membuatku susah menutup mata. Peristiwa sore
tadi sepertinya yang menjadi penyebab tak bisanya aku menutup mata. Terlintas
dalam pikiranku tentang akhir-akhir ini.
Sebenarnya apa yang aku
cari lagi di dunia ini? Bukankah Allah menghidupkan para Mahluknya untuk
beribadah kepada Allah dan menjalankan perintahnya? Mengapa susah sekali mengatakan
“YA aku mau berhijab, aku mau menutup auratku. Aku mau melaksanakan perintah
yang Allah suruh pada seluruh umatnya.” Mengapa susah sekali? Apalagi yang
ingin aku tunjukkan pada dunia dengan aurat yang masih terbuka? Bukankah Allah
memerintahkan wanita untuk berjilbab dengan tujuan untuk melindungi wanita dari
mata laki-laki yang tidak sopan? Dari tangan-tangan jahil yang tidak beradab?
Mengapa seakan kita justru menonjolkan hal yang tidak patut diperlihatkan pada
orang yang bukan muhrimnya?
Seluruh pertanyaan itu
memutar-mutar dalam pikiranku. Begitu banyak mudharatnya, bila aku tidak
menutup aurat. Lalu, ketika aku sudah mantap menutup auratku, bagaimana dengan
pekerjaanku nanti? Bukankah pekerjaan di kantor, rata-rata mengenakan rok dan
blazer terlihat cantik? Bagaimana dengan pandangan orang-orang yang melihat
“aneh” atas perubahanku? Dan bukankah ketika sudah siap menutup aurat saat
keluar rumah, berarti juga siap saat ke warung terdekat juga harus menutup
aurat, bukankah itu berlebihan? Terlebih jarak warung hanya beberapa langkah
dari rumahku? Dan bagaimana baju-baju lamaku yang rata-rata adalah pendek? Dan
ternyata, sedikit sekali baju panjang yang kumiliki. Bagaimana dengan salinan
pakaianku sehari-hari?
Pertanyaan sebanyak itu
ternyata justru membuatku terlelap saat jam menunjukkan pukul 03.00 pagi.
***
Pagi hari. Aku segera
mencuci muka dan mencari jilbab pink yang kemarin dikenakan oleh si Masha. Adikku begitu terheran-heran
melihatku mengenakan kerudung dengan terburu-buru.
“Mbak. Ngapain pake
kerudung?” Tanya Fino.
“Pantes gak sih, Fin?”
Tanyaku balik.
“Mbak, yang namanya
cewek kalo pake kerudung yaa cantik lah. Lagian mbak kenapa sih gak pake
kerudung? Sholat udah mulai rajin, puasa sunnah udah biasa. Nunggu apa lagi
sih, Mbak?”
Kerudung pink itu sudah
melekat cantik di kepalaku. Terlihat anggun saat aku mengenakannya.
“Tuh kan cantik. Udah
mbak, tutup kepalanya. Jangan dipamerin mulu ke orang. Dosa kan, mbak. Gak
inget foto dari Kak Yusi apa?”
Aku mulai teringat akan
gambar yang Yusi kirim kepadaku minggu lalu. Isi gambar tersebut adalah seuntai
pesan yang sangat membuatku bergidik ngeri. Seperti ini:
“Satu langkah, anak perempuan
keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka satu langkah ayahnya hampir ke
neraka.”
“Sehelai rambut wanita terlihat
oleh lelaki yang bukan muhrimnya dengan sengaja, maka 70.000 tahun balasan di
neraka.”
Dan masih banyak lagi
pesan bergambar yang Yusi kirimkan seperti itu. Aku semakin yakin untuk
benar-benar menutup auratku tanpa adanya “paksaan”.
“Cantik kan, Mbak?”
Tanya Fino menegaskan.
Tanpa terasa air mataku
jatuh. Beginikah rasanya ikhlas menjalankan perintah Allah? Beginikah rasanya
sempurna dengan penutup kepala ini? Ya Allah.. Terima kasih telah kau tunjukkan
padaku hidayah yang indah ini. Terima kasih Kau tunjukkan jalan menuju
surga-Mu. Aku berjanji dalam hati, aku akan mengenakan jilbab ini sampai aku
dipanggil menghadap Sang Pencipta.
***
Aku datang ke kampus dengan
rasa gugup. Gugup karena akan dilihat aneh oleh teman-teman dan gugup karena
ini pertama kalinya aku mengenakan jilbab dengan hati yang ikhlas.
“Sashaa.. Subhanallah..
Cantik banget...”
“Sasha! Lu pake
kerudung? Astaga, kiamat.....”
“Subhanallah, Sasha..
Cantik banget kamu...”
Dan masih banyak lagi
pujian yang aku dapatkan dari teman-teman yang merasa takjub melihat
perubahanku hari ini. Semoga ini bukan hanya sekedar “ikut-ikut” berjilbab.
Tetapi memang Allah sudah memanggilku untuk segera berjilbab dan menutup aurat.
“Kalo Sasha udah
jilbab-an, tinggal Yusi nih nyinggung-nyinggung gue..” Ujar Nia.
“Nia, kapan nyusul?”
Tanya Yusi.
“Tuh, kan...”
***
“Sha, terinspirasi dari
siapa pake jilbab?” Tanya Ryan saat tiba-tiba ia duduk disampingku.
“Hah? Ehm.. Ya gak tau.
Namanya juga hidayah.” Jawabku.
“Kenapa gak dari dulu
sih pake jilbab? Kan keburu ilang feelingnya.”
Aku seketika terkejut
mendengar pernyataannya, apa maksud perkataannya? Memangnya, dia pernah
menyukaiku?
“Maksudnya?” Tanyaku.
“Nggak.”
“Oh..”
“Oh iya, kalau lo butuh
nasihat, pesan, lo bisa tanya sama ketiga kiyai di kelas ini.”
“Hah? Kiyai, siapa?”
“Kyai yang pertama Riza,
yang kedua gue, yang ketiga Roni. Si Riza, biar nyeleneh, tapi dia anak
pesantren dulunya. Jadi kalo lo punya pertanyaan agama, bisa tanya ke
kita-kita.”
“Oh gitu. Oke..”
Aku mulai terpancing
kata-kata Ryan. Bagiku, sosok Ryan adalah sosok yang jarang berbincang dengan
orang lain, terutama denganku. Saat berbincang denganku, matanya yang coklat
menatapku seakan menerkamku bulat-bulat. Wajahnya yang tampan baru kali ini
kusadari saat ia berbincang padaku saat ini. Secara agama, ia mampu dikatakan
menjadi pemimpin yang baik.
***
“Sha, kapan pakai rok
kayak Yusi supaya jadi wanita muslimah yang benar? Kan manis kalau rok..” Seru
Ryan saat aku menuju kelas.
“Hah? Gue belum punya
rok, nanti deh..”
“Pake dong.. biar
manis.”
Aku buru-buru
meninggalkan kerumunan Ryan dan teman-temannya. Teman-temanku menyadari bahwa
sepertinya, Ryan punya kekaguman padaku.
***
“Dari dulu kali, Sha.
Dia suka sama lo, suka doang tapi.. gak ada niat buat pacaran.” Jelas Faras
yang juga sahabat Ryan.
Aku sempat terkejut
mendengar pernyataan Faras. Sejak dulu? Jangan-jangan, sejak Faras mulai
mendekatiku. Karena semenjak Faras mendekatiku, dan teman-teman dekatku, ia
bertanya banyak hal tentangku, bersikap berbeda dari sebelumnya. Lalu,
tiba-tiba Faras menyatakan, bahwa ia sesungguhnya menyukai Clara secara
terang-terangan.
Dan kini kusadari, mungkin
Faras membantu Ryan mencari informasi tentangku melalui teman-temanku. Sehingga
timbul kesan Faras menyukaiku.
Yusi mulai
mengingatkanku bahwa wanita yang sholehah akan tetap jomblo sampai dia halal
setelah akad nikah. Aku mengerti hal itu, walaupun terkadang aku iri pada
teman-teman yang sudah menggandeng pacar kemana-mana, sedangkan aku? Hanya bisa
terduduk diam menunggu kapan waktunya Allah memberikan seorang kekasih seperti wanita
yang lain. Aku memang belum mempunyai perasaan khusus pada Ryan, karena ini
terlalu mendadak. Aku tak pernah menyangka bahwa ada juga orang yang menaruh
hati padaku, bahkan teman-temanku tahu hal itu. Tapi ini juga sungguh
menyakitkan, tatkala laki-laki impian itu datang, sahabatku memperingatkan,
haram hukumnya laki-laki berpacaran dengan wanita yang belum muhrim. Karena hal
itu dapat menimbulkan fitnah, sampai zina. Nauzubillah’minzalik.
Salah satu status akun
media sosial milik Yusi pun menyadarkanku.
“Mau pacaran sama wanita yang
sholehah? Sayangnya, wanita sholehah gak pacaran.”
***
Ryan tetap berusaha
mendekatiku, mengatakan hal yang manis padaku. Sampailah pada suatu pernyataan
yang mencengangkan namun membuatku kagum padanya.
“Sha,
kalo ada laki-laki yang deket sama lo. Lo lihat apa tujuannya. Dia mau mengajak
lo menghindari neraka, atau malah mencebloskan lo ke neraka? Karena banyak tipe
laki-laki macam ini. Bilangnya sih mau pacaran sama wanita sholehah, tapi..
wanita sholehah kan gak pacaran. Begitupun laki-laki. Laki-laki yang sholeh,
gak akan ajak wanitanya untuk pacaran, tapi kalau sudah siap, laki-laki sholeh
itu akan mengajaknya untuk menghalalkan hubungannya dengan si wanita sholehah.”
Jelas Ryan.
Aku terkesima dengan
paparannya. Ia begitu mendalami agama islam. Pandangan islamnya sangat baik dan
bijak. Ia seperti calon pemimpin keluarga yang aku dambakan. Terbukalah hatiku
untuk tetap menjomblo sampai seorang laki-laki mengucapkan ijab qabul dihadapan
orangtuaku. Biarlah hubunganku dengan Ryan tetap seperti ini. Tetap menjadi
teman yang baik, tetap menjadi seorang teman yang mampu menghindariku dari
siksa api neraka, dan menghindariku dari perbuatan zina.
Banyak sekali hidayah
yang aku dapatkan setelah berhijab. Aku merasakan sebuah kebaikan dan
pengetahuan islam perlahan masuk kedalam kehidupanku, memasuki lubang-lubang
yang pernah terkikis karena kedengkian hati menjauhi perintah Allah. Begitu banyak
hal-hal baik berdatangan menghampiri kehidupanku.
Sebab Allah tidak akan
merubah suatu takdir kita, kecuali kita berusaha dan berdoa. Saat aku menutup
hati untuk tidak berhijab sebelum siap, Allah datangkan hidayah-hidayah yang
tak pernah ku sangka. Dan semakin Allah memberikanku petunjuk, semakin pula kucari
dan aku dalami maknanya, hidayah dan nikmat yang Allah berikan padaku sungguh
terasa indah. Tak ada yang aku lakukan selain melakukan hal yang telah
diperintahkan Allah, tidak akan aku kufuri lagi nikmat yang Allah berikan
kepadaku dalam setiap hembusan nafas dan detak jantungku. Kini AKU BISA
membiasakan diri menjalankan perintah Allah dengan menggunakan jilbab yang
menutup mahkotaku, karena aku tidak ingin terbakar panasnya api neraka diakhirat
nanti.
Dan untuk pertama
kalinya, aku menunggu datangnya bulan Suci Ramadhan yang sebentar lagi akan
menyapa seluruh umat islam dimuka bumi. Untuk
pertama kalinya aku ingin mengkhatamkan Al-qu’ran satu bulan penuh di bulan
suci nanti. Untuk pertama kalinya pula, aku merasakan kedamaian dalam hidup
ketika aku memutuskan untuk lebih jauh mengenal Allah dalam bertasbih,
bertakbir dan bertahmid dihadapannya. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku,
ampunilah segala keburukan sikapku selama ini. Tunjukkanlah aku jalan yang
Engkau ridhoi.. Tunjukkan jalan menuju Surga-Mu. Aamiin.
Kisahku ini adalah
sebagian kisah kecil dalam pencarianku mencari hidayah. Tak akan ada habisnya
aku mencari segala hal yang belum aku ketahui. Semoga kisahku ini menjadi sebuah
hidayah baru bagi pembaca.
Hidayah tak akan datang
apabila kita tidak mencari dan berusaha. Dan hidayah itu akan datang ketika
hati sejalan dengan niat dan usaha dalam mencari jalan menuju surga.