Selasa, 24 Juni 2014

KEBIJAKAN PEMERINTAH ERA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHIONO (2004-2014)


Setelah Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat sepakat bahwa tanggal 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia menerima Pancasila sebagai dasar negara sebagai perwujudan falsafah hidup bangsa dan ideologi nasional. Hal itu adalah bentuk dari kesetiaan terhadap ideologi Pancasila dituntut dalam bentuk sikap, tingkah laku dan perbuatan yang nyata dan terukur dalam paradigma pembangunan dan perekonomian Indonesia.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, paradigma diartikan seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat konstan (tetap) dan yang sebagian berubah-ubah. Paradigma, juga dapat diartikan suatu gugusan sistem pemikiran Sedangkan pembangunan menunjukkan adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang harus digali dan yang harus dibangun agar dicapai kemajuan di masa yang akan datang. Pembangunan tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif (manusia seutuhnya).
Ditinjau dari masalah paradigma pembangunan dan perekonomian di Indonesia, negara kita sendiri mempunyai kondisi perekonomian Indonesia yang dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk Domestik Bruto (PDB). Pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah yang memungkinkan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana dengan kebijakan pemerintah era kepemimpinan SBY? Apa saja kebijakan-kebijakan pemerintahan pasca dilantiknya Presiden SBY bersama JK tahun 2004-2009 dan 2009-2014 bersama Boediono?
KEBIJAKAN PEMERINTAH
Dilansir dari http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/ bulan april 2012, pada masa kepemimpinannya tahun 2004-2009, SBY banyak menuai kebijakan seperti adanya kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.¹
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.

Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
KEMAMPUAN SISTEM POLITIK
Kapabilitas sistem politik dapat diartikan sebagai kemampuan sistem politik yang dapat digunakan untuk mematangkan pembangunan politik disuatu negara. Menurut Almond keamampuan sistem politik terhadap kapabilitas sistem politik pada umunya terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif. Dalam era reformasi hingga sekarang hingga sekarang, penulis mencoba memotret bagaimana kemampuan sistem politik era pemerintahan SBY  hingga sampai sekarang dengan menggunakan teori Almond.²
1.      Kemampuan ekstraktif: Adalah kemampuan mengelola sumber-sumber material dan manusia dari lingkungan dlm maupun luar.  Eksploitasi terhadap hasil sumber daya alam indonesia sebenarnya telah lama di lakukan oleh negara luar. Yaitu perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport di tanah Papua hasil dari kekayaan alam tersebut diangkut tiap hari oleh kaum kapitalis seperti emas, timah, logam, uranium, dan lain-lain dalam jumlah skala besar.
2.      Kemampuan regulatif: Adalah kemampuan mengontrol, mengendalikan perilaku individu atau kelompok dlm sistem politik. Kemampuan Sistem Politik dalam mengontrol perilaku-perilaku individu atau kelompok  pada era SBY memang tidak bisa mengatakan sepenuhnya buruk karena para individu atau kelompok telah dicoba untuk diberantas, tetapi pada sisi lain individu atau kelompok yang mampu mengganggu kestabilan negara kian hari makin marak bersemi.
3.      Kemampuan distributive: Adalah kemampuan mengalokasikan berbagai jenis barang, jasa, kehormatan, status dan kesempatan. Pada era SBY sebenarnya dana alokasi untuk di distribusikan kepada rakyat sudah cukup banyak namun akibat lemanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dana alokasi tersebut tidak sampai sasaran, tapi berhenti pada kantong celana oknum elit yang tidak bertanggungjawab (koruptor).  Contoh kecilnya, ketersediaan gedung sekolah dan kesehatan bagi masyarakat serta tenaga pengajar dan medis.
4.      Kemampuan simbolis: Adalah kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala negara atau juga rasa bangga terhadap negaranya. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Dalam konteks kekinian, sistem politik di indonesia saat ini tidak melahirkan pemimpin yang memiliki jiwa kemimpinan, karismatik dan relegius. Seperti kita ketahui sosok pemimpin seperti Ir. Soekarno, yang karismatik dan Gusdur sebagai tokoh agama.
5.      Kemampuan responsive: Adalah  tanggap tidaknya terhadap tuntutan atau tekanan sistem politik dalam daya tanggap terhadap masyarakat. Seperti halnya, Reformasi yang telah melahirkan demokrasi namun belum juga mensejahterakan bangsa ini. Demokrasi sebagai sistem politik era pemerintah SBY hanya sebatas prosedural semata. Lemahnya respon pemerintah terhdap keluhan rakyat ternyata bukan hanya dalam negeri saja, tetapi diluar negeri juga lebih buruk lagi.
6.      Domestik dan internasional: Adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah dalah hal bagaimana ia berinteraksi dilingkungan domestik maupun luar negeri. Dalam konteks kontemporer kemampuan domestik sistem politik masih lemah sehingga relasi antara pemerintah dan masyarakat kurang harmonis, hal ini tergambar dari berbagai aksi ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini.

KEBIJAKAN HUKUM
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang selama ini dianggap paling krusial. Masalah-masalah hukum yang mulai dihadapi SBY terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat kesalahan manusia yang terjadi pada awal pemerintahannya, mulai bencana tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, jatuhnya pesawat Adam Air, sampai lumpur Lapindo di Sidoarjo dan bencana akibat pembagian BLT (bantuan langsung tunai) sebagai kompensasi BBM (bahan bakar minyak). Kemudian juga mulai muncul masalah kedaulatan negara dan hukum internasional yang terkait dengan kasus intervensi beberapa negara (Amerika Serikat dan Singapura) dalam pencarian lokasi jatuhnya Adam Air dan kotak hitamnya. Pemerintahan SBY, dapat membangkitkan semangat dan solidaritas kemanusiaan sampai tingkat internasional untuk memberikan bantuan bagi para korban bencana, selain penggunaan instrumen hukum untuk menanggulangi bencana alam melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007.  SBY menunjukkan usaha secara signifikan penanggulangan bencana baik melalui aspek hukum nasional maupun aspek diplomasi dengan dunia internasional.
Kepemimpinan SBY yang selama ini dikritik sebagai kepemimpinan yang lamban dan lemah juga terlihat dalam beberapa kasus bertindak gamang dan terkesan mendua, bahkan satu kasus yang sampai saat ini belum terselesaikan, yaitu kasus pembunuhan Munir, SBY mulai bertindak kritis karena dipengaruhi oleh kegigihan dari Suciwati, istri almarhum, yang berhasil menarik perhatian kalangan internasional. Akan tetapi ketidaktegasan pemerintah SBY juga ternyata masih ada, terutama dalam penyelesaian kasus Soeharto yang sampai saat ini tidak ada perkembangan selanjutnya bahkan terkesan hilang tertutup oleh kasus-kasus lain. Sedangkan dalam beberapa kasus lainnya SBY dianggap telah bertindak benar dan konstitusionil, antara lain ketidakhadirannya dalam sidang interpelasi DPR untuk kasus persetujuan resolusi DK PBB atas nuklir Irak, maupun dalam memilih Boediono dan meninggalkan koalisi yang telah dibuatnya dengan beberapa partai lain.

KEADAAN PEREKONOMIAN
Selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.
KESIMPULAN
            Menurut uraian diatas, penulis menangkap beberapa kesimpulan bahwa kemampuan sistem politik dan moneter era pemerintahan SBY masih jauh dari yang diharapkan bangsa ini. Reformasi sebagai tuntutan untuk tercapainya rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat ternyata juga belum bisa mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara keluar dari keterpurukan. Isu kenaikan BBM yang dianggap bukan hanya masalah subsidi tidak sampai sasaran tetapi krisis keuangan negara terhadap hutang kepada bank dunia dan IMF yang hampir mencapai 2000 triliun rupiah. Menggambarkan bahwa gagalnya pemerintah secara ekonomi politik dalam mengelolah dan memanfaatkan SDA Indonesia, sehingga terpaksa yang menanggung adalah rakyat masyarakat Indonesia sendiri. 


Sumber:
1.    Triyanto, M.si  (Modul Mata Kuliah “Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia” STPMD “APMD” Yogyakarta)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar