Setelah
Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945,
masyarakat sepakat bahwa tanggal 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia menerima
Pancasila sebagai dasar negara sebagai perwujudan falsafah hidup bangsa dan
ideologi nasional. Hal itu adalah bentuk dari kesetiaan terhadap ideologi
Pancasila dituntut dalam bentuk sikap, tingkah laku dan perbuatan yang nyata
dan terukur dalam paradigma pembangunan dan perekonomian Indonesia.
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, paradigma
diartikan seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat konstan (tetap) dan
yang sebagian berubah-ubah. Paradigma, juga dapat diartikan suatu gugusan
sistem pemikiran Sedangkan pembangunan menunjukkan
adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang harus
digali dan yang harus dibangun agar dicapai kemajuan di masa yang akan datang.
Pembangunan tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif (manusia
seutuhnya).
Ditinjau
dari masalah paradigma pembangunan dan perekonomian di Indonesia, negara kita
sendiri mempunyai kondisi perekonomian Indonesia yang dapat diukur dengan
menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk
Domestik Bruto (PDB). Pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan
kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah yang memungkinkan pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana dengan kebijakan pemerintah era
kepemimpinan SBY? Apa saja kebijakan-kebijakan pemerintahan pasca dilantiknya
Presiden SBY bersama JK tahun 2004-2009 dan 2009-2014 bersama Boediono?
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
Dilansir
dari http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/
bulan april 2012, pada masa kepemimpinannya tahun 2004-2009, SBY banyak menuai
kebijakan seperti adanya kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM,
atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.¹
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
KEMAMPUAN
SISTEM POLITIK
Kapabilitas
sistem politik dapat diartikan sebagai kemampuan sistem politik yang dapat
digunakan untuk mematangkan pembangunan politik disuatu negara. Menurut Almond
keamampuan sistem politik terhadap kapabilitas sistem politik pada umunya
terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan
responsif. Dalam era reformasi hingga sekarang hingga sekarang, penulis mencoba
memotret bagaimana kemampuan sistem politik era pemerintahan
SBY hingga sampai sekarang dengan menggunakan teori Almond.²
1. Kemampuan ekstraktif: Adalah kemampuan mengelola sumber-sumber material dan manusia dari lingkungan dlm
maupun luar. Eksploitasi terhadap hasil sumber daya alam indonesia
sebenarnya telah lama di lakukan oleh negara luar. Yaitu perjanjian antara
pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport di tanah Papua hasil dari kekayaan
alam tersebut diangkut tiap hari oleh kaum kapitalis seperti emas, timah,
logam, uranium, dan lain-lain dalam jumlah skala besar.
2. Kemampuan
regulatif:
Adalah kemampuan mengontrol,
mengendalikan perilaku individu atau kelompok dlm sistem politik. Kemampuan
Sistem Politik dalam mengontrol perilaku-perilaku individu atau
kelompok pada era SBY memang tidak bisa mengatakan sepenuhnya buruk
karena para individu atau kelompok telah dicoba untuk diberantas, tetapi pada sisi
lain individu atau kelompok yang mampu mengganggu kestabilan negara kian hari
makin marak bersemi.
3. Kemampuan distributive: Adalah kemampuan mengalokasikan berbagai jenis barang, jasa, kehormatan, status
dan kesempatan. Pada era
SBY sebenarnya dana alokasi untuk di distribusikan kepada rakyat sudah cukup
banyak namun akibat lemanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dana
alokasi tersebut tidak sampai sasaran, tapi berhenti pada kantong celana oknum
elit yang tidak bertanggungjawab (koruptor).
Contoh kecilnya, ketersediaan gedung sekolah dan kesehatan bagi
masyarakat serta tenaga pengajar dan medis.
4. Kemampuan
simbolis: Adalah kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala negara atau
juga rasa bangga terhadap negaranya. Misalnya adalah lagu-lagu nasional,
upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun
pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan
dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga
negara. Dalam konteks kekinian, sistem politik di indonesia saat ini tidak
melahirkan pemimpin yang memiliki jiwa kemimpinan, karismatik dan relegius.
Seperti kita ketahui sosok pemimpin seperti Ir. Soekarno, yang karismatik dan
Gusdur sebagai tokoh agama.
5. Kemampuan responsive: Adalah tanggap tidaknya terhadap tuntutan atau tekanan sistem politik dalam daya tanggap terhadap masyarakat. Seperti halnya,
Reformasi yang telah melahirkan demokrasi namun belum juga mensejahterakan
bangsa ini. Demokrasi sebagai sistem politik era pemerintah SBY hanya sebatas
prosedural semata. Lemahnya respon pemerintah terhdap keluhan rakyat ternyata
bukan hanya dalam negeri saja, tetapi diluar negeri juga lebih buruk lagi.
6. Domestik dan internasional: Adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah dalah hal
bagaimana ia berinteraksi dilingkungan domestik maupun luar negeri. Dalam
konteks kontemporer kemampuan domestik sistem politik masih lemah sehingga
relasi antara pemerintah dan masyarakat kurang harmonis, hal ini tergambar dari
berbagai aksi ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini.
KEBIJAKAN
HUKUM
Masalah penegakan hukum merupakan
masalah yang selama ini dianggap paling krusial. Masalah-masalah hukum yang
mulai dihadapi SBY terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat kesalahan
manusia yang terjadi pada awal pemerintahannya, mulai bencana tsunami di Aceh,
gempa di Yogyakarta, jatuhnya pesawat Adam Air, sampai lumpur Lapindo di
Sidoarjo dan bencana akibat pembagian BLT (bantuan langsung tunai) sebagai
kompensasi BBM (bahan bakar minyak). Kemudian juga mulai muncul masalah
kedaulatan negara dan hukum internasional yang terkait dengan kasus intervensi
beberapa negara (Amerika Serikat dan Singapura) dalam pencarian lokasi jatuhnya
Adam Air dan kotak hitamnya. Pemerintahan SBY, dapat membangkitkan semangat dan
solidaritas kemanusiaan sampai tingkat internasional untuk memberikan bantuan
bagi para korban bencana, selain penggunaan instrumen hukum untuk menanggulangi
bencana alam melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007. SBY menunjukkan usaha secara signifikan
penanggulangan bencana baik melalui aspek hukum nasional maupun aspek diplomasi
dengan dunia internasional.
Kepemimpinan SBY yang selama ini
dikritik sebagai kepemimpinan yang lamban dan lemah juga terlihat dalam
beberapa kasus bertindak gamang dan terkesan mendua, bahkan satu kasus yang
sampai saat ini belum terselesaikan, yaitu kasus pembunuhan Munir, SBY mulai
bertindak kritis karena dipengaruhi oleh kegigihan dari Suciwati, istri
almarhum, yang berhasil menarik perhatian kalangan internasional. Akan tetapi
ketidaktegasan pemerintah SBY juga ternyata masih ada, terutama dalam
penyelesaian kasus Soeharto yang sampai saat ini tidak ada perkembangan
selanjutnya bahkan terkesan hilang tertutup oleh kasus-kasus lain. Sedangkan
dalam beberapa kasus lainnya SBY dianggap telah bertindak benar dan
konstitusionil, antara lain ketidakhadirannya dalam sidang interpelasi DPR
untuk kasus persetujuan resolusi DK PBB atas nuklir Irak, maupun dalam memilih
Boediono dan meninggalkan koalisi yang telah dibuatnya dengan beberapa partai
lain.
KEADAAN
PEREKONOMIAN
Selama masa
pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya.
Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas
dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang
tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Melalui langkah
MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai
negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USS 14.250-USS
15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5
triliun.
KESIMPULAN
Menurut
uraian diatas, penulis menangkap beberapa kesimpulan bahwa kemampuan sistem politik dan
moneter era pemerintahan SBY masih jauh dari yang diharapkan bangsa ini.
Reformasi sebagai tuntutan untuk tercapainya rasa keadilan dan kesejahteraan
bagi rakyat ternyata juga belum bisa mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara
keluar dari keterpurukan. Isu kenaikan BBM yang dianggap bukan hanya masalah
subsidi tidak sampai sasaran tetapi krisis keuangan negara terhadap hutang
kepada bank dunia dan IMF yang hampir mencapai 2000 triliun rupiah.
Menggambarkan bahwa gagalnya pemerintah secara ekonomi politik dalam mengelolah
dan memanfaatkan SDA Indonesia, sehingga terpaksa yang menanggung adalah rakyat
masyarakat Indonesia sendiri.
Sumber:
1. Triyanto, M.si (Modul
Mata Kuliah “Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia” STPMD
“APMD” Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar