Jumat, 29 Januari 2016

Cerpen - BIG, IT IS NOT ALWAYS PAIN


            Aku tahu kok, aku gak cantik secantik perempuan yang lain. Aku juga bukan perempuan hits yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Aku hanya anak rumahan yang suka mengagumi ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
      
      Namaku Rahma Gladys Niatra. Aku berumur 16 tahun, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Hari-hariku, aku isi dengan penuh keceriaan. Bagiku, tak mau aku melewatkan hari yang indah hanya untuk merenung diam tanpa melakukan sesuatu.

Aku cukup di segani banyak temanku. Mereka bilang aku ramah, baik, dan bijaksana. Banyak teman yang menganggapku sebagai teman curhat mereka dalam pemecahan masalahnya. Aku memang senang membantu dan memecahkan jalan keluar jika ada suatu masalah. Bagiku, itu mudah. Masalah dapat di selesaikan dengan hati yang dingin dan melalui nalar logika.

            Banyak kesan dan pesan yang ku dapat dari berbagai masalah dari teman-teman. Aku menyukai itu. Masalah sedikit demi sedikit terpecahkan asal mereka percaya bahwa setiap masalah pasti akan ada solusinya. Ya. Aku suka menasihati mereka, tapi tidak dengan diriku sendiri.

            Aku selalu hebat memberikan nasihat dan petuah sederhana kepada teman-temanku, namun belum ada yang bisa memberikan nasihat yang pas untukku. Aku sering bercermin, melihat bayangan yang ada didepanku. Sering terpikir, apakah aku tidak mampu menjadi seorang kekasih untuk orang lain? Apakah aku hanya sebatas teman curhat mereka yang aku sukai?

Tapi, walaupun aku tidak berfisik sempurna seperti orang kebanyakan, aku percaya diri dengan tubuhku yang lebih dari temanku yang lain. Aku tak pernah minder ataupun malu dengan ini. Menurutku, semua ini adalah ciptaan Tuhan yang harus kita syukuri. Lingkungan pula yang membuatku semangat dan semakin percaya diri dengan tidak memandang besar itu buruk. Aku hanya perlu menemukan sosok pangeran yang menerimaku apa adanya.

Di usia ku yang menginjak dewasa, rasa ingin mengetahui cinta pun aku alami. Aku mulai menyukai lawan jenis. Aku mulai menyukai sosok laki-laki yang baik agamanya, cerdas dan setia. Tapi di jaman sekarang ini, jarang sekali orang yang seperti itu, apalagi dengan postur tubuhku begini. Kebanyakan cowok sekarang lebih memilih wanita yang cantik. Itu juga yang ku tahu dari teman cowokku yang curhat kepadaku.

            Aku menyukai teman kelasku. Ia Ferry. Aku memang dekat dengannya. Tak heran teman-teman bahkan guru-guru pun menganggap kami berpacaran. Sebenarnya aku berharap demikian. Tapi, sudahlah.. hanya mimpi di siang bolong jika aku bersamanya. Ia keren, pintar, kreatif dan sangat ramah. Entah sudah berapa episode kami saling menceritakan kisah kami. Aku senang dapat mengenalnya lebih dekat.

“Ma, gue mau cerita nih. Gue naksir si Dian. Kira-kira kapan ya waktu yang tepat buat ungkapin perasaan gue?” Tanya Ferry yang tiba-tiba berbicara saat kami tengah duduk berdua ditaman sambil mendengarkan lagu di headset. Aku menghembuskan nafas. Mencoba bersabar dengan apa yang kudengar. Pertanyaannya membuatku tak bersemangat untuk menjawab. Beberapa detik kemudian akhirnya aku berbicara, aku tak mau membuat ia menunggu lama atas jawabanku.

 “Ya, terserah lo aja. Liat kondisinya aja dulu. Kalau tepat, nyatakan.” Ujarku dengan datar.

“Tapi, kalau dia nolak gue gimana?”  Tanyanya.

Pertanyaannya membuatku gusar.

“Hanya orang bodoh yang nolak segala kesempurnaan lo, Fer..” Kataku dalam hati.

“Nggak. Percaya sama gue! Dian pasti suka juga sama lo..”

“Serius, Ma?” Ferry menatap mataku untuk memastikan. Aku balas dengan anggukan.

“Ah syukurlah, kalau lo yang ngomong, gue jadi yakin.”

 Aku segera berlalu meninggalkannya.

***
          
  Hari semakin gelap, menandakan malam segera menghampiri. Aku yang sedang mengerjakan PR dikejutkan oleh kakakku dari belakang.

“Hayoo.. ngerjain PR sambil ngelamun. Kenapa lo ?” Tanya Kak Radit sambil menepuk bahuku.

“Gak apa-apa kok, Kak.” Balasku.

“Lo cewek banget ya kayaknya? Kalau cewek ditanya pasti gitu, nggak apa-apa. Ih..”

“Ya emang aku nggak kenapa-kenapa.”

“Pasti lagi galau. Cie, adek gue bisa galau. Biasanya jadi Mario Tegar.” Ejeknya.

“Ih. Apaan sih kak? Siapa yang galau. Aku lagi happy juga. Nih......” Kataku sambil menunjukan senyum paksaan.

“Ah, terpaksa tuh senyumnya. Gue tau dek, lo lagi galau, si Ferry abis nembak Dian kan?” Tanyanya membuatku kaget.

”Kok kakak tau Ferry sama Dian jadian?”

“Tau lah, mata-mata gue kan banyak. Udah gak usah di pikirin. Sekolah dulu yang bener, jangan pacaran dulu.” Katanya menasehatiku.

“Ehhmm, bisa banget kak, bilang aku gak boleh pacaran. Lah kakak? Pacarnya aja udah banyak banget.” Kataku membalikan.

“Gue kan udah gede. Ya enggak apa-apa lah.” Jawabnya.

“Gede apaan? Kakak kan kelas 3 SMA, beda 1 tahun doang kelasnya sama aku.”

“Yaa, kan waktu SD lo ikut aksel, dek. Kebalap setahun gue. Udah belajar lagi sana, jangan galau mulu. Ikhlaskan.”

“Ah, punya kakak nggak ada bikin semangatnya.”

“Emang lo mau banget pacaran? Ehm.. Terserah deh kalo lo mau pacaran. Tapi.. emang lo punya pacar dek? Temen deket aja gak ada, ada tapi udah jadian sama orang lain.”ejeknya sambil tertawa kecil.

“Ah.. Kan.. Mulai lagi. Mama.. Kak Radit tuh...” Ujar ku sambil berteriak.

“Sana ah pergi..” Aku mendorong Kak Radit yang masih tertawa geli.

Kata-katanya barusan membuatku semakin terpuruk sedih.

“Kenapa lo dek? Ngambek? Ya elah, gue becanda kok.” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku masih terdiam. Dengan lekukan bibir kebawah.

“Udah, gak usah di pikirin, gue cuma becanda. Udah lanjutin belajarnya biar pinter.” Katanya sambil meninggalkan kamarku.

Kata-katanya benar membuatku down. Entah apa maksudnya. Tapi, kusadari memang beginilah keadaanku.

***
            Aku bukan tipe orang yang terlalu larut dalam kesedihan dan renungan. Aku pun telah melupakan kata-kata Kak Raditya semalam. Sesampai di sekolah, aku bersikap seperti biasanya tanpa ada rasa sedih ketika tahu bahwa Ferry berpacaran dengan Dian. Aku mulai terbiasa dengan hal itu. Bagiku, untuk apa aku menangisi orang yang tak memikirkan perasaanku. Toh, itu hanya membuatku terganggu.


“Rahmaa..” Panggil seseorang dari belakang. Aku pun menoleh. 

“Eh, Tyas. Kenapa Yas?”

“Ngga, apa-apa cuma mau bareng aja. Hehe..”

 “Oh, ya udah yuk..” Ketika aku dan Tyas sedang menuju kelas. Seorang cowok tampan dengan motor Ninja merah-nya turun dari motor.

“Yas, kak Renaldi keren ya?” Tanyaku pada Tyas sambil tersenyum-senyum.

“Iya bener, Ma.. Tapi gue heran, kenapa ya dia sampai saat ini masih jomblo? Padahal banyak lho yang naksir sama dia. Termasuk lo..” Balasnya.

Selain Ferry, aku mengagumi kakak kelasku yang satu ini. Namanya Kak Renaldi. Ia pemain basket di sekolahku, pengajar ekskul musik, dan aktif dalam kegiatan agama pula. Aku pun tak pernah melewati pertandingan-pertandingan basketnya. Aku benar-benar mengaguminya. Aku rasa dia tahu perasaanku padanya. Karena aku sering memperhatikannya, dan teman-temanku pun sering mengejekku bila dia ada.

“Cie.. Rahma. Ada kak Renaldi tuh..” ejek Fira.

“Fira. Jangan mulai deh.” Balasku. Aku pun sambil meliriknya. Ternyata, dia tersenyum akibat ejekkan itu. Aku pun hanya bisa membalas senyum padanya.

Hubungan aku dan kak Renaldi semakin dekat karena kegiatan-kegiatan ekskul kami yang sama. Perasaanku terhadap Ferry sudah bukan sekedar suka melainkan sudah memahami bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Ferry yang mengetahui hal ini, segera menyetujui comblangan teman-teman yang lain.

Dan rasa yang ada di hatiku pun semakin menjadi-jadi. Aku semakin mencintai Kak Renaldi. Aku merasa bahwa kak Renaldi pun mempunyai rasa yang sama padaku, karena perhatiannya padaku selama ini.

***

“Rahma..” Panggil kak Renaldi padaku.

            “Kenapa kak?” Jawabku.

“Ehm, aku gak tau mau bilang apa sama kamu. Tapi ini bener-bener murni perasaan aku. Aku sayang banget sama kamu. Aku juga cinta sama kamu. Ya.. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku gak peduli, aku juga yakin kamu suka sama aku. Makanya itu, kamu mau gak jadi pacar aku?” Tanyanya.

Sebuah ucapan kejutan itu membuatku lemas, namun aku sangat bahagia. Ucapan itu tak pernah terbesit sedikit pun olehku. Dengan mataku yang masih membulat terkejut, dan mulut yang tiba-tiba terkunci rapat, Kak Renaldi memanggilku.

“Rahma..”

“Eh, si Rahma.. di tanya malah diem. Gimana Rahma? Aku di terima gak sama kamu?” Pintanya sedikit merayu.

“Ehm.. gimana ya, kak..” jawabku dengan gugup.

“Kenapa Ma? Gak di terima ya? Aku nggak pantes ya buat kamu?”

“Ehm, bukan bukan.. aku..aku.. aku sebenarnya suka juga sama kakak, tapi aku malu..” Aku menundukan pandanganku. Tak berani aku menatapnya.

“Malu? Malu kenapa?”

“Kakak gak malu punya pacar kayak aku?” Tanyaku ragu-ragu yang akhirnya tersampaikan.

Renaldi terdiam. Lalu tersenyum.

“Rahma.. aku menyayangi kamu bukan dari fisik atau yang lain, tapi aku menyayangi kamu dari hatimu. Kamu mampu membuat orang di sekitarmu tersenyum, termasuk aku. Gak usahlah kamu pikirin omongan orang lain nanti. Yang ngejalanin kan kita berdua. Yang merasakan, cuma kita berdua, Ma.”

Aku terdiam.

“Kakak yakin?”

“Ya! Sangat yakin. Aku yakin hubungan kita ini pasti sangat spesial.”

“Oke.” Ujarku.

“Serius? Yeeeeeee.... terima kasih Rahma.. Aku janji bakal yang berarti untuk kamu.” Katanya kegirangan.

Hari itu menjadi hari jadian aku dan Kak Renaldi. Aku sungguh merasakan kebahagiaan yang belum aku rasakan sebelumnya. Akhirnya, tepisan-tepisan bahwa besar adalah buruk seolah menghilang sedikit demi sedikit karena Kak Renaldi menggenggam tanganku dengan erat seolah membalas ejekan-ejekan selama ini.
***

Aku sedang berbaring dikamar sambil mengingat-ingat kejadian tadi siang. Tak pernah aku sangka, aku akan menjadi perempuan yang sangat beruntung. Tiba-tiba pintu kamarku terketuk.

“Masuk..” Kataku. Aku segera duduk menyambut kedatangan seseorang dari luar kamarku.

“Lo lagi ngapain?” Tanya kak Radit.

“Lagi happy..”

“Maksudnya?”

“Kakak belum tau aku jadian sama Kak Renaldy?”

“Hah? Lo jadian sama Renaldi? Katanya terkejut.

“Iya kak, emang kenapa?”

“Gak apa-apa sih.. lo suka sama Renaldi?

“Banget kak! malah cinta.”

“Tapi, gue gak yakin dia punya perasaan yang sama kayak lo, Ma..”

“Kenapa ngomong gitu sih, Kak? Kakak gak suka aku jadian sama Renaldi? Mentang-mentang aku gak punya pacar, sekalinya punya pacar kakak giniin aku..”

“Dek, gue gak maksud kayak gitu. ”

“Alah, boong. Kenapa sih Kak, kakak pacaran apa aku pernah ganggu? Nggak kan? Apa karena Kak Renaldi pacar pertama aku, kakak jadi semaunya. Aku udah dewasa Kak, aku juga berhak menentukan siapa yang bisa aku jadikan kekasih. Gak usah lah Kakak ikut-ikutan.”

“Rahma, kok lo ngomong gitu sih? Gue kakak lo, dan Aldi itu teman gue, wajar gue lebih tau tentang dia. Gue ngerti dia pacar pertama lo, tapi lo juga jangan terlalu berharap berlebihan.”

“Iya aku juga tau posisi aku!” Ujarku dengan nada membentak.

“Terserah deh, Ma.. gue cuma kasih tau, lo bakal nyesel nanti..” bentaknya sambil membanting pintu kamarku.
***

Hari-hariku pun terasa indah bersama Kak Renaldi, pulang antar jemput sekolah selalu dilakukannya. Tak ada kesan mencurigakan seperti yang Kak Radit katakan padaku. Hingga hubungan kami pun menginjak 4 bulan. Aku semakin yakin akan kehadirannya di hidupku, entah mengapa ia kini menyayangiku lebih dari yang dulu.

***
            Saat bel pulang sekolah tiba, aku telah janjian bahwa akan pulang bersama dengan Renaldi menggunakan motorku karena motornya di bengkel. Ketika aku menuju ke kelasnya di lantai dua, tak sengaja aku mendengar percakapan teman-teman Kak Renaldi. Di tempat itu kira-kira ada lima orang siswa.

“Eh  si Aldi, kok masih betah yah sama si balon tiup itu?” Kata salah seorang siswa.

“Tau tuh, taruhannya kan udah berakhir dari dua bulan yang lalu. Apa jangan-jangan si Renaldi suka beneran sama si Rahma?” Sahut teman yang lain.

“Kok mau sih Aldy?”

“Eh, tapi si Rahma manis kok, pinter juga lagi.”

“Ah, itu mah lo aja yang naksir”

“Terus, masalah taruhan gimana tuh? Eh, Zal. Lo udah lunasin taruhannya kan.”

“Sampai berapa bulan sih? Dua bulan doang kan?”

“Iya lah.. perjanjian dia jadian sama si Rahma kan cuma dua bulan, kalo udah empat bulan gini gue gak tanggung jawablah.”

“Yoiii....”

Hatiku bagai tersayat pedang panas mendengar ucapan mereka. Aku hanya menangis mendengar apa yang mereka nyatakan barusan. Aku segera berlari menuju parkiran motor, lalu aku pulang. Hari itu bagaikan hari yang menyesakkan dalam hidupku. Di perjalanan pulang aku berusaha menahan tangis. Sesampai di rumah aku segera berlari menuju kamarku. Aku meluapkan kesedihanku saat itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengapa Kak Renaldi tega menjadikanku bahan taruhan dengan teman-temannya?

Tiba-tiba tanda bunyi pesan masuk pun terdengar dari tasku. Aku segera meraih tasku dan melihat siapa pengirim pesan tersebut lalu membacanya. Ternyata dari Kak Renaldi.

“Rahma.. kamu dimana? Aku nyariin kamu. Kok motor kamu di parkiran udah gak ada? Jangan bilang kamu udah pulang..”

Aku tak membalas pesannya. Aku kembali menangis... ku dengar ketukan pintu dari luar kamarku. Aku segera bangun dan membukakan pintu. Kak Radit sudah ada di depan pintu.

“Rahma... nonton yuk. Film kesukaan kita udah tayang nih..”

“Nggak ah. Aku lagi males kak..” Kataku tanpa menatap mata Kak Radit. Kak Radit menyadarinya, segera ia hadapkan wajahku ke arahnya.

“Ntar dulu, kenapa mata lo? Abis nangis?”

“Gak apa-apa..”

“Cerita gak!” Katanya sedikit memaksa.

Kami duduk di tepi tempat ranjangku. Aku menceritakan semuanya pada Kak Radit tentang apa yang ku alami barusan. Wajah Kak Radit berubah seperti harimau yang akan memuntahkan amarahnya.
“Lo gak percaya sama gue kan, Ma?”

“Kan gue udah bilang. dia itu gak bener.. Lo tunggu sini, gue mau samperin dia.” Bergegas pergi.
Kak Radit entah kemana aku tak tahu, aku lebih memilih istirahat dan tertidur pulas.

***

Kak Radit menuju rumah Kak Renaldi. Setelah memarkirkan motornya di depan rumah Kak Renaldi, Kak Radit segera mengetuk pintu rumah Kak Renaldi. Kak Renaldi pun keluar dari rumahnya.

“Eh, Radit.. tumben kesini ada apa?”

“Jangan banyak bacot lo.” Kak Radit memukul Renaldi.

“Apa-apaan ini?”

“Apa-apaan? Hah? Pura-pura bego lo? Lo jadiin adek gue bahan taruhan kan! Sialan lo. Emang dari awal gue udah gak percaya waktu lo jadian sama adek gue, lo sama bejatnya waktu lo putusin Della seenak jidat lo!”

“Tapi, gue beneran gak ngerti”

“Ikut gue, lo..”

Kak  Radit dan Renaldi pun menuju ke rumahku. Sesampai di rumahku, Kak Radit membangunkanku, dan menyuruhku menemui serta membiarkan aku berbicara dengan Kak Renaldi di halaman belakang. Aku pun bersiap-siap, dan mengusap mataku agar tak terlihat seperti habis menangis. Aku pun menemui Kak Renaldi.

“Rahma..” Sapanya.

“Kamu kenapa? Habis nangis?" Katanya memandangku.

“Nggak! Kak, lebih baik hubungan kita, kita cukupkan sampai disini aja..”

“Lho kenapa?” Tanyanya heran.

“Kenapa? Kakak masih nanya kenapa? Kakak jadian sama aku karena taruhan uang sama temen-temen Kakak kan? Hebat banget sih, Kak..” Kataku sambil menahan tangis.

“Rahma.. mungkin memang sudah waktunya aku harus mengatakan hal yang sebenarnya sama kamu.”

“Bagus, kalo gitu apa yang mau kakak bilang? Kakak mau bilang Kakak bahagia dapet uang itu? Banyak ya Kak uangnya? Terus abis ini aku mau dikemanain? Diputusin? Ditinggal? Atau digantung?” Kataku dengan ketus.

“Bukan gitu, Ma.. Jujur, awalnya aku memang memperalat kamu sebagai bahan taruhan aku dan teman-teman. Tapi...” ucapannya terpotong.

“Tapi apa Kak? Apa? Aku malu, Kak. Aku malu tau itu semua.. Aku tau aku nggak secantik perempuan yang lain, tapi apa iya harus aku yang jadi bahan leluconan kalian? Aku juga manusia kak, aku juga perempuan.” aku mulai menangis.

“Rahma..” Kak Renaldi berusaha menenangkan aku dengan mengusap bahuku, lalu segera aku tepis.

“Aku pikir Kakak baik, kakak nggak menganggap kelebihan berat badan aku ini suatu masalah, tapi kayaknya aku salah. Kakak sama aja..”

“Rahma..”

“Udah deh, Kak. Aku nggak mau dengar apapun lagi... Aku...........”

“RAHMA! RAHMA DENGAR AKU DULU..!”

Kak Renaldi mengoyak bahuku agar aku mendengarkan ucapannya, seketika aku berhenti berbicara dan mendengarkannya.

“Aku nggak berniat untuk membuatmu sakit hati, kamu tahu hubungan  kita sudah annive yang ke empat bulan, kamu pasti tahu pertaruhan itu hanya kita menginjak hubungan ke dua bulan kan?”

Aku terdiam.

“RAHMA, JAWAB AKU!”

“Iya..”

“Apa itu artinya? Artinya aku sungguh mencintai kamu, aku punya perasaan yang lebih sama kamu. Kalau aku nggak cinta sama kamu, aku akan menyuruh kamu untuk melakukan hal yang nggak kamu suka, seperti berhenti ngemil, makan, iya kan? Coba, apa selama ini aku pernah melarang kamu untuk berhenti mengunyah saat kita jalan berdua? Apa aku pernah menyuruhku kamu untuk diet? Nggak kan, Ma?”

Aku terdiam mendengar penuturan Kak Renaldi yang dapat aku benarkan.

“Dan.. Aku gak pernah menggunakan uang itu sepeser pun, aku pun mulai mencintaimu ketika masa taruhan itu akan berakhir. Makanya aku putuskan agar lebih lama, karena aku mulai mencintaimu.”

“Asal kamu tahu Rahma, aku tak peduli dengan apa yang orang katakan tentang hubungan kita yang berawal dari sebuah taruhan. Aku justru bangga, selain aku mendapat uang taruhan itu, aku juga mendapat cinta kamu. Tapi sejujurnya, aku gak berniat untuk mempermainkan kamu.. Sungguh.” tambahnya.

Aku menatap matanya yang mulai berair.

“Kenapa harus dengan cara ini sih, Kak? Itu sama aja Kakak mempermalukan aku di hadapan teman-teman Kakak. Kenapa Kakak terima taruhan itu?

“Aku menerima taruhan karena aku bingung, kamu tahu setelah akuputus dengan Della? Saat itu aku seakan mati berpisah dengannya, Della menghancurkan hubungan kami dengan perselingkuhannya, lantas aku pun menjadi serba salah. Lalu aku putuskan dia, setelah kami putus, untuk menghilangkan rasa cintaku pada Della, aku menyetujui saran teman-teman untuk mencari penggantinya, dengan taruhan itu, justru aku mendapatkan kebahagiaan secara istimewa, aku menemukanmu lebih dari segalanya, itulah alasanku untuk mempertahankan hubungan kita, Ma..”

Aku terdiam. Kini tangannya menggenggam erat tanganku.

“Rahma, percayalah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kita selalu bersama untuk hari ini, esok dan selamanya.. Jangan ada ragu untuk kisah kita, Ma. Hubungan ini hanya kita yang menjalani, bukan mereka.”
“Tapi, ini bukan bagian taruhan lagi kan, Kak?”

“Nggak..! Sama sekali nggak. Kamu mau maafin aku? Aku janji nggak akan ada hal ini lagi. So?”
Aku masih terdiam.

“Rahma.. So?”

 Aku mengangguk tersenyum.

“Terima kasih lagi Rahma, aku sangat menyayangi kamu.. Nggak akan ada kata taruhan lagi. Dan jangan ungkit masalah ini lagi, Oke! Udah gak usah nangis, jelek ah .. ” mengusap air mataku dengan tangannya.

“Oh iya, uang taruhannya belum aku balikin. Tapi gak usah ya, buat tabungan kita menikah nanti.” Tambahnya.

Kak Renaldi mencium keningku, lalu memelukku dengan erat. Kami pun kembali bersama. Aku berjanji tak akan mengkhianatinya seperti Della yang dulu menduakannya. Setidaknya aku harus berterima kasih pada teman-teman Kak Renaldi, karena berkat saran mereka. Kami dapat menjalin sebuah kisah yang aku impikan sejak dulu.

Mungkin  pada akhirnya, aku dapat membuktikan, bahwa besar tidaklah buruk. Menjadi besar membuat kita semakin membuka mata untuk tidak berkecil hati, menjadi besar juga seharusnya bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak pernah salah memberikan cinta, justru menjadi besar akan mengetahui siapa mereka yang siap hadir disampingmu ketika kamu berduka, dan siapa yang hadir mencintaimu dengan sepenuh hati tanpa membuat si besar melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai.

Karena Tuhan tidak pernah salah menciptakan mahluk, dan tidak pernah salah memberikan garis hidup pada semua ciptaannya, sebab di balik itu semua, Tuhan telah mempersiapkan kejutan indah walau harus menunggu seolah seribu tahun lamanya.


*TAMAT*

Cerpen ~ My Lovely Cousin

MY LOVELY COUSIN

Aku ngerti Fan, aku tahu. Jadi kamu gak usah ngejelasin lagi. Intinya, kamu selingkuh kan? Fadli membuka suaranya setelah sekian lama terdiam. Lawan bicaranya kini hanya bisa menyedekapkan tangannya didada sambil menghela nafas. 

Aku harus ngomong apa sih lagi, Dli? Aku gak selingkuh sama siapapun. Apa sih yang harus aku lakuin supaya kamu percaya? Fanny mulai kesal dengan sikap kekasihnya yang mulai berpikir tidak rasional. Ia memang dekat dengan banyak teman laki-laki dikampusnya. Namun ia tak menyangka kekasih satu-satunya itu menganggapnya berselingkuh dengan banyak pria.
Kamu gak harus ngelakuin apapun kok! Hanya satu aja, kamu jujur. Toh aku gak akan marah, Fan.” Fadli masih bersikeras dengan argumennya, ia juga tak suka melihat Fanny dekat dengan banyak teman yang lebih dominan laki-laki itu.
Fanny menoleh tajam ke arah Fadli.
Aku udah jujur, Dli. Gibran itu sahabat aku!” Nada suara Fanny mulai terdengar keras.
Ck! Aku gak mau ngomong lagi sama kamu, sebelum kamu jujur sama aku. Karena gak ada sahabat yang saling mencium! Kata Fadli keras. Fanny menunduk lemas.
Hai, Fan! seorang cowok tinggi dengan kulit putih melambai ke arah Fanny, ia datang menghampiridan menyapa sambil mencium pipi kanan dan kiri Fanny. Kini Fadli yang harus menghembuskan nafas dan membuangnya keras-keras karena tak suka melihat kekasihnya disambar tiba-tiba oleh pria yang tak ia kenal.
“Siapa lagi, sih Fan? Kamu se-famous itu ya sampai banyak orang yang mudah mendekati kamu?” Fadli beranjak dari duduknya meninggalkan Fanny yang masih ternganga menerima perlakuan barusan.
Fadli!Teriak Fanny sambil menatap kesal pada laki-laki yang baru datang itu. Seketika, tangan cowok itu meraih tangan Fanny.
Dia kenapa sih? Aneh! Katanya lalu duduk bersandar di samping Fanny.
Jelas dia terlihat aneh, gimana gak aneh ngeliat pacarnya di sambar cipika-cipiki sama cowok keren kayak lo! Fanny menggerutu sambil mengusap wajahnya.
Gue keren? Ah, benar. Tapi kenapa gue masih jomblo juga ya, Fan?
Lo tanya sama nenek lo, kenapa lo masih jomblo! Fanny pergi meninggalkan cowok di sampingnya.
Fan.. Fan... Nenek gue kan nenek lo juga! Fan.. Berusaha mengejar Fanny.
***
Tiba-tiba ponsel Fanny berdering. Ia merogoh ponsel di saku celananya.
Halo, Ma..”
Fan, gimana Mas-mu udah dikampus? Tanya Mamanya Fanny.
Udah, Ma. Dan Mama tau gak, aku hampir aja putus sama Fadli, gara-gara Mas Aldian cipika-cipiki sama aku. Ngapain sih dia ke kampus aku?
Dia mau jemput kamu katanya. Sudah lah, kasian kan jauh-jauh dari Yogya, cuma demi jemput kamu.
Iya sih. Tapi caranya itu lho, kan bisa bikin orang salah paham, Ma.
“Kamu jelasin aja sama Fadli, kalo dia sepupu kamu yang baru datang dari Yogya..
Iya.. Iya..
Yaudah ya Fan. Dah..” Ibu Fanny mengakhiri pembicaraan.
Fan! Ayo. Aldian menghampiri Fanny dengan motor merahnya.
Cowok gue ntar marah lagi, Mas.
Udah biarin, biar sama-sama jomblo kita. Ayo..
Fanny segera naik ke motor Aldian dengan pasrah. Bagaimana pun juga ia tak bisa acuh terhadap sepupu yang baru datang dari Yogyakarta ini.
Makan dulu ya. Gue kangen bakso deket sekolah lo. Aldian segera mengarahkan motornya ke tempat bakso yang dimaksudnya.
***
Fanny dan Aldian sudah berada ditempat bakso langganan Aldian sebelum ia memutuskan untuk kuliah di kota pelajar, Yogyakarta. Fanny pun sedikit tak menyangka bahwa kakak sepupunya akan datang ke kampusnya dan hampir membuat Fadli, kekasihnya mengakhiri hubungan mereka.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta tak membuatnya berubah dari yang sebelumnya. Memiliki tubuh yang tegap dengan wajah yang tampan, ditambah penampilannya yang stylish membuat banyak wanita ingin menjadi pujaan hatinya. Sayang, tak ada satupuny yang berhasil memikat hatinya.
Aldian masih seperti dua tahun lalu yang selalu mengganggu hubungan Fanny dengan pacar-pacarnya terdahulu. Motto Aldian adalah "HIDUP JOMBLO SAMPAI SUKSES" yang masih lekat terngiang di otak kanan Fanny.
Lo ngapain ke Jakarta, Mas? Gak bilang-bilang lagi! Fanny membuka percakapan.
Gue mau magang disini, di kantor bokap lo.” Jawab Aldian.
Jauh banget. Emang di Yogya kehabisan lahan magang?
Ya.. Enggak. Gue juga kangen sama keluarga lo, udah lama nggak datang kesini. Dan.. Gue juga kangen sama nyokap gue.
Fanny terdiam mendengar pernyataan Mas Aldian yang umurnya 1 tahun lebih tua darinya.
 “Oh. Terus kapan lo mau kesana? Apa mau gue anterin? Ajak Fanny ragu-ragu.
Boleh. Kalo bisa hari ini kita kesana, gue udah kangen banget. Emang anak durhaka gue, dua tahun baru bisa nengok nyokap. Katanya sedikit bergurau.
Ya.. Nyokap lo juga pasti ngerti, lo sibuk disana. Yang penting kan, sekarang lo bakal dateng kesana.
Iya sih. Berarti kita ke toko bunga sama air mawar dulu ya?
Biasanya di tempat pemakaman ada yang jualan kok.
***
Fanny dan Aldian datang ke pemakaman Ibu Aldian yang meninggal pada dua tahun lalu sebelum Aldian memutuskan kuliah di Yogyakarta. Ibu Aldian yang sakit karena Kanker Rahim yang dideritanya, membuat Aldian harus mengikhlaskan kepergian Ibunya yang genap berusia 50 tahun.
Air mata Aldian tumpah saat mengenang hidupnya dulu bersama Ibunda tercinta yang terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Fanny dengan baik, mengusap punggung Kakak Sepupunya memberi support agar selalu tabah mengikhlaskan kepergian Ibunya yang sudah tenang berada di sisi Sang Pencipta.
***
Kamu tidur di kamar tamu ya, Di. Kata Papanya Fanny saat makan malam.
Gak di kamar Fanny aja, Om? Dulu kan sering tidur sama Fanny, Putri dan Meli, Om.
Itu waktu gue masih kelas 4 dan lo, Mbak Putri dan Mbak Meli kelas 5  SD, ya Mas. Enak aja! Fanny terlihat jutek menanggapi pernyataan Aldian. Yang di jutekin malah terkekeh di balik tundukannya.
Aldi, Aldi..  Oh iya, bagaimana dengan kakakmu di Yogya?" Tanya Papa Fanny.
Baik kok, Om. Oh iya, disini Aldi cuma 3 bulan kok, Oom. Sampe masa magang aja.Jawab Aldian.
“Langsung pulang kalo udah selesai. Jangan lama-lama disini. Rusuh.” Sahut Fanny.
“Lo kenapa sih, Fan? Sensi banget sama gue.” Jawab Aldi. Fanny menjulurkan lidahnya meledek.
***
Keesokan harinya. Fanny datang ke kampus di antar oleh Aldian. Setibanya di kampus, Fanny segera mencari Fadli. Namun, tak ia temukan batang hidung kekasihnya. Ia juga sempat bertanya pada teman-temannya, dimana sosok kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir.
“FADLI!” Seru Fanny senang, karena mendapati Fadli baru keluar dari perpustakaan. Ia pun menghampiri dan menggandeng tangan Fadli seperti biasanya. Fadli hanya diam tanpa merespon Fanny.
“Fadli.. Kok cuek sih?”
“Apa lagi sih, Fan?”
“Masih marah?”
“Siapa yang gak marah lihat pacarnya di cium sama orang lain? Aku aja gak pernah boleh nyium kamu.”
“Oke. Aku jelasin sekali lagi ya. Gibran nggak nyium aku, dia niup mata aku waktu aku kemasukan debu. Kamu bisa tanya sama seisi di dunia ini.”
“Dan kemarin?” Tanya Fadli. Fanny berpikir sejenak, sebenarnya ia suka melihat kekasihnya ini cemburu, namun lama-lama tak juga ia mengerjainya.
“Kemarin.. dia itu sepupu aku, baru datang dari Yogya. Mau magang  di kantor bokap, namanya Mas Aldian. Udah dong, nggak usah marah lagi..” Fanny menggelayut manja.
“Kamu centil sih. Makanya semua orang bisa deketin kamu semaunya mereka.”
“Janji deh, nggak diulangi.”
“Sungguh?”
Fanny mengangguk.
“Ayo ah..”
***
“Mas.. Ajarin dong. Susah nih tugasnya..” Fanny melongokan kepalanya dari balik pintu. Didapatinya Aldi sedang mengetik di laptopnya dengan banyak file dimeja belajarnya.
“Udah gede juga, masih aja nanya-nanya.” Jawab Aldi santai.
“Mas..” Fanny masuk dan duduk di tepi ranjang kamar tamu, yang kini menjadi ranjang sementara Aldian.
“Apa?”
“Kenapa sih, lo gak punya pacar? Lo kan cakep, Mas. Pasti di kampus lo, banyak yang mau sama lo.”
“Gue gak butuh siapa-siapa, Fan. Gue mau fokus dulu sama kuliah gue.”
“Emang kalo pacaran, ganggu kuliah ya?”
“Emangnya lo, taunya cuma pacaran, ngoleksi mantan mulu.”
“Siapa bilang? Ih gue udah nggak gitu lagi tau! Makanya, lo jangan ganggu hubungan gue sama yang ini, gue udah mau setahun sama dia.” Ujar Fanny bangga.
“Masa?”
“Beneran! Terus, kalau tipe cewek yang lo suka kayak apa, Mas?”
“Ehm...” Aldian seketika menghentikan aktifitasnya, sambil terpikir pertanyaan dari Fanny.
“Lama lo mikirnya, Mas.”
“Ehm.. pokoknya.. gue suka sama cewek yang gak banyak nuntut, terus baik, murah senyum, gak aneh-aneh, dan pintar memasak.”
“Ehm.. standar ya?”
Aldi mengangguk.
“Temen gue banyak tuh, Mas. Mau gue kenalin gak?”
“Seksi nggak?” Jawabnya, sambil melanjutkan aktifitasnya.
“HAH?” Fanny terkejut.
“Kalau nggak seksi nggak mau ah.”
“Kenapa?” Tanya Fanny penasaran.
“FANNY..... Ada Fadli di bawah, Nak..” Teriak Mamanya dari lantai satu.
“Ish.. ngapain sih malem-malem kesini?” Gerutu Fanny.
“Kenapa? Dia kan cowok lo?”
“Gue banyak tugas, Mas. Gue kebawah dulu ya..” Fanny pergi.
***
Di kantor tempat Aldi Magang. Aldi mulai melihat kenyataan antara teori yang selama ini di pelajari di kampusnya, dengan kegiatan yang ia lakukan hari ini. Tak jauh berbeda memang, sehingga Aldi yang memang pandai, mudah menyesuaikan diri dan banyak membantu menyelesaikan tugas dengan baik.
“Permisi..” Sapa seorang wanita cantik berkemeja abu-abu dan di tunjang dengan sepatu wedges merah. Aldi pun menoleh ke arahnya.
“Iya, ada apa ya?”
“Kamu anak magang ya? Bisa minta tolong gak?”
“Oh.. bisa.. bisa.. ada apa ya, Bu?” Jawab Aldi terpana.
“Ini.. tolong lengkapin persyaratan perekrutan karyawan baru ya.. Kamu ke ruangan Pak Bahri untuk membantunya. Saya ada meeting 5 menit lagi. Tolong ya.. bisa kan?” Pintanya.
“Oh.. Bisa, Bu..”
“Makasih ya.. AL-DI-AN..” Katanya mengeja nama Aldian di name tagnya.
“Iya, Bu MI-RAN-TI.. woow..” Kata Aldi tersenyum sambil membaca nama wanita cantik di name tag, tepat di dada kirinya.
“Saya permisi ya..” Ibu Miranti pergi meninggalkan Aldian.
“Iya, Bu.. Waw.. Cantik.. Dadanya juga.. Haha..”
***
“APA? LO SUKA SAMA KARYAWANNYA PAPA??” Kata Fanny terkejut ketika Aldi membisikan sesuatu pada Fanny.
“Ssst... Ssst... Berisik banget sih lo!” Aldi membekap mulut Fanny. Lalu melepaskannya.
“Lo gila?”
“Ya emangnya kenapa? Dia cantik. Dan yang pastinya...”
“Dadanya.. Sst.. sst.. udah.. udah.. Gue gak mau dengar! Omes banget sih lo, Mas.. Emang lo gak bisa nilai orang dari yang lain, apa? Kenapa harus dari..... ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya memangnya kenapa? Gue suka. Wajar dong, gue cowok.” Katanya sambil merebahkan tangannya di bahu Fanny.
“Pokoknya gue gak suka ya kalau lo naksir sama karyawan Papa yang sok seksi itu.. cari yang lain lah, Mas..”
“Siapa? Lo?”
“Hah?” Fanny terperanjat kaget.
“Nggak mungkin, kan?”
Fanny menghela napas.
***
Aldian menuruni anak tangga lalu menghampiri meja makan untuk makan malam bersama keluarga Fanny.
“Malam Om.. Tante..” Sapanya.
“Tumben lo nyapa?” Sahut Fanny.
“Yah... emangnya gak boleh nyapa? Oh iya Om, ada pegawai minta saya lengkapi data karyawan yang baru. Terus katanya kalau udah selesai, suruh di taro di meja kerjanya. Tapi saya gak tau meja kerjanya, Om. Gimana ya?” Tanya Aldi sambil menyendok nasi.
“Ehm.. memang siapa yang minta tolong?” Jawab Oom Indra.
“Bu Miranti..”
 “Ehg.. Kamu letakkan saja di meja kerja saya. Karena semua langsung saya lihat.”
“Oh gitu..”
“Kenapa lo, Mas? Kesempatan mau ketemu Bu Miranti lagi, ya? Gak usah genit gitu deh, dia gak bakal suka sama lo!” Sindir Fanny.
“Uhuk.. uhuk..” Indra tersedak.
“Minum dulu, Pa.. Papa sih makannya buru-buru.” Lidya memberikan segelas air.
“Kenapa, Om?” Tanya Aldi menyelidik.
“Fanny. Kamu ini ada-ada aja.. Sudah lanjutkan lagi makannya.” Tambah Lidya.
“Dia kan naksir sama Bu Miranti, Ma.. Katanya Mas Aldi sih, Bu Miranti itu.. AWWW....” Fanny menjerit kesakitan. Kaki kirinya ditendang sengaja oleh Aldian.
“Kenapa, Fan?” Tanya Aldian sambil melototkan matanya. Fanny memanyunkan bibirnya yang manis.
***
“Kenapa sih Mas harus Ibu-ibu?”
“Ibu-ibu apa? Dia masih muda. Eh.. lo yang bilang gue harus punya cewek. Ya dia pilihan gue.” Jawabnya santai. Aldi duduk di tepi ranjangnya.
“Pokoknya, besok lo liat aja. Gue pasti bisa menaklukan Ibu Miranti yang cantik.. haha.” Ujar Aldi yakin.
Fanny menoleh. Ia tak percaya kakak sepupunya masih bersikeras mempertahankan pendiriannya. Fanny menghampiri Aldi.
“Mas, tapi lo bisa cari yang seumuran sama.... Awww...” Fanny menubruk Aldi. Fanny menatap Aldi. Tubuh Aldi tertindih Fanny.
“Oke.. gue mau cari yang seumuran. Tapi.. sama lo..” Aldi mengerlingkan matanya.
“Ma..Maksudnya?” Fanny terbata-bata.
“Gue suka sama lo, bahkan dari dulu. Waktu kecil, kita sering kan tiban-tibanan kayak gini? Saat beranjak SMA, dan kita udah gak boleh tidur bareng, gue sadar.. Ternyata, gue suka sama lo.”
“Mas.. lo becanda, kan?”
“Nggak.. Dan gue yakin, lo juga suka kan sama gue?”
“Ah, mana mungkin, lo tau darimana?”
“Buktinya, lo gak mau bangun dari tubuh gue?”
“Ehm?” Fanny tersadar, Ia segera bangkit dari tubuhnya Aldi, dan Fanny terlihat salah tingkah.
“Jadi?”
“Ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menutup wajahnya lalu pergi keluar dari kamar Aldi. Aldi tertawa bahagia.
***
Keesokan harinya. Selesai mengantar Fanny ke kampusnya, Aldi melaju ke kantor tempatnya melaksanakan tugas Praktek. Dilihatnya dari jauh, 5 detik lagi lampu hijau akan berakhir, ia segera melajukan motornya dengan cepat.
“Ah sial..” Katanya kesal karena lampu hijau telah berubah menjadi merah.
Para pengendara lain pun ikut menunggu berakhirnya lampu merah agar bisa melanjutkan perjalanan mereka. Tak sabar menunggu, Aldi melihat-lihat sekitar. Seketika ia menajamkan penglihatannya, ia cukup terkejut melihat Indra satu mobil dengan sosok yang ia kenal. Ibu Miranti. Ya. Ia yakin, wanita cantik yang mengenakan blus oranye itu pasti Ibu Miranti, pegawai yang seksi nan cantik satu mobil dengan Indra. Astaga.
Lampu merah berubah kembali menjadi kuning lalu hijau. Mobil Indra segera melaju. Aldi pun mengikutinya dibelakang.
***
“Kita teruskan minggu depan.” Dosen mengakhiri materi kuliah. Semua mahasiswa pun berhamburan keluar kelas.
“Fan.. kita jadi nonton kan?” Tanya Fadli.
“Ehm.. Jadi.. ayo..”
***
“Permisi..” Aldi memasuki ruang kerja Indra. Tak ia temukan sosok Om-nya  disana. Ia pun segera meletakkan berkas-berkas di atas meja kerja Indra.
“Pantes, kemarin gue bahas Bu Miranti dia langsung keselek. Dasar bandot!” Aldi mengintip Indra sedang berbincang dengan Miranti.
“Iya. Tapi saya gak mungkin nikahin kamu. Kamu tahu, aku punya anak yang sudah dewasa. Bagaimana perasaannya nanti, kalau Papa yang dia sayang, menikah lagi. Lagi pula, bagaimana dengan istriku?”
“Mas.. Kamu tuh harusnya berpikir, bagaimana nasib aku selanjutnya. Apa aku harus jadi selingkuhanmu sepanjang hidupku? Aku juga ingin bahagia, Mas..”
Aldi benar-benar membulatkan matanya mendengar percakapan Indra dengan perempuan yang lagi-lagi ia tebak pasti Miranti. Ia tak menyangka, Om yang menjadi panutannya, tega mengkhianati Tanta Lidya dan Fanny. Aldi pun segera keluar dari ruangan Indra.
***
“Kita mau nonton apa?” Tanya Fadli.
“Terserah kamu deh..” Fanny sibuk dengan handphonenya. Ia menunggu balasan pesan dari Aldian untuk mengingatkan bahwa Aldian tidak boleh berbuat yang macam-macam pada pegawai Papanya.
“Mas Aldian kok gak bales, sih?” Keluhnya dalam hati.
“Fan.. Ayo..”
Fanny mengangguk. Fadli dan Fannya pun masuk ke teater 3 dan menuju kursi di tengah.
***
“Aduh....” Miranti tiba-tiba tersandung, Aldi yang berada di dekatnya segera menopang tubuh Miranti.
“Ibu gak apa-apa?”
“Nggak.. Makasih ya..” Miranti duduk di kursi kantin.
“Ibu kenapa? Kok.. wajahnya sedih?” Aldi mengikuti Miranti.
“Nggak.. Mungkin saya lagi kecapekan aja.”
“Oh.. Mau saya pijitin?”
“Boleh.. Emang kamu bisa mijit?”
“Bisa..”
Aldi bersiap-siap mengambil posisi untuk memijit Miranti. Miranti sendiri sibuk dengan handphonenya. Aldi mengangkat ibu jari ke arah temannya agar bersiap memotret dirinya.
“Ibuuuu...” Mulut Aldi sedikit di monyongkan, terlihat seperti mencium Miranti.
“Kenapa, Di?” Miranti menoleh ke arah Aldi.
“Ckrek!” Foto pun terjepret.
***
“Filmnya kocak ya, Fan. Aku suka waktu cowoknya beraksi, eh.. ternyata mau nyium ceweknya.”
“Ehm.. Iya..” Jawab Fanny sekenanya.
“Fan... Kita udah pacaran berapa lama, sih?”
“Kenapa emang?” Fanny masih fokus dengan handphonenya.
“Kamu tahu aku sayang banget sama kamu, Fan.. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat mempertahankan hubungan. Setelah kita wisuda, dan bekerja. Aku janji, aku akan melamar kamu, Fan..”
Fanny menoleh ke arah Fadli. Ia takjub dengan ucapan Fadli. Ia tak menyangka kini ia memang sudah dewasa, ia tak pernah berpikir untuk bosan ataupun mencari pengganti Fadli. Ia hanya ingin memastikan bahwa Fadli lah yang akan menjadi masa depannya.
“Kamu mau kan, Fan?” Tanya Fadli memastikan.
Perlahan tapi pasti, Fadli mendekatkan dirinya ke arah Fanny. Fanny terpaku melihat apa yang akan dilakukan Fadli dihadapannya. Dikecupnya bibir Fanny sekejap.
“Aku sayang banget sama kamu, Fanny..”
Fanny menunduk salah tingkah. Baginya ini adalah pertama kalinya ia dicium oleh seorang laki-laki. Fadli membuat perasaannya berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Perasaannya memang gembira, namun dirinya gelisah.
Suara ringtone pesan di handphonenya Fanny seketika mencairkan suasana yang mulai tegang saat itu. Fanny segera membacanya.
From: Mas Aldi
Kalo lo liat, pasti lo kaget....
“Apaan sih.. nih orang.”
Sebuah gambar pun dilihatnya. Betapa terkejutnya Fanny, mendapati Aldi mencium seorang wanita. Mulut Fanny ternganga tak percaya.
“Siapa, Fan?” Tanya Fadli yang ikut-ikutan panik melihat kepanikan Fanny.
“Pulang.. Pulang.. Dli..”
“Kamu kenapa sih?”
“Ayo cepat pulang...”
Fadli pun segera melajukan mobilnya.
***
“MAS... MAS ALDI” Fanny berteriak.
“Ada apa sih, Fanny? Kamu kok teriak-teriak gitu?” Tanya Lidya.
“Mama.. Mas Aldi mana?”
“Belum pulang, Fan.. Kenapa sih?”
“Ah...” Fanny pergi.
“FANNY.. Kamu mau kemana lagi?” Tanya Mamanya.
Fanny mengeluarkan handphonenya dan segera menghubungi Aldi.
“Halo.. lo dimana, Mas?”
“Kenapa sih? Marah-marah gitu?” Jawabnya santai.
“Dimana cepetan!”
“Gue di pasar malam. Yang di Jalan Kenari. Kenapa emang?”
“Tut.. tut.. tut..” Sambungan telepon terputus.
***
“FANNY....!” Teriak Aldi, saat melihat adik sepupunya baru datang. Yang di panggil pun menoleh. Fanny segera menghampiri Aldi di depan wahana kincir.
“MAS... LO NGAPAIN SIH PAKE...” Ucapannya terpotong. Aldi segera menariknya ke dalam kincir.
“OKE BANG, PUTER!!” Teriak Aldi.
“Mas.. Ngapain naik ginian sih?”
“Daripada gue naik sendirian, atau.. gue di temenin Bu Miranti?” Ledek Aldi.
“Ih.. Gue gak tau deh harus ngomong apa sama lo! Kok lo suka sih sama dia? Dia kan... Janda..” Fanny menunduk.
“Emang kenapa? Lo yang bilang, kalo gue harus punya cewek.”
“Tapi gak dia juga!”
“Makanya lo harus jadi pacar gue!”
Fanny tertunduk malu. Sebenarnya perasaannya mulai hadir semenjak Aldi datang ke rumahnya, bahkan jauh sebelum itu. Dua tahun sebelum Ibunya meninggal, Fanny dan keluarganya sering menjenguk Ibunya Aldi yang sakit. Beberapa kali, Fanny melirik ke arah Aldi, namun Aldi terlihat cuek, bahkan tak mempedulikan dirinya.
Kincir pun mulai di putar. Aldi berdiri saat kincir di putar.
“Lo ngapain sih? Gak seimbang ini. Ntar kalo jatuh, gue syukurin lho!” Ujar Fanny kesal.
“Coba deh. Enak loh..” Aldi duduk, dan mencoba membantu Fanny mengikutinya.
“Jatuh gak nih?”
“Nggak!”
Fanny berusaha berdiri mengikuti Aldi. Fanny merasakan sesuatu yang berbeda, mencoba menyeimbangkan diri di kabin kincir, dan diputar.
“GREEEK...!” Kincir terhenti. Fanny dan Aldi terjebak di paling atas. Fanny jatuh terduduk di pangkuan Aldi. Aldi memandangi Fanny sangat dalam, begitu pun Fanny. Matanya yang berbinar, seolah mengharapkan lebih dari sekedar tatapan Aldi.
“Fan... Gue suka sama lo. Perasaan gue bukan sekedar sepupu, gue ingin lebih dari itu.”
Fanny tak bisa menjawab pertanyaannya. Di perasaannya kini hanya ada Fadli. Namun, ia tak bisa menolak hadirnya perasaan lain untuk sepupunya itu.
“Gak bisa, Mas. Gue itu sepupu lo. Sampai kapanpun kenyataan itu gak bisa diubah.”
“Banyak yang sepupuan, tapi pacaran bahkan menikah, Fan. Kenapa harus takut?”
“Kalau lo nekat, kita di hujam sama semua orang, Mas. Sama orangtua gue, bokap lo, dan seluruh keluarga yang lain. Kita bisa dipecat dari keluarga.”
“Gue gak peduli. Bertahun-tahun gue tahan perasaan ini, sampai akhirnya gue memutuskan untuk jujur sama lo. Dan sekarang lo nolak gue, rasanya sakit, Fan!”
“Lebih sakit mana, kalau kita putus karena gak direstuin keluarga? Lo itu anak dari kakaknya nyokap gue, Mas! Lo harus sadarin hal itu!”
“Percuma gue datang jauh-jauh magang kesini. Padahal tujuan gue untuk ungkapin perasaan ini. Tapi, lo gak punya rasa buat gue.” Aldi menunduk.
Fanny bingung menghadapi dirinya saat ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Fanny memberanikan dirinya merangkul pundak Aldi dan memeluk Aldi.
“Maafin gue, mas.” Ujarnya dalam hati.  
***
Semenjak kejadian tadi malam, Aldi dan Fanny tidak bertegur sapa. Keduanya tampak malu dan enggan berkomentar.
“Om.. Saya.. Ingin mengakhiri magang disini.”
Pernyataan Aldi yang tiba-tiba, membuat semua orang menatap penuh tanya.
“Kenapa, Aldi?” Tanya Indra.
“Saya... Naksir sama pegawai Om, namanya Bu Miranti. Dia selalu bikin saya jantungan, Om. Saya gak kuat di tatap sama Bu Miranti.”
“APA??” Tanya Indra terkejut.
“Apa maksud kamu?” Tambahnya.
“Saya mencoba mendekati Bu Miranti, tapi dia menolak saya, Om. Padahal, awalnya saya pikir Bu Miranti suka sama saya. Ternyata dia suka sama orang lain.”
“Bu Miranti itu siapa, Di?” Tanya Lidya.
“Sekretarisnya Om Indra, Tante..”
“Sekretarisnya? Sejak kapan Papa punya sekretaris perempuan, Pa?”
“Ehg.. Baru-baru ini, Ma..” Jawab Indra tergagap.
“Om.. Bisa bantu saya gak, untuk mendapatkan Bu Miranti? Saya pusing Om buat deketin Bu Miranti, susah banget..”
“Memang usianya berapa tahun, Di?” Tanya Lidya.
“NGGAK!” Indra menggebrak meja makan. “Kamu gak boleh mendekati Miranti. Miranti itu sudah berusia 28 tahun. Mau jadi apa kamu mendekatinya?”
“Om.. Dalam hukum maupun agama, kan gak ada yang melarang kita mencintai orang yag lebih tua kan? Menurut saya sah-sah saja.”
“TIDAK!” Bentak Indra.
“Kenapa, Om? Alasannya apa?”
“Dia sudah mempunyai anak! Bagaimana bisa kamu membesarkannya? Sedangkan kamu saja belum lulus kuliah!”
“Pa.. Menurut Mama, gak ada salahnya. Lagi pula Aldi kan hanya minta didekati, kenapa Papa yang marah-marah?”
“Tidak! Sampai kapanpun, Miranti tidak boleh dinikahi siapapun!”
“Kenapa, Om? Apa Om yang mau menikahi Ibu Miranti?”
Semua orang di meja makan menoleh ke arah Aldi. Termasuk Fanny.
“Maksud lo apa, Mas?” Tanya Fanny terkejut.
“Nggak.. gue cuma ngira aja. Abis Om posesif banget sih. Masa gue mau deketin Bu Mira gak boleh..” Katanya sambil meneguk minumnya.
“Sudah Di.. Jangan memperkeruh suasana saat makan. Ayo lanjutkan makan! Sudah Pa.. Jangan emosi.” Ujar Lidya.
***
“Fan.. Helmnya..”
Fanny membuka helmnya, lalu memberikan kepada Aldi.
“Mas, gue......”
“Kriing.. kring..” Ponsel Aldi berdering.
“Halo.. Bu Miranti..”
Fanny menghela napas. Mungkin tadi malam hanya bualan Aldi semata. Aldi lebih memilih Ibu Miranti dibanding dirinya. Fanny segera berlari meninggalkan Aldi.
“Iya Bu, sama-sama. Ya.. saya pikir memang itulah cara yang terbaik. Daripada Ibu hanya menunggu yang belum pasti. Kapan Ibu take-off? Oh.. gitu. Oke..” Aldi mengakhiri teleponnya. Dia tersenyum lega.
***
“Aku harus menikahi Miranti. Apapun tanggapan Lidya dan Fanny, aku tidak peduli. Miranti harus menjadi istri keduaku sebelum orang lain melamarnya! Termasuk Aldi!” Indra menuju ruangannya, mencari Miranti.
***
“Fan..” Aldi mendekati Fanny saat Fanny di dapur.
“Nggak, Mas.. Nggak! Lo pikir gue cewek apaan? Lo udah tau gue sepupu lo, lo malah bilang suka sama gue, terus kalau nanti kita pacaran, gak di restuin, lo ninggalin gue seenak jidat lo. Belum pacaran aja, lo bimbang, mau milih gue atau Bu Miranti yang seksinya ngalahin artis-artis baru. Mau lo apa, sih?”
“FANNY...” Teriak temannya dari ruang tamu.
“Gue eneg ngeliat lo!” Fanny menyikut Aldi lalu pergi menemui temannya.
“Gue kan mau jelasin. Gue mau balik ke Yogya. Kenapa dia marah-marah?”
***
“Miranti mana? Apa dia belum datang, hari ini?” Tanya Indra pada karyawannya.
“Nggak tau, Pak.. Biasanya, pagi-pagi sudah datang.”
“Pak.. Pak.. Bu Miranti, nitip ini ke saya.” Pegawai lain menyodorkan surat. Dengan cepat, Indra membuka surat itu lalu membacanya.
“APA? RESIGN? NGGAK BISA!” Indra meninggalkan karyawannya yang keheranan.
***
“Aduh.. Fanny.. Fanny.. Kenapa sih gue jadi sepupu lo? Kenapa lo harus jadi anaknya Tante Lidya? Dan kenapa Tante Lidya harus jadi adik Nyokap gue? Aaah.....” Aldi menggaruk kepalanya.
“Ini semua gara-gara Nenek sama Kakek gue nih. Kenapa harus lahirin Nyokap gue sebagai kakaknya Tante Lidya? Berat banget gue ninggalin Fanny disini.”
--Ponsel Aldi berdering--
            From: Fanny
            Jemput gue kalau emang kita mau jadian. SEKARANG!!!!!!
            “Hah? Fanny ngajakin jadian? Serius nih? Harus cepet-cepet nih. Suratnya? Ck! Bodo ah.. Gak jadi ke Yogya deh..” Aldi meninggalkan surat yang ia tulis untuk Fanny di mejanya.
***
“CIIIIT..... BRUUUUUUUKKK! BRUUUK! BRUUUK...!”
Tabrakan beruntun itu tak dapat menghentikan siapapun. Lima mobil dan dua belas motor pun hancur seketika, Fanny meratapi kemalangannya hari ini. Dua orang yang ia sayang kembali kepada Tuhan, Sang Pencipta. Fanny menyesali semuanya. Beribu tetes air matanya tak dapat mengembalikan sosok yang pernah ia cintai untuk kembali ke dunia ini. Fanny hanya bisa melihat Mamanya tergolek lemas tak berdaya menyaksikan orang yang telah menjadi suaminya ikut meninggal dalam kejadiaan naas tersebut. Fanny dan Mamanya benar-benar harus mengikhlaskan Aldi dan Papanya.
***
“Non.. Bibi temukan ini di kamarnya Mas Aldi..” Bibi menyodorkan surat kepada Fanny. Fanny segera membuka dan membacanya.
Buat: Fanny. Adik Sepupuku tersayang..
Dari: Mas-Mu yang paling guanteng sejagad raya.
Fanny.. Gue tau hubungan kita gak layak dipersatukan. Hubungan kita bakal jadi dosa yang mungkin gak di ampunin sama Tuhan. Gue emang suka, bahkan gue cinta sama lo. Tapi setelah gue pikir-pikir, gue lebih suka sama Bu Miranti. Bukan dari seksinya kok. Tapi dari hatinya. Gue berniat pulang ke Yogya dan nyari tempat magang lagi disana. Gue dan Bu Miranti memutuskan untuk menjalin hubungan.
Fan.. Gue tau, gue bodoh banget. Tapi gue akan lebih bodoh lagi kalau membiarkan bokap lo jadiin Bu Miranti istri yang kedua. Bokap lo berniat melamar Bu Miranti. Tapi.. Gue cegah dengan rayuan maut gue, dan dia sudah pindah jauh sekarang. Sekarang, keluarga lo bisa damai, Fan. Gak akan ada gangguan lagi. Gue gak mau hubungan keluarga lo rusak kayak keluarga gue. Lo tau kan, nyokap gue mulai sakit-sakitan waktu tau bokap gue selingkuh. Gue gak mau hal itu ke ulang lagi sama keluarga lo. Sampai gue mati pun, gue tetep suka sama lo, Fan. Jaga diri baik-baik ya, Fan. Dah.. Salam buat Fadli. Semoga lo langgeng sama dia. Bye..
Aldi.
Fanny menangis sejadi-jadinya. Tetes demi tetes air matanya jatuh membasahi pipinya. Tak pernah ia bayangkan akan begini jadinya. Ia semakin terpuruk di sisi makam Aldi dan Papanya.
TAMAT