Aku tahu kok, aku
gak cantik secantik perempuan yang lain. Aku juga bukan perempuan hits yang
selalu mengikuti perkembangan jaman. Aku hanya anak rumahan yang suka mengagumi
ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Namaku Rahma Gladys Niatra. Aku berumur 16 tahun, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Hari-hariku, aku isi dengan penuh keceriaan. Bagiku, tak mau aku melewatkan hari yang indah hanya untuk merenung diam tanpa melakukan sesuatu.
Aku cukup di segani banyak temanku. Mereka bilang aku ramah, baik, dan bijaksana. Banyak teman yang menganggapku sebagai teman curhat mereka dalam pemecahan masalahnya. Aku memang senang membantu dan memecahkan jalan keluar jika ada suatu masalah. Bagiku, itu mudah. Masalah dapat di selesaikan dengan hati yang dingin dan melalui nalar logika.
Banyak kesan dan pesan yang ku dapat
dari berbagai masalah dari teman-teman. Aku menyukai itu. Masalah sedikit demi
sedikit terpecahkan asal mereka percaya bahwa setiap masalah pasti akan ada
solusinya. Ya. Aku suka menasihati mereka, tapi tidak dengan diriku sendiri.
Aku selalu hebat memberikan nasihat
dan petuah sederhana kepada teman-temanku, namun belum ada yang bisa memberikan
nasihat yang pas untukku. Aku sering bercermin, melihat bayangan yang ada
didepanku. Sering terpikir, apakah aku tidak mampu menjadi seorang kekasih
untuk orang lain? Apakah aku hanya sebatas teman curhat mereka yang aku sukai?
Tapi,
walaupun aku tidak berfisik sempurna seperti orang kebanyakan, aku percaya diri
dengan tubuhku yang lebih dari temanku yang lain. Aku tak pernah minder ataupun
malu dengan ini. Menurutku, semua ini adalah ciptaan Tuhan yang harus kita
syukuri. Lingkungan pula yang membuatku semangat dan semakin percaya diri
dengan tidak memandang besar itu buruk. Aku hanya perlu menemukan sosok
pangeran yang menerimaku apa adanya.
Di
usia ku yang menginjak dewasa, rasa ingin mengetahui cinta pun aku alami. Aku
mulai menyukai lawan jenis. Aku mulai menyukai sosok laki-laki yang baik
agamanya, cerdas dan setia. Tapi di jaman sekarang ini, jarang sekali orang
yang seperti itu, apalagi dengan postur tubuhku begini. Kebanyakan cowok
sekarang lebih memilih wanita yang cantik. Itu juga yang ku tahu dari teman
cowokku yang curhat kepadaku.
Aku menyukai teman kelasku. Ia
Ferry. Aku memang dekat dengannya. Tak heran teman-teman bahkan guru-guru pun
menganggap kami berpacaran. Sebenarnya aku berharap demikian. Tapi, sudahlah..
hanya mimpi di siang bolong jika aku bersamanya. Ia keren, pintar, kreatif dan sangat
ramah. Entah sudah berapa episode kami saling menceritakan kisah kami. Aku
senang dapat mengenalnya lebih dekat.
“Ma,
gue mau cerita nih. Gue naksir si Dian. Kira-kira kapan ya waktu yang tepat
buat ungkapin perasaan gue?” Tanya Ferry yang tiba-tiba berbicara saat kami
tengah duduk berdua ditaman sambil mendengarkan lagu di headset. Aku menghembuskan
nafas. Mencoba bersabar dengan apa yang kudengar. Pertanyaannya membuatku tak
bersemangat untuk menjawab. Beberapa detik kemudian akhirnya aku berbicara, aku
tak mau membuat ia menunggu lama atas jawabanku.
“Ya, terserah lo aja. Liat kondisinya aja
dulu. Kalau tepat, nyatakan.” Ujarku dengan datar.
“Tapi,
kalau dia nolak gue gimana?” Tanyanya.
Pertanyaannya membuatku gusar.
“Hanya orang bodoh yang
nolak segala kesempurnaan lo, Fer..” Kataku dalam hati.
“Nggak. Percaya sama gue! Dian pasti suka juga sama lo..”
“Serius, Ma?” Ferry menatap mataku untuk memastikan. Aku balas dengan anggukan.
“Ah syukurlah, kalau lo yang ngomong, gue jadi yakin.”
Aku segera berlalu meninggalkannya.
***
Hari semakin gelap, menandakan malam segera menghampiri. Aku yang sedang mengerjakan PR dikejutkan oleh kakakku dari belakang.
“Hayoo.. ngerjain PR sambil ngelamun. Kenapa lo ?” Tanya Kak Radit sambil menepuk bahuku.
“Gak apa-apa kok, Kak.” Balasku.
“Lo cewek banget ya kayaknya? Kalau cewek ditanya pasti gitu, nggak apa-apa. Ih..”
“Ya emang aku nggak kenapa-kenapa.”
“Pasti lagi galau. Cie, adek gue bisa galau. Biasanya jadi Mario Tegar.” Ejeknya.
“Ih. Apaan sih kak? Siapa yang galau. Aku lagi happy juga. Nih......” Kataku sambil menunjukan senyum paksaan.
“Ah, terpaksa tuh senyumnya. Gue tau dek, lo lagi galau, si Ferry abis nembak Dian kan?” Tanyanya membuatku kaget.
”Kok kakak tau Ferry sama Dian jadian?”
“Tau lah, mata-mata gue kan banyak. Udah gak usah di pikirin. Sekolah dulu yang bener, jangan pacaran dulu.” Katanya menasehatiku.
“Ehhmm, bisa banget kak, bilang aku gak boleh pacaran. Lah kakak? Pacarnya aja udah banyak banget.” Kataku membalikan.
“Gue kan udah gede. Ya enggak apa-apa lah.” Jawabnya.
“Gede apaan? Kakak kan kelas 3 SMA, beda 1 tahun doang kelasnya sama aku.”
“Yaa, kan waktu SD lo ikut aksel, dek. Kebalap setahun gue. Udah belajar lagi sana, jangan galau mulu. Ikhlaskan.”
“Ah, punya kakak nggak ada bikin semangatnya.”
“Emang lo mau banget pacaran? Ehm.. Terserah deh kalo lo mau pacaran. Tapi.. emang lo punya pacar dek? Temen deket aja gak ada, ada tapi udah jadian sama orang lain.”ejeknya sambil tertawa kecil.
“Ah.. Kan.. Mulai lagi. Mama.. Kak Radit tuh...” Ujar ku sambil berteriak.
“Sana ah pergi..” Aku mendorong Kak Radit yang masih tertawa geli.
Kata-katanya barusan membuatku semakin terpuruk sedih.
“Kenapa lo dek? Ngambek? Ya elah, gue becanda kok.” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Aku masih terdiam. Dengan lekukan bibir kebawah.
“Udah, gak usah di pikirin, gue cuma becanda. Udah lanjutin belajarnya biar pinter.” Katanya sambil meninggalkan kamarku.
Kata-katanya benar membuatku down. Entah apa maksudnya. Tapi, kusadari memang beginilah keadaanku.
***
Aku bukan tipe orang yang terlalu
larut dalam kesedihan dan renungan. Aku pun telah melupakan kata-kata Kak
Raditya semalam. Sesampai di sekolah, aku bersikap seperti biasanya tanpa ada
rasa sedih ketika tahu bahwa Ferry berpacaran dengan Dian. Aku mulai terbiasa
dengan hal itu. Bagiku, untuk apa aku menangisi orang yang tak memikirkan
perasaanku. Toh, itu hanya membuatku terganggu.
“Rahmaa..” Panggil seseorang dari belakang. Aku pun menoleh.
“Eh, Tyas. Kenapa Yas?”
“Ngga, apa-apa cuma mau bareng aja. Hehe..”
“Oh, ya udah yuk..” Ketika aku dan Tyas sedang menuju kelas. Seorang cowok tampan dengan motor Ninja merah-nya turun dari motor.
“Yas, kak Renaldi keren ya?” Tanyaku pada Tyas sambil tersenyum-senyum.
“Iya bener, Ma.. Tapi gue heran, kenapa ya dia sampai saat ini masih jomblo? Padahal banyak lho yang naksir sama dia. Termasuk lo..” Balasnya.
Selain Ferry, aku mengagumi kakak kelasku yang satu ini. Namanya Kak Renaldi. Ia pemain basket di sekolahku, pengajar ekskul musik, dan aktif dalam kegiatan agama pula. Aku pun tak pernah melewati pertandingan-pertandingan basketnya. Aku benar-benar mengaguminya. Aku rasa dia tahu perasaanku padanya. Karena aku sering memperhatikannya, dan teman-temanku pun sering mengejekku bila dia ada.
“Cie.. Rahma. Ada kak Renaldi tuh..” ejek Fira.
“Fira. Jangan mulai deh.” Balasku. Aku pun sambil meliriknya. Ternyata, dia tersenyum akibat ejekkan itu. Aku pun hanya bisa membalas senyum padanya.
Hubungan aku dan kak Renaldi semakin dekat karena kegiatan-kegiatan ekskul kami yang sama. Perasaanku terhadap Ferry sudah bukan sekedar suka melainkan sudah memahami bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Ferry yang mengetahui hal ini, segera menyetujui comblangan teman-teman yang lain.
Dan rasa yang ada di hatiku pun semakin menjadi-jadi. Aku semakin mencintai Kak Renaldi. Aku merasa bahwa kak Renaldi pun mempunyai rasa yang sama padaku, karena perhatiannya padaku selama ini.
***
“Rahma..” Panggil kak Renaldi padaku.
“Kenapa
kak?” Jawabku.
“Ehm,
aku gak tau mau bilang apa sama kamu. Tapi ini bener-bener murni perasaan aku.
Aku sayang banget sama kamu. Aku juga cinta sama kamu. Ya.. Mungkin ini terlalu
cepat. Tapi aku gak peduli, aku juga yakin kamu suka sama aku. Makanya itu, kamu
mau gak jadi pacar aku?” Tanyanya.
Sebuah
ucapan kejutan itu membuatku lemas, namun aku sangat bahagia. Ucapan itu tak
pernah terbesit sedikit pun olehku. Dengan mataku yang masih membulat terkejut,
dan mulut yang tiba-tiba terkunci rapat, Kak Renaldi memanggilku.
“Rahma..”
“Eh,
si Rahma.. di tanya malah diem. Gimana Rahma? Aku di terima gak sama kamu?”
Pintanya sedikit merayu.
“Ehm..
gimana ya, kak..” jawabku dengan gugup.
“Kenapa
Ma? Gak di terima ya? Aku nggak pantes ya buat kamu?”
“Ehm,
bukan bukan.. aku..aku.. aku sebenarnya suka juga sama kakak, tapi aku malu..”
Aku menundukan pandanganku. Tak berani aku menatapnya.
“Malu?
Malu kenapa?”
“Kakak
gak malu punya pacar kayak aku?” Tanyaku ragu-ragu yang akhirnya tersampaikan.
Renaldi
terdiam. Lalu tersenyum.
“Rahma..
aku menyayangi kamu bukan dari fisik atau yang lain, tapi aku menyayangi kamu
dari hatimu. Kamu mampu membuat orang di sekitarmu tersenyum, termasuk aku. Gak
usahlah kamu pikirin omongan orang lain nanti. Yang ngejalanin kan kita berdua.
Yang merasakan, cuma kita berdua, Ma.”
Aku
terdiam.
“Kakak
yakin?”
“Ya!
Sangat yakin. Aku yakin hubungan kita ini pasti sangat spesial.”
“Oke.”
Ujarku.
“Serius?
Yeeeeeee.... terima kasih Rahma.. Aku janji bakal yang berarti untuk kamu.”
Katanya kegirangan.
Hari
itu menjadi hari jadian aku dan Kak Renaldi. Aku sungguh merasakan kebahagiaan
yang belum aku rasakan sebelumnya. Akhirnya, tepisan-tepisan bahwa besar adalah
buruk seolah menghilang sedikit demi sedikit karena Kak Renaldi menggenggam
tanganku dengan erat seolah membalas ejekan-ejekan selama ini.
***
Aku
sedang berbaring dikamar sambil mengingat-ingat kejadian tadi siang. Tak pernah
aku sangka, aku akan menjadi perempuan yang sangat beruntung. Tiba-tiba pintu
kamarku terketuk.
“Masuk..”
Kataku. Aku segera duduk menyambut kedatangan seseorang dari luar kamarku.
“Lo
lagi ngapain?” Tanya kak Radit.
“Lagi
happy..”
“Maksudnya?”
“Kakak
belum tau aku jadian sama Kak Renaldy?”
“Hah?
Lo jadian sama Renaldi? Katanya terkejut.
“Iya
kak, emang kenapa?”
“Gak
apa-apa sih.. lo suka sama Renaldi?
“Banget
kak! malah cinta.”
“Tapi,
gue gak yakin dia punya perasaan yang sama kayak lo, Ma..”
“Kenapa
ngomong gitu sih, Kak? Kakak gak suka aku jadian sama Renaldi? Mentang-mentang
aku gak punya pacar, sekalinya punya pacar kakak giniin aku..”
“Dek,
gue gak maksud kayak gitu. ”
“Alah,
boong. Kenapa sih Kak, kakak pacaran apa aku pernah ganggu? Nggak kan? Apa
karena Kak Renaldi pacar pertama aku, kakak jadi semaunya. Aku udah dewasa Kak,
aku juga berhak menentukan siapa yang bisa aku jadikan kekasih. Gak usah lah
Kakak ikut-ikutan.”
“Rahma,
kok lo ngomong gitu sih? Gue kakak lo, dan Aldi itu teman gue, wajar gue lebih
tau tentang dia. Gue ngerti dia pacar pertama lo, tapi lo juga jangan terlalu
berharap berlebihan.”
“Iya
aku juga tau posisi aku!” Ujarku dengan nada membentak.
“Terserah
deh, Ma.. gue cuma kasih tau, lo bakal nyesel nanti..” bentaknya sambil
membanting pintu kamarku.
***
Hari-hariku
pun terasa indah bersama Kak Renaldi, pulang antar jemput sekolah selalu dilakukannya.
Tak ada kesan mencurigakan seperti yang Kak Radit katakan padaku. Hingga hubungan
kami pun menginjak 4 bulan. Aku semakin yakin akan kehadirannya di hidupku, entah
mengapa ia kini menyayangiku lebih dari yang dulu.
***
Saat bel pulang sekolah tiba, aku
telah janjian bahwa akan pulang bersama dengan Renaldi menggunakan motorku karena
motornya di bengkel. Ketika aku menuju ke kelasnya di lantai dua, tak sengaja aku
mendengar percakapan teman-teman Kak Renaldi. Di tempat itu kira-kira ada lima
orang siswa.
“Eh si Aldi, kok masih betah yah sama si balon
tiup itu?” Kata salah seorang siswa.
“Tau
tuh, taruhannya kan udah berakhir dari dua bulan yang lalu. Apa jangan-jangan
si Renaldi suka beneran sama si Rahma?” Sahut teman yang lain.
“Kok
mau sih Aldy?”
“Eh,
tapi si Rahma manis kok, pinter juga lagi.”
“Ah,
itu mah lo aja yang naksir”
“Terus,
masalah taruhan gimana tuh? Eh, Zal. Lo udah lunasin taruhannya kan.”
“Sampai
berapa bulan sih? Dua bulan doang kan?”
“Iya
lah.. perjanjian dia jadian sama si Rahma kan cuma dua bulan, kalo udah empat bulan
gini gue gak tanggung jawablah.”
“Yoiii....”
Hatiku
bagai tersayat pedang panas mendengar ucapan mereka. Aku hanya menangis
mendengar apa yang mereka nyatakan barusan. Aku segera berlari menuju parkiran
motor, lalu aku pulang. Hari itu bagaikan hari yang menyesakkan dalam hidupku.
Di perjalanan pulang aku berusaha menahan tangis. Sesampai di rumah aku segera
berlari menuju kamarku. Aku meluapkan kesedihanku saat itu. Aku menangis
sejadi-jadinya. Mengapa Kak Renaldi tega menjadikanku bahan taruhan dengan
teman-temannya?
Tiba-tiba
tanda bunyi pesan masuk pun terdengar dari tasku. Aku segera meraih tasku dan
melihat siapa pengirim pesan tersebut lalu membacanya. Ternyata dari Kak
Renaldi.
“Rahma..
kamu dimana? Aku nyariin kamu. Kok motor kamu di parkiran udah gak ada? Jangan
bilang kamu udah pulang..”
Aku
tak membalas pesannya. Aku kembali menangis... ku dengar ketukan pintu dari
luar kamarku. Aku segera bangun dan membukakan pintu. Kak Radit sudah ada di
depan pintu.
“Rahma...
nonton yuk. Film kesukaan kita udah tayang nih..”
“Nggak
ah. Aku lagi males kak..” Kataku tanpa menatap mata Kak Radit. Kak Radit
menyadarinya, segera ia hadapkan wajahku ke arahnya.
“Ntar
dulu, kenapa mata lo? Abis nangis?”
“Gak
apa-apa..”
“Cerita
gak!” Katanya sedikit memaksa.
Kami
duduk di tepi tempat ranjangku. Aku menceritakan semuanya pada Kak Radit
tentang apa yang ku alami barusan. Wajah Kak Radit berubah seperti harimau yang
akan memuntahkan amarahnya.
“Lo
gak percaya sama gue kan, Ma?”
“Kan
gue udah bilang. dia itu gak bener.. Lo tunggu sini, gue mau samperin dia.”
Bergegas pergi.
Kak
Radit entah kemana aku tak tahu, aku lebih memilih istirahat dan tertidur
pulas.
***
Kak
Radit menuju rumah Kak Renaldi. Setelah memarkirkan motornya di depan rumah Kak
Renaldi, Kak Radit segera mengetuk pintu rumah Kak Renaldi. Kak Renaldi pun
keluar dari rumahnya.
“Eh,
Radit.. tumben kesini ada apa?”
“Jangan
banyak bacot lo.” Kak Radit memukul Renaldi.
“Apa-apaan
ini?”
“Apa-apaan?
Hah? Pura-pura bego lo? Lo jadiin adek gue bahan taruhan kan! Sialan lo. Emang
dari awal gue udah gak percaya waktu lo jadian sama adek gue, lo sama bejatnya
waktu lo putusin Della seenak jidat lo!”
“Tapi,
gue beneran gak ngerti”
“Ikut
gue, lo..”
Kak Radit dan Renaldi pun menuju ke rumahku.
Sesampai di rumahku, Kak Radit membangunkanku, dan menyuruhku menemui serta
membiarkan aku berbicara dengan Kak Renaldi di halaman belakang. Aku pun
bersiap-siap, dan mengusap mataku agar tak terlihat seperti habis menangis. Aku
pun menemui Kak Renaldi.
“Rahma..”
Sapanya.
“Kamu
kenapa? Habis nangis?" Katanya memandangku.
“Nggak!
Kak, lebih baik hubungan kita, kita cukupkan sampai disini aja..”
“Lho
kenapa?” Tanyanya heran.
“Kenapa?
Kakak masih nanya kenapa? Kakak jadian sama aku karena taruhan uang sama temen-temen
Kakak kan? Hebat banget sih, Kak..” Kataku sambil menahan tangis.
“Rahma..
mungkin memang sudah waktunya aku harus mengatakan hal yang sebenarnya sama
kamu.”
“Bagus,
kalo gitu apa yang mau kakak bilang? Kakak mau bilang Kakak bahagia dapet uang
itu? Banyak ya Kak uangnya? Terus abis ini aku mau dikemanain? Diputusin?
Ditinggal? Atau digantung?” Kataku dengan ketus.
“Bukan
gitu, Ma.. Jujur, awalnya aku memang memperalat kamu sebagai bahan taruhan aku
dan teman-teman. Tapi...” ucapannya terpotong.
“Tapi
apa Kak? Apa? Aku malu, Kak. Aku malu tau itu semua.. Aku tau aku nggak
secantik perempuan yang lain, tapi apa iya harus aku yang jadi bahan leluconan
kalian? Aku juga manusia kak, aku juga perempuan.” aku mulai menangis.
“Rahma..”
Kak Renaldi berusaha menenangkan aku dengan mengusap bahuku, lalu segera aku
tepis.
“Aku
pikir Kakak baik, kakak nggak menganggap kelebihan berat badan aku ini suatu
masalah, tapi kayaknya aku salah. Kakak sama aja..”
“Rahma..”
“Udah
deh, Kak. Aku nggak mau dengar apapun lagi... Aku...........”
“RAHMA!
RAHMA DENGAR AKU DULU..!”
Kak
Renaldi mengoyak bahuku agar aku mendengarkan ucapannya, seketika aku berhenti
berbicara dan mendengarkannya.
“Aku
nggak berniat untuk membuatmu sakit hati, kamu tahu hubungan kita sudah annive yang ke empat bulan, kamu
pasti tahu pertaruhan itu hanya kita menginjak hubungan ke dua bulan kan?”
Aku
terdiam.
“RAHMA,
JAWAB AKU!”
“Iya..”
“Apa
itu artinya? Artinya aku sungguh mencintai kamu, aku punya perasaan yang lebih
sama kamu. Kalau aku nggak cinta sama kamu, aku akan menyuruh kamu untuk
melakukan hal yang nggak kamu suka, seperti berhenti ngemil, makan, iya kan?
Coba, apa selama ini aku pernah melarang kamu untuk berhenti mengunyah saat
kita jalan berdua? Apa aku pernah menyuruhku kamu untuk diet? Nggak kan, Ma?”
Aku
terdiam mendengar penuturan Kak Renaldi yang dapat aku benarkan.
“Dan..
Aku gak pernah menggunakan uang itu sepeser pun, aku pun mulai mencintaimu
ketika masa taruhan itu akan berakhir. Makanya aku putuskan agar lebih lama,
karena aku mulai mencintaimu.”
“Asal
kamu tahu Rahma, aku tak peduli dengan apa yang orang katakan tentang hubungan
kita yang berawal dari sebuah taruhan. Aku justru bangga, selain aku mendapat
uang taruhan itu, aku juga mendapat cinta kamu. Tapi sejujurnya, aku gak
berniat untuk mempermainkan kamu.. Sungguh.” tambahnya.
Aku
menatap matanya yang mulai berair.
“Kenapa
harus dengan cara ini sih, Kak? Itu sama aja Kakak mempermalukan aku di hadapan
teman-teman Kakak. Kenapa Kakak terima taruhan itu?
“Aku
menerima taruhan karena aku bingung, kamu tahu setelah akuputus dengan Della?
Saat itu aku seakan mati berpisah dengannya, Della menghancurkan hubungan kami
dengan perselingkuhannya, lantas aku pun menjadi serba salah. Lalu aku putuskan
dia, setelah kami putus, untuk menghilangkan rasa cintaku pada Della, aku
menyetujui saran teman-teman untuk mencari penggantinya, dengan taruhan itu,
justru aku mendapatkan kebahagiaan secara istimewa, aku menemukanmu lebih dari
segalanya, itulah alasanku untuk mempertahankan hubungan kita, Ma..”
Aku
terdiam. Kini tangannya menggenggam erat tanganku.
“Rahma,
percayalah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kita selalu bersama untuk hari
ini, esok dan selamanya.. Jangan ada ragu untuk kisah kita, Ma. Hubungan ini
hanya kita yang menjalani, bukan mereka.”
“Tapi,
ini bukan bagian taruhan lagi kan, Kak?”
“Nggak..!
Sama sekali nggak. Kamu mau maafin aku? Aku janji nggak akan ada hal ini lagi. So?”
Aku
masih terdiam.
“Rahma..
So?”
Aku mengangguk tersenyum.
“Terima
kasih lagi Rahma, aku sangat menyayangi kamu.. Nggak akan ada kata taruhan lagi.
Dan jangan ungkit masalah ini lagi, Oke! Udah gak usah nangis, jelek ah .. ”
mengusap air mataku dengan tangannya.
“Oh
iya, uang taruhannya belum aku balikin. Tapi gak usah ya, buat tabungan kita
menikah nanti.” Tambahnya.
Kak
Renaldi mencium keningku, lalu memelukku dengan erat. Kami pun kembali bersama.
Aku berjanji tak akan mengkhianatinya seperti Della yang dulu menduakannya.
Setidaknya aku harus berterima kasih pada teman-teman Kak Renaldi, karena
berkat saran mereka. Kami dapat menjalin sebuah kisah yang aku impikan sejak
dulu.
Mungkin pada akhirnya, aku dapat membuktikan, bahwa
besar tidaklah buruk. Menjadi besar membuat kita semakin membuka mata untuk
tidak berkecil hati, menjadi besar juga seharusnya bisa membuktikan bahwa Tuhan
tidak pernah salah memberikan cinta, justru menjadi besar akan mengetahui siapa
mereka yang siap hadir disampingmu ketika kamu berduka, dan siapa yang hadir
mencintaimu dengan sepenuh hati tanpa membuat si besar melakukan hal-hal yang
tidak mereka sukai.
Karena
Tuhan tidak pernah salah menciptakan mahluk, dan tidak pernah salah memberikan
garis hidup pada semua ciptaannya, sebab di balik itu semua, Tuhan telah
mempersiapkan kejutan indah walau harus menunggu seolah seribu tahun lamanya.
*TAMAT*