Ketika
awan dan hujan dipersatukan, bulan dan bintang datang bersamaan, air dan udara
saling membutuhkan, dan ketika semua yang diciptakan Tuhan selalu berpasangan,
bagaimana, dan dengan apa matahari dipasangkan? Akankah terpikir bagaimana
matahari menjalani kehidupannya sendirian? Bukankah Tuhan adil menciptakan
segala sesuatunya secara berdampingan?
***
“Sholat dulu yuk, Mi..” Ajak Indra.
“Ah
males, Ndra.”
“Sholat
lah, siapa tau ketemu jodoh di masjid. Yuk ah..” Indra beranjak dari duduknya.
“Kadang
suka bener lo yee, siapa tau ketemu jodoh ye kan abis sholat di masjid.” Ujar
Fahmi dengan gaya tengilnya beranjak menyusul Indra.
“Iya
lah bosen kan lo jomblo?”
“Iya,
cariin yang cantik terus seksi yee, Ndra.”
“Mau
cari yang begitu jangan di mesjid, Fahmi. Nambah dosa aja lo.”
“Haha..
Aduh.” Ujar Fahmi yang tiba-tiba merintih kesakitan.
“Kenapa
lo?”
“Duduk
dulu, Ndra. Perut gue sakit banget.”
Fahmi duduk di depan pelataran masjid, Indra mengikuti.
“Nah, aku juga gak tau mesti gimana, Dhe.” Ujar Sella
saat melewati Fahmi dan Indra dibatas masjid laki-laki dan perempuan.
“Itu anak kelasan kita, kan?” Tanya Indra.
“Iya..”
“Dia keren ya kalau lagi presentasi dan nanya-nanya.
Jelas, terus tepat juga.”
“Iya
pinter ya..”
“Yaudah
sama dia aja lo, Mi. Lo juga pinter kan..”
“Nggak
ah, Ndra.”
“Kenapa?
Ah lo mah cari yang cantik-cantik terus seksi sih..”
“Nggak
gitu, Ndra.” Fahmi menyandarkan tubuhnya sambil meluruskan kakinya yang
tertekuk.
“Terus
kenapa? Coba liat ini masjid bro, jarang banget anak cewek jaman sekarang
sholat dulu ke masjid pas udah pulang kuliah. Biasanya pulang ya pulang aja.”
“Nah
apalagi dia rajin ibadahnya, minder gue. Gue aja belum bener.”
“Makanya
diperbaiki dulu sholat lo, yuk lah sholat.” Indra beranjak dari duduknya. Tak
lama Fahmi mengikutinya.
***
“Gue
kesel sama Fahmi, songong banget dia ngatain gue mulu.” Ujar Indah.
“Ya
lo sih mulai duluan, udah tau dia begitu.” Sahut Rifka.
Satu
persatu mahasiswi masuk ke kelas, tak lama dua orang laki-laki mengikuti. Yang
pertama berperawakan tinggi sedang menggunakan pakaian kemeja garis-garis
dengan celana bahan dan membawa tas samping bak dosen. Laki-laki tersebut pun
menjadi pusat perhatian Sella yang tak sengaja dilihatnya.
“Deva,
liat deh yang cowok itu, dia nggak kelihatan mahasiswa ya kalau lagi pake
pakaian formal gitu, lebih cocok jadi orang kantoran. Dewasa gimana gitu
pembawaannya.” Ujar Sella pada Deva yang duduk disebelah Sella.
“Siapa?
Riza? Iya.”
“Oh
namanya Riza?”
Deva
memperhatikan Sella yang mengikuti gerak Riza sampai ia duduk dikursi belakang.
“Kenapa?
Lo suka ya, Sel?” Tanya Deva.
“Nggak
lah. Maksud gue, dia mendingan aja gitu lebih dewasa, daripada itu tuh, udah
tinggi gede tapi langkah jalannya masih kayak anak kecil.” Tunjuk Sella pada Fahmi.
“Hahaha..
Iya ya. Kirain lo suka sama Riza. Riza emang dewasa keliatannya.”
***
“Sella,
mana proposal yang disuruh buat kemarin?” Tanya senior BEM padaku.
“Saya
lupa membuatnya, Kak. Yaudah gak apa-apa kalau saya nggak diterima di BEM, saya
izin keluar aja, lagi pula saya sedang sakit.” Ujarku sambil berencana berdiri.
“Kamu
sakit? Oh yaudah kalau begitu, kamu boleh pulang.” Balas senior.
Sejak
memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk, ayunan langkah kaki ku terasa
berat untuk melangkah keluar dari sebuah ruangan yang berisi calon anggota BEM periode
baru di kampus.
Sebenarnya,
aku pun tak mengerti mengapa aku bisa datang diacara penerimaan anggota BEM,
padahal aku tak tertarik sama sekali untuk mengikuti acara tersebut. Namun
dengan kebijaksanaan senior, aku diizinkan untuk meninggalkan acara tersebut. Perlahan,
dengan gontaian langkah yang semakin berat, ditambah dengan ketidaksehatan
tubuh ini, aku jatuh pingsan.
Sayup-sayup
terdengar, semua orang panik lalu menghampiriku, yang aku tahu dua orang
temanku membawaku ke ruangan dimana ada sebuah tempat tidur yang tempatnya
menghadap datangnya arah matahari melalui pintu, dan dua buah kursi di sisi
pojok, mungkin semacam ruang UKS. Entahlah.
Kondisiku
memang tidak sepenuhnya sadar, tapi aku sedikit mengetahui apa yang terjadi
saat aku pingsan. Setelah merebahkanku ditempat tidur, dua orang teman itu
duduk di sisi pojok sambil mengipas-ngipas tubuhnya yang kegerahan membawaku. Ku
posisikan tubuh menghadap ke arah pintu, karena tubuhku rasanya lebih nyaman
menghadap ke sebelah kiri.
Silaunya
cahaya matahari yang masuk melalui pintu, seketika tertutup bayangan sosok
laki-laki yang datang tepat di depanku. Aku tak dapat mengenali wajahnya karena
silauan matahari walaupun sudah memicingkan mata untuk memastikan siapa
laki-laki itu. Namun, aku bisa
mengenalinya dari postur tubuhnya yang tinggi besar mengenakan kaos berwarna
hitam dengan gambar cahaya matahari ditengah kaosnya. Seperti sosok teman baru
ku dikelas, tapi mungkinkah ia?
“Makasih
ya udah anter cewek gue kesini.” Ujar laki-laki tersebut pada dua orang
temanku.
“Iya
sama-sama..” Jawab temanku.
Pertanyaanku
hampir terjawab ketika aku mendengar suaranya. Seketika ia berbaring ditempat
tidur, lalu memberikan lengannya untuk dijadikan bantal untukku. Tak hanya itu,
ia pun memelukku dan menyadarkan kepalaku tepat didepan dadanya yang bergambar
cahaya matahari. Karena tubuhku masih lemas, aku tak mengatakan apapun bahkan
malah menurutinya. Aku masih tak dapat melihat wajahnya karena silau, aku hanya
bisa melihat gambar cahaya matahari itu tepat didepan dadanya.
Seketika
aku bertanya dalam hati. “Tuhan, mengapa dipeluknya aku begitu nyaman?” Memang
terasa sangat nyaman saat mendengar suara detak jantungnya tepat di telingaku,
sangat nyaman saat ia memelukku dan mencium kepalaku dengan lembut. Rasanya tak
ingin aku melepaskan pelukannya, aku menyukainya.
“Wah..
wah.. bisa sakit mata gue liat lo berdua. Ayo As, pergi aja yuk.” Ujar temanku
lalu pergi meninggalkan kami.
***
KRING............... KRING...............
Alarm
pagi membangunkan Sella. Ia segera terbangun lalu mengusap wajahnya. Tak lupa ia
ambil ponsel di meja yang tak jauh dari jangkauan tangannya, lalu mengecek
beberapa pesan BBM. Salah satu pesan dari grup ia buka.
“Buat
hari senin ada tugas apaan yee?” Tanya Fahmi
“Gak
ada kayaknya Mi, udah nikmatin liburan tiga harinya aja sih.” Balas Surya.
“Oke
oke..” Balas Fahmi.
DEG.
Perasaan
Sella tiba-tiba berdetak cepat ketika membaca nama Fahmi di grup tersebut. Seketika
ia mengingat-ingat kembali mimpi yang mengejutkannya itu.
“Astagfirullah..
Semalam aku mimpi apa? Mengapa wajah Fahmi tak asing dalam mimpiku? Mungkinkah
itu Fahmi? Mungkinkah Fahmi yang datang menutupi silauan matahari dan memelukku
saat aku sakit dalam mimpi?” Ujar Sella dengan gusar.
“Tidak.
Tidak. Tidak mungkin. Jangan memulai-mulai Sel, jangan mulai. Itu cuma mimpi,
mimpi itu bunga tidur. Dan yang membahayakan adalah, dia teman sekelas lo. Gak
boleh ada suka-sukaan. Nggak boleh!” Tambahnya.
Segera
Sella tepiskan pikiran-pikiran itu. Ia pun segera keluar dari kamarnya.
“Sella,
kamu itu. Tidurnya lelap banget, kamu tidur dari jam setengah 8 malam kan? Jam
segini baru bangun. Gak sholat deh tuh.” Ujar Ibunya menyambut.
“Hehehe..
Capek banget, Bu. Capeeek... banget. Tapi emang lagi nggak sholat kok, Bu.”
Jawab Sella sambil menyengir.
“Yaudah
mandi sana kalau udah bantuin bikin capcay nih..”
Seketika, mimpi yang dialami Sella semalam terpikir olehnya.
Rasa nyaman yang timbul saat dipeluk laki-laki yang tak ia kenali, membuatnya
menebak-nebak, mungkinkah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan
bongsor itu teman sekelasnya?
“Apa,
itu Fahmi? Ah.. Tapi mana mungkin itu dia. Aku sama sekali tak pernah
memperhatikan dia, bahkan berbicara dengannya pun belum pernah.”
***
Fahmi
dan Sella memang berada dikelas yang sama. Sella baru mengenal Fahmi tak lebih
dari satu bulan sejak perkuliahan baru dimulai. Kenaikan kelas membuat mereka
harus beradaptasi kembali dengan teman dan suasana kelas yang baru.
Sikap
Sella yang sudah semakin dewasa, menanamkan dirinya sendiri bahwa ia harus
memperbanyak teman tanpa pilih-pilih, yaitu dengan cara membaur pada semua
teman baru. Karena ia berharap, kelak teman-teman barunya kini dapat lebih solid dalam menjalani kehidupan
perkuliahan di kelas. Hingga tak terpikir olehnya untuk menaruh hati pada teman
sekelasnya yang akan menjadi teman sampai akhir mereka menamatkan perkuliahan.
***
Dari
kejauhan mata, aku melihat sosok laki-laki yang ku kenal berada disamping
temanku, Rifky. Tatapan itu seakan terlihat mengerikan karena ujung mata
kanannya mengikuti arah kemana aku pergi. Seketika aku menunduk tak berani
membalas tatapan matanya.
“Lo
sih bikin dia marah.. Ngapain pake bercanda sama Deva?” Tanya Tia padaku.
“Memangnya
kenapa kalau bercanda, kan kita berteman. Deva juga temannya.”
“Masa
lo gak ngerti sih, itu artinya Fahmi cemburu.”
***
Sella
terbangun. Ia tersentak kaget saat mengetahui nama Fahmi dalam mimpinya.
“Fahmi?
Mengapa Fahmi muncul dalam mimpiku? Mengapa tatapan matanya membuatku tak
berani membalas tatapannya? Tuhan. Mengapa kau hadirkan Fahmi dalam mimpiku?
Ini sudah kedua kalinya aku memimpikannya.” Ujar Sella sambil mengacak-acak
rambutnya sesal.
***
Siang
hari, sang matahari menyimpan malam, memancarkan cahaya untuk memberikan
kehidupan kepada seluruh mahluk hidup di muka bumi. Dihargai atau tidaknya
matahari, ia tetap bersinar sangat terang, ia tetap berputar pada porosnya dan
tetap menerangi kehidupan manusia, sekalipun malam datang menggantikan
posisinya.
Lalu
malam hari, bulan dan bintang menggantikan tugas sang mentari menerangi dunia.
Membawakan suasana baru ketika matahari beristirahat sejenak sebelum ia kembali
bekerja memberikan cahaya.
***
“Happy
birthday, Fahmi.. Happy birthday, Fahmi...”
Sebuah
nyanyian ulang tahun terdengar serempak saat kami menyanyikan lagu ulang tahun
untuk Fahmi. Wajah Fahmi sangat bahagia mendapatkan pesta kejutan ulang tahun
dari sahabat-sahabatnya.
“Thank
you ya semuanya...” Ujar Fahmi.
“Sella,
kasih dong hadiah spesialnya untuk Fahmi..” Celetuk Indah.
“Oke
oke... Ini untuk orang yang spesial di hari yang spesial.” Ujarku sambil
memberikan hadiah ulang tahun untuk Fahmi.
Fahmi
pun membuka hadiah yang aku berikan. Sebuah tas hitam dengan warna coklat di
setiap sisinya, kuberikan untuknya.
“Wah..
Bagus banget, Sella. Makasih ya..” Ujar Fahmi tersenyum manis.
Aku
mengangguk bahagia.
***
“Sella,
kuliah jam berapa? Udah jam 5 nih..” Ujar Ibunya membangunkan.
Sella
tersadar. Lalu menghembuskan nafas panjang-panjang.
Mimpi
lagi.
“Aku
harus masuk kuliah hari ini, aku ingin memastikan, apakah itu benar-benar Fahmi
yang ada di mimpiku yang sudah tiga hari berturut-turut?” Sella mengambil
handuk dan bergegas mandi.
***
Sella
teringat, bahwa ia pernah berdoa ingin melepaskan perasaannya untuk sementara
waktu. Bahkan ia berdoa, meminta agar Tuhan menutup perasaannya sampai ia
menemukan jodoh yang tepat untuknya. Karena saat ini, ia ingin menata
kehidupannya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Dan keinginannya untuk
sendiri dulu telah ia jalani cukup lama.
Sudah
dua tahun lamanya ia berpisah dengan kekasihnya, tanpa bisa menyukai sosok baru
dalam hidupnya setelah itu. Maka dengan kemantapan hatinya, dan dengan dukungan
dari teman-temannya yang paham mengenai agama bahwa single adalah mulia, ia berdoa kepada Tuhan, untuk jangan
membukakan hatinya dulu untuk siapapun.
Hati
Sella tak berhenti berdegup kencang saat ia mulai berpamitan kepada orangtuanya
sampai dipertengahan jalan menuju kampusnya. Sosok Fahmi sering muncul
dihadapannya dan membuat hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Degupan
jantungnya bahkan lebih kuat berdetak ketika Fahrezi, kekasihnya dulu
mengajaknya pergi menonton berdua saat mereka baru memulai hubungan, dan
detakan ini lebih hebat ketimbang detakan-detakan lain yang pernah ia rasakan.
Ia belum pernah merasakan detakan aneh seperti ini. Dengan menggunakan sepeda
motornya, ia lajukan kecepatan agar lebih cepat sampai tiba dikampusnya.
Sella
sudah sampai di kampus. Setelah memarkirkan motor, ia segera menuju ke kelas.
Tentu dengan kaki yang semakin lemas dan hati yang semakin kacau, karena ingin
bertemu dan memastikan, Fahmi kah yang ada dalam mimpinya yang berurutan itu?
Ternyata
Fahmi belum datang. Sella bernafas sedikit lega. Mata kuliah Manajemen Keuangan
1 pun dimulai.
Satu
persatu mahasiswa datang terlambat, membuka pintu lalu duduk ke tempat
duduknya. Setiap pintu terbuka, mata Sella tak berhenti menoleh sambil menahan
nafas karena ketidaksanggupannya ketika nanti bertemu dengan Fahmi.
***
“KREEEK..
CETEEK...”
Pintu
terbuka. Sella segera menoleh ke arah pintu.
Sosok laki-laki tinggi besar itu masuk, menyapa dosen, melewati tempat duduk Sella lalu duduk
diarah kanan Sella.
Benar.
Itu Fahmi! Sosok laki-laki tinggi besar di dalam mimpinya itu ternyata Fahmi.
“Ah,
benar. Itu Fahmi, tas itu.... Itu tas yang aku berikan padanya didalam mimpi.
Tas hitam dengan warna coklat disetiap sisinya.” Gumam Sella dengan takjub.
Seketika
wajah Sella memanas, namun tangan dan kakinya menjadi dingin. Hatinya tak kalah
kacau melihat Fahmi masuk dan melewatinya. Berkali-kali ia bersikap normal,
namun tetap saja masih terlihat gusar. Teman yang berada di sisi kiri dan
kanannya pun menyadari keanehan Sella.
“Sella,
lo kenapa?” Tanya Anggun.
“Iya
lo kenapa? Kok pucet gitu.” Tanya Via.
“Anggun,
ehm.. Via.. ehm... huh.” Ujar Sella terbata sambil berkali-kali menghela nafas
panjang.
Ia
terdiam tak berkutik. Seluruh tubuhnya terasa tak bisa melawan degupan hati
yang semakin kencang. Sella memegang kedua temannya sambil menahan nafas.
“Ya
ampun Sel, lo sakit? Kok tangannya dingin banget sih?” Tanya Anggun memastikan
sambil memegang tangan Sella yang lain.
“Kepala
lo juga agak panas. Lo sakit?” Via meletakkan punggung tangannya di dahi Sella.
Sella
menggeleng.
“Terus
kenapa?” Tanya Via
“Nggak
apa-apa...” Jawabnya datar sambil beberapa kali menghela.
Ruangan
kelas yang semula biasa saja, menjadi luar biasa semenjak kedatangan Fahmi
dikelas. Sella mencoba memberanikan diri menoleh sejenak ke arah Fahmi, lalu
cepat-cepat ia kembalikan wajahnya menghadap depan saat Fahmi juga tengah
memperhatikan Sella.
Ya.
Fahmi juga tengah memperhatikan Sella dengan melihat dari sisi sebelah kirinya.
Dan saat kedua mata mereka saling bertemu, Fahmi segera menundukan kepalanya.
“Ya Tuhan.. Fahmi sedang
memperhatikanku, ketika aku menoleh ke arahnya, ia segera menundukkan
pandangannya. Ya Tuhan... Apa maksudnya ini? Apakah Fahmi memimpikan hal yang
sama denganku? Mengapa ia menundukan pandangannya ketika mata kita saling bertemu?
Huuuh..” Sella berkata dalam hati.
Tak
lama kejadian itu berselang, Fahmi sudah berbincang-bincang dengan
teman-temannya kursi dibelakang. Suara beratnya terdengar sampai ke telinga Sella.
Akhirnya, Sella tak dapat mengikuti mata kuliah hari ini dengan baik karena
pikirannya sangat kacau.
“Gila.
Ini gila! Aku tak mungkin jatuh cinta padanya. Itu hanya mimpi, tak usah aku
pikirkan. Tapi mengapa perasaanku jadi seperti ini? Rasanya aku ingin pingsan
saja, tak kuat aku berlama-lama mendengar suaranya.” Gumam Sella.
Sella
segera bersujud dan memohon ampun kepada Tuhan. Memohon agar tidak Tuhan
berikan perasaan aneh saat ini, dan memohon agar jangan memberikan perasaan
khusus pada teman sekelasnya.
“Ya
Tuhan, tolong hapuskan perasaan ini, bukankah aku pernah meminta biarkan aku
mengosongkan hati sampai Engkau memberikan laki-laki yang soleh kepadaku? Aku
harap tiga hari kemudian perasaanku sudah kembali seperti semula.” Ujarnya
penuh harap.
Sella
jadi tak dapat berbicara banyak di kelas. Seluruh tubuhnya terasa kaku tak
dapat menyampaikan apapun, bahkan saat dosen memberikan pertanyaan yang ia anggap
bisa dijawabnya, ia hanya bisa diam sambil mengatur nafas dan detakan jantung
yang cepat. Ditambah saat Sella tak sengaja menoleh ke arah Fahmi, Fahmi pun
terpojok karena ketahuan sering muncuri-curi pandang ke arah Sella, makin
menciutlah nyalinya.
***
Hari
demi hari Sella lalui dengan hati yang aneh diselingi dengan degupan-degupan
keras tak beraturan. Ia menjadi semakin takut menyampaikan pendapat, dan
memberikan informasi kepada teman sekelasnya melalui lisan maupun pesan. Ia
berpikir bahwa jika ia berbicara, atau memberi informasi lewat pesan BBM, Fahmi
pasti akan memperhatikan dan membaca pesannya tersebut. Itulah yang membuatnya
takut, ditambah tatapan tajam mata Fahmi seperti dimimpinya terasa jelas nyata
dalam kehidupannya.
Fahmi
adalah laki-laki yang baik terhadap semua orang, namun ucapannya yang
seringkali kasar dan tingkahnya yang kadang menjengkelkan, membuat ia sangat
disegani oleh banyak teman-teman perempuannya. Bahkan menurut Rifka teman
sekelas Fahmi saat masih duduk di tingkat 1, Fahmi dan teman-temannya sering
menggoda perempuan teman kelasnya yang menurut mereka cantik dan gaul.
***
Tiga
hari sudah berlalu. Perasaan Sella terhadap Fahmi masih juga tak hilang bahkan
terus menggebu. Fahmi semakin berani mencuri pandang ke arah Sella, walau Sella
sudah berkali-kali memergokinya. Mereka pun masih tak saling bicara, baik Sella
maupun Fahmi hanya membungkam satu sama lain tak selayaknya teman sekelas yang pada
umumnya saling menyapa.
Fahmi
sering duduk dibelakang atau ditempat duduk yang dipastikan bisa melihat Sella
dari sisi kejauhannya, ia juga sering mengajak teman dekat Sella mengobrol, dan
sering memberikan lawakan-lawakan lucu untuk memancing perhatian agar Sella
memperhatikan lawakannya. Namun semua itu tak dapat Sella balas ataupun balik
memperhatikan tingkah laku Fahmi, karena sungguh ia tak berani melakukan apapun
saat Fahmi berada didekatnya.
Dan,
dari segala hal yang dilakukan Fahmi ketika dikelas, bahkan dianggap
“berengsek” oleh beberapa teman-temannya, Fahmi tetap bersikap baik dan betutur
kata halus pada Sella. Sangat berbeda ketika ia berbicara kepada perempuan
lain.
“Sella,
boleh pinjem pulpennya nggak?” Tanya Fahmi saat ia duduk tepat dibelakang Sella.
“Hah?
Oh iya nih..” Ujar Sella memberikan.
“Giliran
sama Sella ngomongnya halus banget, coba sama gue, mana pernah izin dulu pinjem
pulpen, yang ada lansung main tarik aja..” Celetuk Indah yang duduk disebelah
Fahmi.
“Berisik
lo, Ndah.” Balas Fahmi.
***
Sella
mulai mencari akun-akun media sosial Fahmi, membaca tulisan-tulisan statusnya,
dan melihat bagaimana Fahmi menjalani kehidupannya lewat pesan yang ia tuliskan
dalam akun-akun sosialnya.
Fahmi,
ketika semua orang tahu dia adalah orang yang kasar dalam berprilaku dan
berbicara, namun di satu sisi ia mengutamakan keluarga diatas segalanya, dan
menjaga segala hal baik di depan keluarganya.
Fahmi
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menetap di kost-an dekat kampus
karena jauhnya jarak antar kampus dari rumahnya. Ia berasal dari keluarga yang
baik-baik, terlihat dari pakaian keluarganya dalam sebuah foto yang diunggah Fahmi.
Sebuah keluarga muslim yang taat, dengan identitas hijab panjang yang dikenakan
oleh Ibunya.
Sella
semakin tertarik mengikuti kegiatan Fahmi hingga ke masa-masa SMA-nya. Ternyata
Fahmi adalah murid yang pintar semasa SMA. Ia mengikuti akselerasi yang
diadakan di sekolah, sehingga ia berhasil menamatkan dua tahun untuk lulus dari
sekolah menengah atasnya.
“Ah,
dia keren banget sih..” Ujar Sella terpesona membaca status di twitternya.
“Nggak..
nggak. Gue harus bisa hilangin perasaan ini! Tapi, kenapa semakin gue tahu
kehidupannya, dia menjadi semakin mengagumkan? Biasanya kalau gue suka sama
orang dan kepoin akun-akun nya, ada aja yang bikin gue ilfeel, dan akhirnya berhenti suka. Ini kok malah menjadi-jadi?
Aaaakh..”
Sella
segera menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Bayangan-bayangan dan tingkah laku
yang Fahmi perbuat hari ini, berhasil membuat bibir Sella mengukirkan senyumannya.
Sella mengingat-ingat saat Fahmi selalu duduk di
tempat dimana mata mereka sering bertemu satu sama lain, juga saat Fahmi duduk
disamping teman Sella yang menghalangi pandangannya ke arah Sella, ia akan
mencari celah agar tetap dapat mencuri-curi pandangnya ke arah Sella.
“Mungkinkah ia memimpikan hal yang
sama sepertiku juga? Mempunyai perasaan yang aneh sepertiku juga?”
Tanya Sella dalam hati.
***
“Ada
gitu mimpi kayak gitu? Gue doang kayaknya yang aneh. Sella, lo juga ngapain sih
pake muncul di mimpi gue? Ah bisa gila gue lama-lama.” Fahmi menatap layar
ponselnya memandangi display picture
BBM milik Sella.
“Ngapain
gue mikirin dia, kayak dia mikirin gue aja. Back..
back.. back. Jangan kepoin sosmed dia lagi, Fahmi!!! Aaakh..” Fahmi
menjauhi ponselnya, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya.
Fahmi
meringkuhkan lengan kanannya ke atas untuk menutup matanya. Beberapa kali ia
mengganti posisi tidurnya menghadap ke kanan atau kiri, menunjukkan kegelisahan
yang sedang ia alami.
***
“Fahmi..
mau kemana lo?” Sapa temannya saat Fahmi mengunci kamar kostnya.
“Kuliah
lah, biar sukses.” Jawab Fahmi sekenanya.
“Masih
aja kuliah, gak usah lah.. Titip absen aja.”
“Sayang
duit bapak gue.. haha.. cabut ah!” Fahmi pergi meninggalkan kostnya. Menuju
kampus dengan angkutan umum.
Ponsel
Fahmi bergetar. Sebuah pesan BBM grup kelas masuk.
“Ada
dosen.” Kata Sella mengabari.
“Hah?
Sella lagi.” Ujar Fahmi terkejut membaca nama Sella.
Sesampainya
di lorong kampus, Fahmi mengeluarkan sebatang rokok, lalu menyulutkan ke
mulutnya.
“Fahmi!”
Sapa Indra.
“Gak
masuk kelas? Udah ada dosen kan?” Tambahnya.
“Bentar
Ndra, ngerokok dulu sini.”
Seorang
mahasiswi menyapa Fahmi dan Indra.
“Kok
lo gak masuk?” Tanyanya.
“Ngerokok
dulu sebentar.” Ujar Fahmi. Mahasiswi tadi pun masuk ke kelas.
***
“Bolehkah aku berharap? Bolehkah
aku mulai menyukainya? Bolehkah aku mengingkari ucapanku sendiri? Tuhan, aku
semakin tertarik padanya.” Tanya Sella dalam benaknya saat Fahmi
masuk ke kelas bersama Indra.
“Tapi mungkinkah aku harus
menyimpan perasaan ini sampai tiga tahun kedepan? Sampai kita wisuda, lalu
menjalani kehidupan masing-masing, mungkinkah aku sanggup?” Tambahnya.
Mata
Sella membulat saat melihat baju yang Fahmi kenakan hari ini mirip seperti yang
ada dalam mimpinya. Kaos hitam dengan gambar cahaya matahari tepat di tengah
dadanya.
“Matahari
itu..” Ujarnya.
***
Fahmi
tampak gusar melihat Sella sedang mempresentasikan tugas teori ekonomi. Matanya
tak dapat berhenti memperhatikan Sella. Berkali-kali ia kepergok sering mencuri
pandang ke arahnya, lalu dengan cepat ia tundukkan pandangannya kebawah.
“Mi,
abis pulang kuliah lo mau kemana? Main yuk.” Tanya Yuda memecah lamunan Fahmi.
“Main
mulu lo, Da. Belajar bentar lagi UTS.” Jawab Fahmi.
“Ntar
aja belajarnya, ajak siapa gitu yang pinter terus ajarin kita.”
“Sella
aja, dia kan pinter tuh. Udah gitu baik juga anaknya.” Jelas Fahmi.
“Iya
ya.. Boleh lah.”
“Lo
yang ajakin dia ye.”
“Lo
aja, kan lo yang usulin.”
“Nggak
ah ntar gue dicuekin sama dia. Malu kali ngajakin belajar tapi ntar didiemin.”
“Lo
sih kurang ramah sama cewek. Gimana mau dapet pacar kalau begitu.” Ujar Yuda
sambil cengengesan.
“Songong,
lo!”
***
“Itu
orang ngapain sih ngeliatin gue mulu. Ah, gak ngerti orang grogi apa?” Gerutu Sella.
“Sekian
presentasi dari kelompok kami, bila ada kesalahan mohon dimaafkan,
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..” Ujar Tia menutup presentasi.
Sella
dan teman-temannya pun kembali ke tempat duduknya masing-masing.
***
“11
Desember 1996?” Ujar Sella terkejut saat membaca tanggal lahir Fahmi.
“Lebih
tua gue satu tahun, dong? Yaaah...” Sesalnya.
“Kayaknya
emang gak boleh gue suka sama dia. Bismillahirahmanirahim. Semoga perasaan ini
cepat hilang.”
Sella
menutup matanya lalu mulai tertidur.
***
“Dia
pinter banget sih bikin cerita-cerita kayak gini. Ah, manis banget sih lo, Sel..”
Ujar Fahmi saat membaca tulisan-tulisan di blog milik Sella.
“Dia
kenapa ya diem banget sama gue, bercanda sama orang lain bisa, sama gue kok
nggak pernah. Boro-boro ketawa, senyum aja nggak. Gue udah berusaha ngajak ngobrol
dia, tetep aja dicuekin.” Fahmi menghela nafas.
***
Kokokan
ayam berbunyi menandakan matahari kembali bertugas setelah beristirahat sejenak
yang perlahan muncul dari ufuk timur dan siap memberikan awal yang baru kepada
dunia.
Fahmi
bersiap-siap berangkat menuju kampus, tak sengaja bertemu Deva yang akan
berangkat dengan motornya. Ia pun memanggil.
“Va,
nebeng dong..”
“Ayo..”
Fahmi
dan Deva pergi menuju kampus.
“Lo
sekelompok sama siapa Mi, yang tugas Bank dan Lembaga Keuangan?” Tanya Deva.
“Sama
genk-annya Dita. Lo sama siapa?”
“Sama
Sella, Anggun, Tia, Rifka, Indah, Rizal sama Rendy. Biasa..”
“Oh
iya genk Scissors ye? Hahaha..” Ujar Fahmi.
“Kok
scissors? Gunting dong? Kenapa?” Tanya Deva yang alisnya bertemu dipangkal
hidung karena heran mendengar celetukan Fahmi.
“Iya
genk-an lo kan mulutnya pada tajam-tajam kayak gunting, hahaha..” Fahmi
tertawa, lalu Deva mengikuti.
“Hahaha..
genk scissors. Ada-ada aja lo!”
“Iya,
apa-apa berdelapan mulu.”
“Kebetulan
itu, Mi. Enak kalau sekelompok sama Sella, dia paham sama materinya, nyambung
aja kalau ngomong sama dia.”
“Masa
sih?”
“Iya...
Emang lo nggak pernah ngobrol atau berdiskusi gitu sama dia?”
“Boro-boro
deh. Sama gue dia cuek banget, Va. Gue ngobrol sama temennya aja nih, boro-boro
ikut gabung, ngeliatin aja nggak.”
“Lo
pernah ada salah kali sama dia?”
“Lah
gue gak pernah ngobrol sama dia kayak gue ngomong ke teman-temannya.”
Deva
teringat saat Sella mengatakan bahwa Fahmi adalah sosok yang menyebalkan dan
terlihat seperti anak kecil.
“Oh
iya, kayaknya dia pernah ngomong sama gue, “lo udah gede tapi gaya nya masih
kayak anak kecil” deh.” Deva menjelaskan.
“Hah?
Kapan?”
“Waktu
itu, dia lebih seneng ngeliat cowok dewasa kayak Riza gitu.”
“Oh..”
Fahmi
terlihat sedih mendengar pernyataan Deva. Ia akhirnya mengetahui alasan Sella cuek
terhadapnya bahkan ketika ia sudah bersikap baik pada Sella.
Saat
bertatap muka dengan Sella, Fahmi lebih memilih cuek lalu melewati Sella tanpa
sepatah kata pun. Tak ada senyuman untuk Sella seperti biasa saat mereka
bertemu.
***
“Tuh,
mana mungkin dia suka sama gue? Ngeliat gue aja kayak gak suka gitu. Iya lah Sel,
lo nyadar dong, lo siapa? Liat mantan-mantannya, cantik, putih, langsing, gaul
juga. Lah lo? Ah...” Sella meratapi kesedihannya sambil masuk ke kelas.
Deva
menyambut Sella dan segera mengisyaratkan untuk duduk disebelahnya. Indah yang
mengetahui hal tersebut segera menyindir.
“Sella
mulu.. Tadi gue disamping lo diusir-usir. Lo nggak ngerti perasaan gue banget
sih, Dev. Kan sedih gue..” Indah menunduk sedih.
“Kan
gue mau nanya tugas sama dia. Sini, Sel.”
Sella
pun segera duduk bersebelahan dengan Deva.
Deva
tak jarang bersandar pada Sella. Membuat teman-temannya sering mengadu ke Indah
atas tingkah laku Deva.
“Indah,
Indah.. liat tuh Sella centil banget sama Deva.” Ujar Rifka memanasi Indah.
“Mana
gue centil? Deva duluan juga..” Tangkis Sella membela diri.
Deva
hanya terkekeh melihat teman-teman perempuannya yang mencemburui Sella dengannya.
***
Mata
kuliah telah habis dipelajari hari ini. Satu persatu mahasiswa meninggalkan
kelas. Fahmi dan teman-temannya keluar dari gedung kampus menuju parkiran motor.
Di depannya, Fahmi melihat Sella dan genk-annya juga menuju ke arah parkiran. Fahmi
yang tersenyum saat melihat senyuman Sella, tiba-tiba berubah menjadi kesal
saat Deva melingkarkan tangannya di bahu Sella. Walaupun Sella menjauh dari
Deva, tetap saja membuat Fahmi mengepalkan tangannya.
“Cieeee... Lama-lama juga jadian lo berdua.
Kalah lo Ndah, sama Sella..” Ujar Tia.
“Oh
Deva sukanya sama yang montok-montok?” Ujar Rendy.
“Apaan
sih lo?” Sella kesal.
“HAHAHAHAHA...”
***
“Sel,
Ibu senang kamu hamil, yang penting kamu sudah menikah.” Ujar Ibu sambil
mengelus perutku.
“Tapi
kan, Bu. Sella masih kuliah.”
“Sel,
Fahmi itu orang yang baik. Ibu setuju kamu menikah dengannya. Sekarang kan kamu
lagi hamil, kalau kamu mengidam atau ada apa-apa, kamu bilang sama Fahmi kamu
butuh apa, yaa..”
“Ibu...”
*Beberapa
bulan kemudian, Sella melahirkan. Bayi Sella telah dipindahkan ke ruang bayi,
yang letaknya tak jauh dari ruang persalinannya.
“Ibu,
anak aku mana?” Tanya Sella pada Ibunya.
“Sedang
di adzani sama Fahmi. Selamat ya, sayang..”
Sella
mengangguk senang. Air matanya terharu mendengar Ibu mengatakan bahwa Fahmi
sedang menga-adzani buah hati mereka. Ia segera menuju ke ruang perawatan bayi.
Di depan ruang perawatan bayi, Sella bertemu dengan Fahmi sambil tersenyum.
“Tuh
liat, anak kita..” Fahmi menunjuk salah satu bayi yang sedang tertidur.
Saat
ingin melihat bayi nya secara dekat............
***
“Mbak...
Mbak Sella! Bangun, udah subuh.” Suara Rico adik Sella mengejutkan.
Sella
tersenyum lalu mengelus perutnya, dan tersadar, bahwa perutnya sudah rata
kembali.
“Ah,
mimpi lagi..” Sella mengusap wajahnya.
“Hah?
Gue mimpi menikah, dan punya anak? Dan dalam mimpi gue Ibu menyebut nama Fahmi?
Itu berarti gue menikah dan punya anak sama Fahmi? Ah.. makin gila gue
lama-lama...” Sella mengacak-acak rambutnya sendiri.
***
“Oh,
jadi gue harus deket dulu sama teman-temannya, dengan begitu orang yang kita
sukai bakal menganggap kalau kita ramah pada teman terdekatnya.. Ehm, gitu.”
Ujar Sella saat membaca artikel “Cara mendekati laki-laki yang cuek” di
internet.
“Dia
dekat sama Indra, terus Agus. Berarti gue harus cari cara biar mereka deket
sama gue.. Hahaha..”
“Tapi
kan, gue mau jadi wanita muslimah yang taat. Masa mau deketin cowok duluan? Ah,
tapi buat sekedar ngobrol aja masa nggak boleh. Seengaknya kita harus normal
kan?” Sella menunduk sesal.
***
Sella
mulai melancarkan aksinya saat berada didekat Indra dan Agus. Karena Indra memang
orang yang mudah berbaur, maka Indra pun dengan sendirinya dekat dengan Sella.
Sementara Agus, yang awalnya mengacuhkan Sella, kini mulai mendekati Sella, dan
bersikap baik dengannya.
***
Fahmi
duduk di balkon kost-annya sambil memainkan gitarnya dengan asal. Memandangi
cahaya langit malam yang bertaburan bulan dan bintang, mencoba masuk ke dalam
relung keheningan malam lalu menyampaikan pada seseorang yang ia kagumi, bahwa
ia mulai menyukai sosok perempuan yang sering mampir ke dalam mimpi-mimpinya.
Ingin rasanya ia mengatakan, mengapa dalam mimpi mereka harus dipertemukan
dengan hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Bahkan, orang-orang akan
tertawa terbahak ketika mendengar lelucon yang memuakkan ini.
“Ya
lo aneh-aneh aja sih, masa bisa suka karena mimpi, itu namanya lo terobsesi
sama dia, makanya langsung masuk ke alam mimpi. Ditambah lo suka kepoin dia,
yaudah makin jadi lah.” Ujar Doni menasehati sahabatnya.
“Tapi
mungkin nggak sih, dia itu jawaban atas doa-doa gue? Perempuan solehah yang
ramah, baik, cerdas, dan cantik. Ya lo tau selama ini mantan gue gimana, manja
lah, yang terlalu gaul lah. Udah saatnya gue cari sosok yang mirip sama nyokap
gue..”
“Emang
dia cantik? Biasa aja menurut gue..”
“Senyumnya
cantik banget, Don. Kalau gue liat dia senyum walaupun bukan senyum buat gue,
itu berhasil membuat gue bergetar, apalagi kalau dia senyum buat gue. Duh, gak
bisa ngebayangin gue. Sayang dia cuek banget sama gue.”
“Cocok
sih sama lo.. cocok deh cocok..” Doni akhirnya mengiyakan tangkisan Fahmi. Fahmi hanya
tersenyum.
Mungkin,
ini yang dinamakan jawaban atas segala doa. Melalui pertemuan alam bawah sadar,
Fahmi dipertemukan oleh perempuan yang jauh dari dugaannya. Perempuan yang
menyayangi keluarganya, cerdas, bertutur kata dengan baik, dan sopan ini telah
mengguncang hati Fahmi.
“Tapi
dia nggak suka sama gue, Don. Dia cuek banget sama gue.. Padahal gue udah
berusaha lembut banget kalau ngomong sama dia.”
“Ya
ampun songong banget tuh orang..”
“Dia
suka sama Deva deh kayaknya.”
“Hah?
Deva yang anak kost-an depan ini?”
“Iya..”
“Yaudah
cari cewek lain aja lah. Daripada lo nungguin dia sambil ngegalau gini? Cowok
tuh bertindak, pantang menunggu!”
***
Ungkapan
yang tak tersampaikan. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan hati Fahmi
yang hanya menggagumi Sella dari jauh tapi tak pernah berani untuk melakukan pendekatan
yang lebih intim lagi. Nyalinya terlalu ciut ketika mengetahui Sella sudah
mulai dekat dengan Deva, dan perilaku Deva yang mengagumi sosok Sella.
Deva
adalah laki-laki tampan, yang memiliki tingkah laku sopan, cerdas, dan
mempesona itu banyak menarik hati perempuan yang ada dikelas. Tak terkecuali
Indah dan Rifka, yang berusaha merebut hati Deva. Sayang, karena perbedaan
rumah ibadah, menjadi penghalang untuk mereka mendekati Deva ke arah yang lebih
serius.
“Jadi
lo nggak suka sama Deva, Sel?” Tanya Indah.
“Nggak,
Indah. Gue nggak mau memulai-mulai sama yang nggak pasti. Ibadah gue aja belum
bener, mau yang nggak-nggak..”
“Oh,
gue kira lo naksir sama Deva.. Status lo itu bukan buat Deva?” Indah semakin
menegaskan pertanyaannya agar segera dijawab Sella.
“Bukan,
Indah..”
“Oalah,
gue pikir buat Deva..”
Sella
tersenyum melihat temannya itu bernafas lega.
***
“Cobalah
kau dengar, walau tanpa kata..”
Fahmi
membaca status BBM Sella, lalu tanpa sadar menggantikan display picture dengan
animasi kartun lucu yang menyampaikan pesan “I Love You”.
“Ah,
kayak buat gue aja statusnya..” Fahmi tersenyum getir.
Dan
beberapa status romantis Sella lain yang ia tuliskan pada akun sosialnya
membuat Fahmi berpikir bahwa Sella sedang menyukai seseorang yang bukan
dirinya. Hal itu membuatnya pergi melupakan Sella dan mencoba berpaling kepada
hati yang lain.
***
“Iya, makasih ya udah nerima aku
jadi pacarmu.” Balas mention Fahmi kepada seseorang
perempuan dalam akun @gesyamaharani.
***
Matahari
masih bersemangat bekerja menerangi bumi, tak pernah sekalipun ia berharap akan
terbalas pengorbanannya selama ini. Ia memberi begitu banyak kehidupan, dan tanpa
pernah meminta imbalan yang setimpal atas usaha yang ia lakukan sampai Tuhan
mengatakan berhenti.
Matahari
merupakan tata surya yang paling dekat dengan bumi, namun jauh dari pandangan
dunia. Ia hanya mampu mengagumi keindahan bumi dari jauh tanpa berani mendekati
karena takut akan melukai dan menghancurkan seisi bumi. Ia bahkan ikhlas ketika
seisi bumi tak bersikap adil padanya.
***
“Tuh
kan, mana mungkin dia suka sama gue, terus apa maksudnya dia suka lirik-lirik
gue..” Tanpa terasa air mata Sella jatuh dari pelipis matanya, ia begitu sedih
membaca balasan tweet Fahmi pada perempuan yang baru ia dapatkan hatinya.
“Mana
ada orang jatuh cinta berasal dari mimpi, gue doang emang yang aneh..”
Tambahnya sambil terisak.
***
Hari-hari
pun berlalu, tak terasa Ujian Tengah Semester tiba, Fahmi makin mengagumi Sella
kala Sella bersedia datang ke kampus di hari libur untuk mengajarkan beberapa
materi kepada teman-temannya.
“Semoga lo dapat laki-laki terbaik
yang bisa membahagiakan lo, Sella.. Gue nggak pantes sama lo. Gue cuma cowok
brengsek seperti yang orang-orang bilang tentang gue.” Ujar
Fahmi dalam hati penuh sesal.
Sella
sadar bahwa Fahmi tengah memperhatikannya, Ia menahan air matanya yang hampir
keluar dari tempat persembunyiannya.
“Sampai lo menemukan perempuan soleha
yang baik, izinkan gue tetap menyimpan rasa pada lo ya, Mr. Sun! Gue nggak bisa
mengakhiri perasaan ini, karena gue nggak pernah memulainya.” Sella
menghela nafas agar air matanya tertahan.
“Mr.
Sun!” Bolehkah aku memanggil namamu seperti itu? Bagiku, kau adalah Tuan
Matahari yang mampu menerangi kembali hatiku yang sudah lama tenggelam dalam
kegelapan malam.
***
“Ya Allah, jika Fahmi adalah laki-laki yang Engkau
kirimkan untuk aku, maka dekatkanlah kami, persatukanlah kami. Jadikan ia
laki-laki yang baik budi pekertinya, dan jadikanlah ia imam yang baik untuk
aku. Namun, jika Fahmi bukan untukku, maka berikanlah perempuan sholeha yang
baik padanya, yang sayang padanya, dan berikan juga padaku laki-laki sholeh
yang menyayangiku sepenuh hati.” Ujar Sella dalam doanya. Tak kuasa ia menahan
air matanya yang akhirnya keluar dengan deras.
***
6 bulan kemudian.
Tak
ada yang spesial selama ini, Sella tetap menyukai Fahmi dari kejauhan, walaupun
dengan tangisan saat ia mengetahui Fahmi sering berganti-ganti pasangan. Sella
tetap mendoakan yang terbaik untuk Fahmi, sampai Fahmi menemukan perempuan yang
terbaik untuknya. Sella tetap ingin menunggu datangnya keajaiban dari mimpi
yang Tuhan berikan padanya, walau tanpa pernah berharap Fahmi akan menyambut
harapan dan doanya.
Fahmi pun tetap menyukai Sella meskipun ia
mencoba mencocokan hati dengan perempuan yang lain. Sudah tiga perempuan yang
mengisi hatinya selama ini. Namun Sella tetap ada dipikirannya. Ia masih berharap
Sella membuka sedikit hatinya. Fahmi masih bersikap baik pada Sella, bahkan
kini ia lebih berani memandangi Sella dan melakukan interaksi fisik dengan
Sella, seperti mengajaknya tos.
“Eh,
Va. Adain malam keakraban kelas, yuk?” Kata Rizal pada Deva.
“Ayo,
ajakin aja anak-anaknya..”
“Mau
kemana? Puncak atau pulau?”
“Yang
deket aja dulu.. Puncak.”
“Yaudah
nanti kita omongin, ya. Sel, lo ikut nggak kalau makrab ke puncak?” Tanya Deva
saat Sella tengah serius membaca materi untuk UTS statistika.
“Hah?
Iya Inshaa Allah gue ikut.” Sella kembali fokus pada bacaannya. Lalu fokusnya
hilang kembali mendengar ada laki-laki memanggil namanya.
“Eh,
Dion, itu Sella. Mana sini gelangnya.” Ujar Fahmi memanggil Dion yang baru
datang. Dion pun mengeluarkan beberapa gelang buatan masa kini, lalu memberikan
kepada Sella.
“Ini
Sel, buat lo.” Ujar Dion memberikan.
“Buat
gue? Emang kenapa?” Sella terheran melihat kedua temannya itu tersenyum senang.
“Semalem
gue bikin gelang ini sama Fahmi buat lo!”
“Oh,
gitu.. Wah bagus gelangnya, makasih yaa..”
“Cobain
dulu, kesempitan nggak?” Ujar Dion meledek.
“Ih,
kegedean malah. Tuh liat!” Sella menunjukkan bahwa gelang yang diberikan Dion
terlalu besar di tangan kirinya.
“Dikecilin
aja, bisa kok.”
Sella
mulai mengakali gelang tersebut agar pas ditangannya. Beberapa kali ia terlihat
kesulitan, lalu dengan gentle –nya,
Fahmi yang semula berdiri segera duduk didepan Sella dan memakaikan gelang
untuk Sella sambil mencocokan ukuran yang pas untuknya. Sella terkejut bukan
main, matanya seketika membulat menerima perlakuan Fahmi.
“Segini
cukup nggak? Atau masih kegedean?” Tanya Fahmi.
“Hah?
Ehm, masih kegedean, Mi.” Ujar Sella gelagapan.
Fahmi mengeluarkan gelang dari tangan Sella, lalu
memotongnya dengan gunting yang ia keluarkan dari tasnya. Sella tersenyum
melihat tingkah Fahmi. Dan setelah memotong sedikit, ia memasangkan gelang
kembali ke tangan Sella.
“Segini?”
“Dikit lagi, nih segini aja.” Sella menjelaskan.
Tanpa sadar, perlakuan Fahmi menjadi pusat perhatian
Indra yang memperhatikan sahabatnya sejak tadi.
“Woy,
nggak usah pake pegangan tangan segala kali!!” Suara Indra yang besar, cukup
membuat teman-teman yang ada di depan koridor kelas memperhatikan apa yang
dilakukan oleh Fahmi pada Sella.
Anggun,
Tia, Rifka, dan Indah pun tersenyum meledek ke arah Sella. Sella menunduk malu.
Fahmi segera membuka gelang dari tangan Sella, mengikat gelang agar lebih pas
dan memberikan gelang tersebut pada Sella, lalu pergi ke arah Indra.
Wajah
malu Sella tak dapat ia sembunyikan. Ia begitu bahagia mendapat perlakuan tadi
dihadapan teman-temannya. Satu hal yang Sella lupakan adalah, Terima kasih!
Sebuah ungkapan terima kasih karena telah membuatkan gelang yang indah dan
memakaikannya langsung pada Sella.
***
You’re my bright blue sky,
You’re the SUN in my eyes,
Baby you’re my life,
You’re the reason why....
Lagu
Christina Perry feat. Ed Sheeran terdengar riang ditelinga Sella saat ia
melihat Fahmi dikolam renang pada acara makrab di puncak sore hari.
Fahmi
beberapa kali melemparkan senyum pada Sella ketika teman-teman Sella menyuruh
Sella untuk turun ke dalam kolam air yang sejuk. Sella hanya menggeleng untuk
menjawab ajakan teman-temannya.
Suara
adzan maghrib menghentikan aktivitas mereka sejenak untuk beribadah. Tak
terkecuali Sella, yang juga melakukan sholat maghrib bersama Tia, Indah dan Rifka
dikamarnya. Selesai sholat, Sella membantu teman-temannya yang sedang membuat
teh manis hangat untuk menemani malam di suasana puncak yang dingin.
Sella
mencari-cari sosok Fahmi, ia edarkan pandangannya ke segala penjuru sisi vila. Tak
Sella temukan batang hidung Fahmi. Sella menghela nafas, mungkin ia sedang merokok
didekat taman bersama Indra, pikir Sella.
Namun,
saat Sella masuk ke kamarnya untuk mengambil alat masak yang ia bawa didalam
tas, ia terkejut mendapati Fahmi sedang mengaji didalam kamarnya setelah
melakukan sholat maghrib. Sella mengurungkan niatnya, lalu kembali ke dapur.
Betapa
senang hatinya melihat tindakan Fahmi. Sella semakin terkagum mendengar suara
Fahmi sampai ke dapur yang bersebelahan dengan kamarnya. Lamunan Sella
terpecahkan saat Agus memanggil Sella.
“Sel,
mending adain makrab terus deh. Gila, anak-anak pada rajin sholat begini.
Biasanya nggak pernah loh.” Jelas Agus.
“Ya
bagus dong, Gus.” Jawab Sella.
“Bagus
sih, tapi jadi aneh aja gitu.”
***
Malam
pun tiba. Acara malam keakraban kelas dilanjutkan dengan makan bersama.
Hidangan ayam, sosis, bakso, dan otak-otak bakar pun telah selesai dibakar.
Semua makan bersama dengan baik, diselingi obrolan-obrolan ringan.
Selesai
makan, Sella merapikan piring-piring yang telah digunakan. Dan lagi, Fahmi
dengan gentle –nya datang membantu
Sella merapikan piring-piring.
“Eh,
ini mau dicuci, Mi..” Ujar Sella memisahkan mana yang harus dicuci dan dibuang.
“Udah
selesai nih.” Fahmi menyelesaikan pekerjaannya.
“Oke,
mau gue kasih ke Putri, biar dicuci.” Sella meninggalkan Fahmi yang masih
merapikan sampah, tanpa mengucapkan terima kasih.
Fahmi
hanya menghela nafas melihat sikap dingin Sella padanya.
***
Acara
makrab pun selesai. Semua orang telah kembali ke rumah masing-masing untuk
menikmati liburan yang masih tersisa beberapa hari lagi. Senyuman akhir yang
Fahmi berikan pada Sella, Sella sambut dengan hangat.
“Biarlah kita tetap seperti ini, dan
aku akan terus memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar segera mempersatukan
kita. Karena aku yakin, seperti kita mengayuhkan sepeda yang membawa kita
sampai ke tempat akhir, maka seringnya menyebutmu dalam doa ku akan membawa
kita sampai ke tempat tujuan, tempat yang sudah Tuhan tuliskan untuk kita di
masa depan.”
***
Matahari,
sinarmu begitu memancar sangat indah. Dan seluruh mahluk dibumi ini pun
mengakuinya. Keindahanmu terus terpancar tanpa henti, seakan meyakinkan banyak
mahluk bahwa kau tidak akan berkhianat dan akan terus menyinari bumi.
Kau
bukan matahari yang menyakiti bumi dengan sinarmu yang dapat melukaiku, kau
datang memberikan kehangatan dan kedamaian untukku. Dan saat kau memelukku, aku
yakin kau mempunyai hati yang besar untuk menyukaiku.
Aku
bukanlah bumi yang indah untuk membalas cintamu. Aku juga bukan pelangi yang
mampu menghapus tetesan air matamu yang jatuh ke dasar bumi. Aku hanyalah
penghuni bumi yang sering menyakiti perasaanmu dengan tindakanku yang acuh
terhadapmu.
Kelak,
seandainya kau telah menemukan tambahan hati, aku mohon.. tetaplah bersikap
adil menyinari bumi, walaupun bumi terus menyakitimu.
Dan,
terima kasih! Satu kata yang sulit aku ucapkan kepadamu selama ini. Terima
kasih karena telah meminjamkan cahayamu sejenak untuk menerangiku, dengan cahayamu
itu, kini aku lebih siap membuka mata melihat keindahan dunia yang selama ini
aku simpan dengan rapat.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar