Rabu, 06 Januari 2016

Cerpen - SUN’s Romance



Ketika awan dan hujan dipersatukan, bulan dan bintang datang bersamaan, air dan udara saling membutuhkan, dan ketika semua yang diciptakan Tuhan selalu berpasangan, bagaimana, dan dengan apa matahari dipasangkan? Akankah terpikir bagaimana matahari menjalani kehidupannya sendirian? Bukankah Tuhan adil menciptakan segala sesuatunya secara berdampingan?

***

 “Sholat dulu yuk, Mi..” Ajak Indra.

“Ah males, Ndra.”

“Sholat lah, siapa tau ketemu jodoh di masjid. Yuk ah..” Indra beranjak dari duduknya.

“Kadang suka bener lo yee, siapa tau ketemu jodoh ye kan abis sholat di masjid.” Ujar Fahmi dengan gaya tengilnya beranjak menyusul Indra.

“Iya lah bosen kan lo jomblo?”

“Iya, cariin yang cantik terus seksi yee, Ndra.”

“Mau cari yang begitu jangan di mesjid, Fahmi. Nambah dosa aja lo.”

“Haha.. Aduh.” Ujar Fahmi yang tiba-tiba merintih kesakitan.

“Kenapa lo?”

“Duduk dulu, Ndra. Perut gue sakit banget.”
           
Fahmi duduk di depan pelataran masjid, Indra mengikuti.
           
“Nah, aku juga gak tau mesti gimana, Dhe.” Ujar Sella saat melewati Fahmi dan Indra dibatas masjid laki-laki dan perempuan.
            
“Itu anak kelasan kita, kan?” Tanya Indra.
            
“Iya..”
            
“Dia keren ya kalau lagi presentasi dan nanya-nanya. Jelas, terus tepat juga.”

“Iya pinter ya..”

“Yaudah sama dia aja lo, Mi. Lo juga pinter kan..”

“Nggak ah, Ndra.”

“Kenapa? Ah lo mah cari yang cantik-cantik terus seksi sih..”

“Nggak gitu, Ndra.” Fahmi menyandarkan tubuhnya sambil meluruskan kakinya yang tertekuk.

“Terus kenapa? Coba liat ini masjid bro, jarang banget anak cewek jaman sekarang sholat dulu ke masjid pas udah pulang kuliah. Biasanya pulang ya pulang aja.”

“Nah apalagi dia rajin ibadahnya, minder gue. Gue aja belum bener.”

“Makanya diperbaiki dulu sholat lo, yuk lah sholat.” Indra beranjak dari duduknya. Tak lama Fahmi mengikutinya.
***

“Gue kesel sama Fahmi, songong banget dia ngatain gue mulu.” Ujar Indah.

“Ya lo sih mulai duluan, udah tau dia begitu.” Sahut Rifka.

Satu persatu mahasiswi masuk ke kelas, tak lama dua orang laki-laki mengikuti. Yang pertama berperawakan tinggi sedang menggunakan pakaian kemeja garis-garis dengan celana bahan dan membawa tas samping bak dosen. Laki-laki tersebut pun menjadi pusat perhatian Sella yang tak sengaja dilihatnya.

“Deva, liat deh yang cowok itu, dia nggak kelihatan mahasiswa ya kalau lagi pake pakaian formal gitu, lebih cocok jadi orang kantoran. Dewasa gimana gitu pembawaannya.” Ujar Sella pada Deva yang duduk disebelah Sella.

“Siapa? Riza? Iya.”

“Oh namanya Riza?”

Deva memperhatikan Sella yang mengikuti gerak Riza sampai ia duduk dikursi belakang.

“Kenapa? Lo suka ya, Sel?” Tanya Deva.

“Nggak lah. Maksud gue, dia mendingan aja gitu lebih dewasa, daripada itu tuh, udah tinggi gede tapi langkah jalannya masih kayak anak kecil.” Tunjuk Sella pada Fahmi.

“Hahaha.. Iya ya. Kirain lo suka sama Riza. Riza emang dewasa keliatannya.”

***

“Sella, mana proposal yang disuruh buat kemarin?” Tanya senior BEM padaku.

“Saya lupa membuatnya, Kak. Yaudah gak apa-apa kalau saya nggak diterima di BEM, saya izin keluar aja, lagi pula saya sedang sakit.” Ujarku sambil berencana berdiri.

“Kamu sakit? Oh yaudah kalau begitu, kamu boleh pulang.” Balas senior.

Sejak memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk, ayunan langkah kaki ku terasa berat untuk melangkah keluar dari sebuah ruangan yang berisi calon anggota BEM periode baru di kampus.

Sebenarnya, aku pun tak mengerti mengapa aku bisa datang diacara penerimaan anggota BEM, padahal aku tak tertarik sama sekali untuk mengikuti acara tersebut. Namun dengan kebijaksanaan senior, aku diizinkan untuk meninggalkan acara tersebut. Perlahan, dengan gontaian langkah yang semakin berat, ditambah dengan ketidaksehatan tubuh ini, aku jatuh pingsan.

Sayup-sayup terdengar, semua orang panik lalu menghampiriku, yang aku tahu dua orang temanku membawaku ke ruangan dimana ada sebuah tempat tidur yang tempatnya menghadap datangnya arah matahari melalui pintu, dan dua buah kursi di sisi pojok, mungkin semacam ruang UKS. Entahlah.

Kondisiku memang tidak sepenuhnya sadar, tapi aku sedikit mengetahui apa yang terjadi saat aku pingsan. Setelah merebahkanku ditempat tidur, dua orang teman itu duduk di sisi pojok sambil mengipas-ngipas tubuhnya yang kegerahan membawaku. Ku posisikan tubuh menghadap ke arah pintu, karena tubuhku rasanya lebih nyaman menghadap ke sebelah kiri.

Silaunya cahaya matahari yang masuk melalui pintu, seketika tertutup bayangan sosok laki-laki yang datang tepat di depanku. Aku tak dapat mengenali wajahnya karena silauan matahari walaupun sudah memicingkan mata untuk memastikan siapa laki-laki itu.  Namun, aku bisa mengenalinya dari postur tubuhnya yang tinggi besar mengenakan kaos berwarna hitam dengan gambar cahaya matahari ditengah kaosnya. Seperti sosok teman baru ku dikelas, tapi mungkinkah ia?

“Makasih ya udah anter cewek gue kesini.” Ujar laki-laki tersebut pada dua orang temanku.

“Iya sama-sama..” Jawab temanku.

Pertanyaanku hampir terjawab ketika aku mendengar suaranya. Seketika ia berbaring ditempat tidur, lalu memberikan lengannya untuk dijadikan bantal untukku. Tak hanya itu, ia pun memelukku dan menyadarkan kepalaku tepat didepan dadanya yang bergambar cahaya matahari. Karena tubuhku masih lemas, aku tak mengatakan apapun bahkan malah menurutinya. Aku masih tak dapat melihat wajahnya karena silau, aku hanya bisa melihat gambar cahaya matahari itu tepat didepan dadanya.

Seketika aku bertanya dalam hati. “Tuhan, mengapa dipeluknya aku begitu nyaman?” Memang terasa sangat nyaman saat mendengar suara detak jantungnya tepat di telingaku, sangat nyaman saat ia memelukku dan mencium kepalaku dengan lembut. Rasanya tak ingin aku melepaskan pelukannya, aku menyukainya.

“Wah.. wah.. bisa sakit mata gue liat lo berdua. Ayo As, pergi aja yuk.” Ujar temanku lalu pergi meninggalkan kami.
***
           
KRING............... KRING...............

Alarm pagi membangunkan Sella. Ia segera terbangun lalu mengusap wajahnya. Tak lupa ia ambil ponsel di meja yang tak jauh dari jangkauan tangannya, lalu mengecek beberapa pesan BBM. Salah satu pesan dari grup ia buka.

“Buat hari senin ada tugas apaan yee?” Tanya Fahmi

“Gak ada kayaknya Mi, udah nikmatin liburan tiga harinya aja sih.” Balas Surya.

“Oke oke..” Balas Fahmi.

DEG.

Perasaan Sella tiba-tiba berdetak cepat ketika membaca nama Fahmi di grup tersebut. Seketika ia mengingat-ingat kembali mimpi yang mengejutkannya itu.

“Astagfirullah.. Semalam aku mimpi apa? Mengapa wajah Fahmi tak asing dalam mimpiku? Mungkinkah itu Fahmi? Mungkinkah Fahmi yang datang menutupi silauan matahari dan memelukku saat aku sakit dalam mimpi?” Ujar Sella dengan gusar.

“Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Jangan memulai-mulai Sel, jangan mulai. Itu cuma mimpi, mimpi itu bunga tidur. Dan yang membahayakan adalah, dia teman sekelas lo. Gak boleh ada suka-sukaan. Nggak boleh!” Tambahnya.

Segera Sella tepiskan pikiran-pikiran itu. Ia pun segera keluar dari kamarnya.

“Sella, kamu itu. Tidurnya lelap banget, kamu tidur dari jam setengah 8 malam kan? Jam segini baru bangun. Gak sholat deh tuh.” Ujar Ibunya menyambut.

“Hehehe.. Capek banget, Bu. Capeeek... banget. Tapi emang lagi nggak sholat kok, Bu.” Jawab Sella sambil menyengir.

“Yaudah mandi sana kalau udah bantuin bikin capcay nih..”
            Seketika, mimpi yang dialami Sella semalam terpikir olehnya. Rasa nyaman yang timbul saat dipeluk laki-laki yang tak ia kenali, membuatnya menebak-nebak, mungkinkah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan bongsor itu teman sekelasnya? 

“Apa, itu Fahmi? Ah.. Tapi mana mungkin itu dia. Aku sama sekali tak pernah memperhatikan dia, bahkan berbicara dengannya pun belum pernah.”
***

Fahmi dan Sella memang berada dikelas yang sama. Sella baru mengenal Fahmi tak lebih dari satu bulan sejak perkuliahan baru dimulai. Kenaikan kelas membuat mereka harus beradaptasi kembali dengan teman dan suasana kelas yang baru.

Sikap Sella yang sudah semakin dewasa, menanamkan dirinya sendiri bahwa ia harus memperbanyak teman tanpa pilih-pilih, yaitu dengan cara membaur pada semua teman baru. Karena ia berharap, kelak teman-teman barunya kini dapat lebih solid dalam menjalani kehidupan perkuliahan di kelas. Hingga tak terpikir olehnya untuk menaruh hati pada teman sekelasnya yang akan menjadi teman sampai akhir mereka menamatkan perkuliahan.

***
Dari kejauhan mata, aku melihat sosok laki-laki yang ku kenal berada disamping temanku, Rifky. Tatapan itu seakan terlihat mengerikan karena ujung mata kanannya mengikuti arah kemana aku pergi. Seketika aku menunduk tak berani membalas tatapan matanya.

“Lo sih bikin dia marah.. Ngapain pake bercanda sama Deva?” Tanya Tia padaku.

“Memangnya kenapa kalau bercanda, kan kita berteman. Deva juga temannya.”

“Masa lo gak ngerti sih, itu artinya Fahmi cemburu.”

***

Sella terbangun. Ia tersentak kaget saat mengetahui nama Fahmi dalam mimpinya.

“Fahmi? Mengapa Fahmi muncul dalam mimpiku? Mengapa tatapan matanya membuatku tak berani membalas tatapannya? Tuhan. Mengapa kau hadirkan Fahmi dalam mimpiku? Ini sudah kedua kalinya aku memimpikannya.” Ujar Sella sambil mengacak-acak rambutnya sesal.
***

Siang hari, sang matahari menyimpan malam, memancarkan cahaya untuk memberikan kehidupan kepada seluruh mahluk hidup di muka bumi. Dihargai atau tidaknya matahari, ia tetap bersinar sangat terang, ia tetap berputar pada porosnya dan tetap menerangi kehidupan manusia, sekalipun malam datang menggantikan posisinya.

Lalu malam hari, bulan dan bintang menggantikan tugas sang mentari menerangi dunia. Membawakan suasana baru ketika matahari beristirahat sejenak sebelum ia kembali bekerja memberikan cahaya.
***

“Happy birthday, Fahmi.. Happy birthday, Fahmi...”

Sebuah nyanyian ulang tahun terdengar serempak saat kami menyanyikan lagu ulang tahun untuk Fahmi. Wajah Fahmi sangat bahagia mendapatkan pesta kejutan ulang tahun dari sahabat-sahabatnya.

“Thank you ya semuanya...” Ujar Fahmi.

“Sella, kasih dong hadiah spesialnya untuk Fahmi..” Celetuk Indah.

“Oke oke... Ini untuk orang yang spesial di hari yang spesial.” Ujarku sambil memberikan hadiah ulang tahun untuk Fahmi.

Fahmi pun membuka hadiah yang aku berikan. Sebuah tas hitam dengan warna coklat di setiap sisinya, kuberikan untuknya.

“Wah.. Bagus banget, Sella. Makasih ya..” Ujar Fahmi tersenyum manis.

Aku mengangguk bahagia.
***

“Sella, kuliah jam berapa? Udah jam 5 nih..” Ujar Ibunya membangunkan.

Sella tersadar. Lalu menghembuskan nafas panjang-panjang.

Mimpi lagi.

“Aku harus masuk kuliah hari ini, aku ingin memastikan, apakah itu benar-benar Fahmi yang ada di mimpiku yang sudah tiga hari berturut-turut?” Sella mengambil handuk dan bergegas mandi.

***

Sella teringat, bahwa ia pernah berdoa ingin melepaskan perasaannya untuk sementara waktu. Bahkan ia berdoa, meminta agar Tuhan menutup perasaannya sampai ia menemukan jodoh yang tepat untuknya. Karena saat ini, ia ingin menata kehidupannya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Dan keinginannya untuk sendiri dulu telah ia jalani cukup lama.

Sudah dua tahun lamanya ia berpisah dengan kekasihnya, tanpa bisa menyukai sosok baru dalam hidupnya setelah itu. Maka dengan kemantapan hatinya, dan dengan dukungan dari teman-temannya yang paham mengenai agama bahwa single adalah mulia, ia berdoa kepada Tuhan, untuk jangan membukakan hatinya dulu untuk siapapun.

Hati Sella tak berhenti berdegup kencang saat ia mulai berpamitan kepada orangtuanya sampai dipertengahan jalan menuju kampusnya. Sosok Fahmi sering muncul dihadapannya dan membuat hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Degupan jantungnya bahkan lebih kuat berdetak ketika Fahrezi, kekasihnya dulu mengajaknya pergi menonton berdua saat mereka baru memulai hubungan, dan detakan ini lebih hebat ketimbang detakan-detakan lain yang pernah ia rasakan. Ia belum pernah merasakan detakan aneh seperti ini. Dengan menggunakan sepeda motornya, ia lajukan kecepatan agar lebih cepat sampai tiba dikampusnya.

Sella sudah sampai di kampus. Setelah memarkirkan motor, ia segera menuju ke kelas. Tentu dengan kaki yang semakin lemas dan hati yang semakin kacau, karena ingin bertemu dan memastikan, Fahmi kah yang ada dalam mimpinya yang berurutan itu?

Ternyata Fahmi belum datang. Sella bernafas sedikit lega. Mata kuliah Manajemen Keuangan 1 pun dimulai.

Satu persatu mahasiswa datang terlambat, membuka pintu lalu duduk ke tempat duduknya. Setiap pintu terbuka, mata Sella tak berhenti menoleh sambil menahan nafas karena ketidaksanggupannya ketika nanti bertemu dengan Fahmi.
***
“KREEEK.. CETEEK...”

Pintu terbuka. Sella segera menoleh ke arah pintu.

Sosok laki-laki tinggi besar itu masuk, menyapa dosen, melewati tempat duduk Sella lalu duduk diarah kanan Sella.

Benar. Itu Fahmi! Sosok laki-laki tinggi besar di dalam mimpinya itu ternyata Fahmi.

“Ah, benar. Itu Fahmi, tas itu.... Itu tas yang aku berikan padanya didalam mimpi. Tas hitam dengan warna coklat disetiap sisinya.” Gumam Sella dengan takjub.

Seketika wajah Sella memanas, namun tangan dan kakinya menjadi dingin. Hatinya tak kalah kacau melihat Fahmi masuk dan melewatinya. Berkali-kali ia bersikap normal, namun tetap saja masih terlihat gusar. Teman yang berada di sisi kiri dan kanannya pun menyadari keanehan Sella.

“Sella, lo kenapa?” Tanya Anggun.

“Iya lo kenapa? Kok pucet gitu.” Tanya Via.

“Anggun, ehm.. Via.. ehm... huh.” Ujar Sella terbata sambil berkali-kali menghela nafas panjang.
Ia terdiam tak berkutik. Seluruh tubuhnya terasa tak bisa melawan degupan hati yang semakin kencang. Sella memegang kedua temannya sambil menahan nafas.

“Ya ampun Sel, lo sakit? Kok tangannya dingin banget sih?” Tanya Anggun memastikan sambil memegang tangan Sella yang lain.

“Kepala lo juga agak panas. Lo sakit?” Via meletakkan punggung tangannya di dahi Sella.

Sella menggeleng.

“Terus kenapa?” Tanya Via

“Nggak apa-apa...” Jawabnya datar sambil beberapa kali menghela.

Ruangan kelas yang semula biasa saja, menjadi luar biasa semenjak kedatangan Fahmi dikelas. Sella mencoba memberanikan diri menoleh sejenak ke arah Fahmi, lalu cepat-cepat ia kembalikan wajahnya menghadap depan saat Fahmi juga tengah memperhatikan Sella. 

Ya. Fahmi juga tengah memperhatikan Sella dengan melihat dari sisi sebelah kirinya. Dan saat kedua mata mereka saling bertemu, Fahmi segera menundukan kepalanya.

“Ya Tuhan.. Fahmi sedang memperhatikanku, ketika aku menoleh ke arahnya, ia segera menundukkan pandangannya. Ya Tuhan... Apa maksudnya ini? Apakah Fahmi memimpikan hal yang sama denganku? Mengapa ia menundukan pandangannya ketika mata kita saling bertemu? Huuuh..” Sella berkata dalam hati.

Tak lama kejadian itu berselang, Fahmi sudah berbincang-bincang dengan teman-temannya kursi dibelakang. Suara beratnya terdengar sampai ke telinga Sella. Akhirnya, Sella tak dapat mengikuti mata kuliah hari ini dengan baik karena pikirannya sangat kacau.

“Gila. Ini gila! Aku tak mungkin jatuh cinta padanya. Itu hanya mimpi, tak usah aku pikirkan. Tapi mengapa perasaanku jadi seperti ini? Rasanya aku ingin pingsan saja, tak kuat aku berlama-lama mendengar suaranya.” Gumam Sella.

Sella segera bersujud dan memohon ampun kepada Tuhan. Memohon agar tidak Tuhan berikan perasaan aneh saat ini, dan memohon agar jangan memberikan perasaan khusus pada teman sekelasnya.

“Ya Tuhan, tolong hapuskan perasaan ini, bukankah aku pernah meminta biarkan aku mengosongkan hati sampai Engkau memberikan laki-laki yang soleh kepadaku? Aku harap tiga hari kemudian perasaanku sudah kembali seperti semula.” Ujarnya penuh harap.

Sella jadi tak dapat berbicara banyak di kelas. Seluruh tubuhnya terasa kaku tak dapat menyampaikan apapun, bahkan saat dosen memberikan pertanyaan yang ia anggap bisa dijawabnya, ia hanya bisa diam sambil mengatur nafas dan detakan jantung yang cepat. Ditambah saat Sella tak sengaja menoleh ke arah Fahmi, Fahmi pun terpojok karena ketahuan sering muncuri-curi pandang ke arah Sella, makin menciutlah nyalinya.

***

Hari demi hari Sella lalui dengan hati yang aneh diselingi dengan degupan-degupan keras tak beraturan. Ia menjadi semakin takut menyampaikan pendapat, dan memberikan informasi kepada teman sekelasnya melalui lisan maupun pesan. Ia berpikir bahwa jika ia berbicara, atau memberi informasi lewat pesan BBM, Fahmi pasti akan memperhatikan dan membaca pesannya tersebut. Itulah yang membuatnya takut, ditambah tatapan tajam mata Fahmi seperti dimimpinya terasa jelas nyata dalam kehidupannya.

Fahmi adalah laki-laki yang baik terhadap semua orang, namun ucapannya yang seringkali kasar dan tingkahnya yang kadang menjengkelkan, membuat ia sangat disegani oleh banyak teman-teman perempuannya. Bahkan menurut Rifka teman sekelas Fahmi saat masih duduk di tingkat 1, Fahmi dan teman-temannya sering menggoda perempuan teman kelasnya yang menurut mereka cantik dan gaul.
***
Tiga hari sudah berlalu. Perasaan Sella terhadap Fahmi masih juga tak hilang bahkan terus menggebu. Fahmi semakin berani mencuri pandang ke arah Sella, walau Sella sudah berkali-kali memergokinya. Mereka pun masih tak saling bicara, baik Sella maupun Fahmi hanya membungkam satu sama lain tak selayaknya teman sekelas yang pada umumnya saling menyapa.

Fahmi sering duduk dibelakang atau ditempat duduk yang dipastikan bisa melihat Sella dari sisi kejauhannya, ia juga sering mengajak teman dekat Sella mengobrol, dan sering memberikan lawakan-lawakan lucu untuk memancing perhatian agar Sella memperhatikan lawakannya. Namun semua itu tak dapat Sella balas ataupun balik memperhatikan tingkah laku Fahmi, karena sungguh ia tak berani melakukan apapun saat Fahmi berada didekatnya.

Dan, dari segala hal yang dilakukan Fahmi ketika dikelas, bahkan dianggap “berengsek” oleh beberapa teman-temannya, Fahmi tetap bersikap baik dan betutur kata halus pada Sella. Sangat berbeda ketika ia berbicara kepada perempuan lain.

“Sella, boleh pinjem pulpennya nggak?” Tanya Fahmi saat ia duduk tepat dibelakang Sella.

“Hah? Oh iya nih..” Ujar Sella memberikan.

“Giliran sama Sella ngomongnya halus banget, coba sama gue, mana pernah izin dulu pinjem pulpen, yang ada lansung main tarik aja..” Celetuk Indah yang duduk disebelah Fahmi.

“Berisik lo, Ndah.” Balas Fahmi.
***

Sella mulai mencari akun-akun media sosial Fahmi, membaca tulisan-tulisan statusnya, dan melihat bagaimana Fahmi menjalani kehidupannya lewat pesan yang ia tuliskan dalam akun-akun sosialnya.

Fahmi, ketika semua orang tahu dia adalah orang yang kasar dalam berprilaku dan berbicara, namun di satu sisi ia mengutamakan keluarga diatas segalanya, dan menjaga segala hal baik di depan keluarganya.

Fahmi merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menetap di kost-an dekat kampus karena jauhnya jarak antar kampus dari rumahnya. Ia berasal dari keluarga yang baik-baik, terlihat dari pakaian keluarganya dalam sebuah foto yang diunggah Fahmi. Sebuah keluarga muslim yang taat, dengan identitas hijab panjang yang dikenakan oleh Ibunya.

Sella semakin tertarik mengikuti kegiatan Fahmi hingga ke masa-masa SMA-nya. Ternyata Fahmi adalah murid yang pintar semasa SMA. Ia mengikuti akselerasi yang diadakan di sekolah, sehingga ia berhasil menamatkan dua tahun untuk lulus dari sekolah menengah atasnya.

“Ah, dia keren banget sih..” Ujar Sella terpesona membaca status di twitternya.

“Nggak.. nggak. Gue harus bisa hilangin perasaan ini! Tapi, kenapa semakin gue tahu kehidupannya, dia menjadi semakin mengagumkan? Biasanya kalau gue suka sama orang dan kepoin akun-akun nya, ada aja yang bikin gue ilfeel, dan akhirnya berhenti suka. Ini kok malah menjadi-jadi? Aaaakh..”

Sella segera menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Bayangan-bayangan dan tingkah laku yang Fahmi perbuat hari ini, berhasil membuat bibir Sella mengukirkan senyumannya.

Sella mengingat-ingat saat Fahmi selalu duduk di tempat dimana mata mereka sering bertemu satu sama lain, juga saat Fahmi duduk disamping teman Sella yang menghalangi pandangannya ke arah Sella, ia akan mencari celah agar tetap dapat mencuri-curi pandangnya ke arah Sella.

“Mungkinkah ia memimpikan hal yang sama sepertiku juga? Mempunyai perasaan yang aneh sepertiku juga?” Tanya Sella dalam hati.

***

“Ada gitu mimpi kayak gitu? Gue doang kayaknya yang aneh. Sella, lo juga ngapain sih pake muncul di mimpi gue? Ah bisa gila gue lama-lama.” Fahmi menatap layar ponselnya memandangi display picture BBM milik Sella.

“Ngapain gue mikirin dia, kayak dia mikirin gue aja. Back.. back.. back. Jangan kepoin sosmed dia lagi, Fahmi!!! Aaakh..” Fahmi menjauhi ponselnya, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya.

Fahmi meringkuhkan lengan kanannya ke atas untuk menutup matanya. Beberapa kali ia mengganti posisi tidurnya menghadap ke kanan atau kiri, menunjukkan kegelisahan yang sedang ia alami.

***

“Fahmi.. mau kemana lo?” Sapa temannya saat Fahmi mengunci kamar kostnya.

“Kuliah lah, biar sukses.” Jawab Fahmi sekenanya.

“Masih aja kuliah, gak usah lah.. Titip absen aja.”

“Sayang duit bapak gue.. haha.. cabut ah!” Fahmi pergi meninggalkan kostnya. Menuju kampus dengan angkutan umum.

Ponsel Fahmi bergetar. Sebuah pesan BBM grup kelas masuk.

“Ada dosen.” Kata Sella mengabari.

“Hah? Sella lagi.” Ujar Fahmi terkejut membaca nama Sella.

Sesampainya di lorong kampus, Fahmi mengeluarkan sebatang rokok, lalu menyulutkan ke mulutnya.

“Fahmi!” Sapa Indra.

“Gak masuk kelas? Udah ada dosen kan?” Tambahnya.

“Bentar Ndra, ngerokok dulu sini.”

Seorang mahasiswi menyapa Fahmi dan Indra.

“Kok lo gak masuk?” Tanyanya.

“Ngerokok dulu sebentar.” Ujar Fahmi. Mahasiswi tadi pun masuk ke kelas.

***

“Bolehkah aku berharap? Bolehkah aku mulai menyukainya? Bolehkah aku mengingkari ucapanku sendiri? Tuhan, aku semakin tertarik padanya.” Tanya Sella dalam benaknya saat Fahmi masuk ke kelas bersama Indra.

“Tapi mungkinkah aku harus menyimpan perasaan ini sampai tiga tahun kedepan? Sampai kita wisuda, lalu menjalani kehidupan masing-masing, mungkinkah aku sanggup?” Tambahnya.

Mata Sella membulat saat melihat baju yang Fahmi kenakan hari ini mirip seperti yang ada dalam mimpinya. Kaos hitam dengan gambar cahaya matahari tepat di tengah dadanya.

“Matahari itu..” Ujarnya.

***

Fahmi tampak gusar melihat Sella sedang mempresentasikan tugas teori ekonomi. Matanya tak dapat berhenti memperhatikan Sella. Berkali-kali ia kepergok sering mencuri pandang ke arahnya, lalu dengan cepat ia tundukkan pandangannya kebawah.

“Mi, abis pulang kuliah lo mau kemana? Main yuk.” Tanya Yuda memecah lamunan Fahmi.

“Main mulu lo, Da. Belajar bentar lagi UTS.” Jawab Fahmi.

“Ntar aja belajarnya, ajak siapa gitu yang pinter terus ajarin kita.”

“Sella aja, dia kan pinter tuh. Udah gitu baik juga anaknya.” Jelas Fahmi.

“Iya ya.. Boleh lah.”

“Lo yang ajakin dia ye.”

“Lo aja, kan lo yang usulin.”

“Nggak ah ntar gue dicuekin sama dia. Malu kali ngajakin belajar tapi ntar didiemin.”

“Lo sih kurang ramah sama cewek. Gimana mau dapet pacar kalau begitu.” Ujar Yuda sambil cengengesan.

“Songong, lo!”

***

“Itu orang ngapain sih ngeliatin gue mulu. Ah, gak ngerti orang grogi apa?” Gerutu Sella.

“Sekian presentasi dari kelompok kami, bila ada kesalahan mohon dimaafkan, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..” Ujar Tia menutup presentasi.

Sella dan teman-temannya pun kembali ke tempat duduknya masing-masing.
***

“11 Desember 1996?” Ujar Sella terkejut saat membaca tanggal lahir Fahmi.

“Lebih tua gue satu tahun, dong? Yaaah...” Sesalnya.

“Kayaknya emang gak boleh gue suka sama dia. Bismillahirahmanirahim. Semoga perasaan ini cepat hilang.”

Sella menutup matanya lalu mulai tertidur.

***

“Dia pinter banget sih bikin cerita-cerita kayak gini. Ah, manis banget sih lo, Sel..” Ujar Fahmi saat membaca tulisan-tulisan di blog milik Sella.

“Dia kenapa ya diem banget sama gue, bercanda sama orang lain bisa, sama gue kok nggak pernah. Boro-boro ketawa, senyum aja nggak. Gue udah berusaha ngajak ngobrol dia, tetep aja dicuekin.” Fahmi menghela nafas.

***

Kokokan ayam berbunyi menandakan matahari kembali bertugas setelah beristirahat sejenak yang perlahan muncul dari ufuk timur dan siap memberikan awal yang baru kepada dunia.

Fahmi bersiap-siap berangkat menuju kampus, tak sengaja bertemu Deva yang akan berangkat dengan motornya. Ia pun memanggil.

“Va, nebeng dong..”

“Ayo..”

Fahmi dan Deva pergi menuju kampus.

“Lo sekelompok sama siapa Mi, yang tugas Bank dan Lembaga Keuangan?” Tanya Deva.

“Sama genk-annya Dita. Lo sama siapa?”

“Sama Sella, Anggun, Tia, Rifka, Indah, Rizal sama Rendy. Biasa..”

“Oh iya genk Scissors ye? Hahaha..” Ujar Fahmi.

“Kok scissors? Gunting dong? Kenapa?” Tanya Deva yang alisnya bertemu dipangkal hidung karena heran mendengar celetukan Fahmi.

“Iya genk-an lo kan mulutnya pada tajam-tajam kayak gunting, hahaha..” Fahmi tertawa, lalu Deva mengikuti.

“Hahaha.. genk scissors. Ada-ada aja lo!”

“Iya, apa-apa berdelapan mulu.”

“Kebetulan itu, Mi. Enak kalau sekelompok sama Sella, dia paham sama materinya, nyambung aja kalau ngomong sama dia.”

“Masa sih?”

“Iya... Emang lo nggak pernah ngobrol atau berdiskusi gitu sama dia?”

“Boro-boro deh. Sama gue dia cuek banget, Va. Gue ngobrol sama temennya aja nih, boro-boro ikut gabung, ngeliatin aja nggak.”

“Lo pernah ada salah kali sama dia?”

“Lah gue gak pernah ngobrol sama dia kayak gue ngomong ke teman-temannya.”

Deva teringat saat Sella mengatakan bahwa Fahmi adalah sosok yang menyebalkan dan terlihat seperti anak kecil.

“Oh iya, kayaknya dia pernah ngomong sama gue, “lo udah gede tapi gaya nya masih kayak anak kecil” deh.” Deva menjelaskan.

“Hah? Kapan?”

“Waktu itu, dia lebih seneng ngeliat cowok dewasa kayak Riza gitu.”

“Oh..”

Fahmi terlihat sedih mendengar pernyataan Deva. Ia akhirnya mengetahui alasan Sella cuek terhadapnya bahkan ketika ia sudah bersikap baik pada Sella.

Saat bertatap muka dengan Sella, Fahmi lebih memilih cuek lalu melewati Sella tanpa sepatah kata pun. Tak ada senyuman untuk Sella seperti biasa saat mereka bertemu.

***

“Tuh, mana mungkin dia suka sama gue? Ngeliat gue aja kayak gak suka gitu. Iya lah Sel, lo nyadar dong, lo siapa? Liat mantan-mantannya, cantik, putih, langsing, gaul juga. Lah lo? Ah...” Sella meratapi kesedihannya sambil masuk ke kelas.

Deva menyambut Sella dan segera mengisyaratkan untuk duduk disebelahnya. Indah yang mengetahui hal tersebut segera menyindir.

“Sella mulu.. Tadi gue disamping lo diusir-usir. Lo nggak ngerti perasaan gue banget sih, Dev. Kan sedih gue..” Indah menunduk sedih.

“Kan gue mau nanya tugas sama dia. Sini, Sel.”

Sella pun segera duduk bersebelahan dengan Deva.

Deva tak jarang bersandar pada Sella. Membuat teman-temannya sering mengadu ke Indah atas tingkah laku Deva.

“Indah, Indah.. liat tuh Sella centil banget sama Deva.” Ujar Rifka memanasi Indah.

“Mana gue centil? Deva duluan juga..” Tangkis Sella membela diri.

Deva hanya terkekeh melihat teman-teman perempuannya yang mencemburui Sella dengannya.

***

Mata kuliah telah habis dipelajari hari ini. Satu persatu mahasiswa meninggalkan kelas. Fahmi dan teman-temannya keluar dari gedung kampus menuju parkiran motor. Di depannya, Fahmi melihat Sella dan genk-annya juga menuju ke arah parkiran. Fahmi yang tersenyum saat melihat senyuman Sella, tiba-tiba berubah menjadi kesal saat Deva melingkarkan tangannya di bahu Sella. Walaupun Sella menjauh dari Deva, tetap saja membuat Fahmi mengepalkan tangannya.

 “Cieeee... Lama-lama juga jadian lo berdua. Kalah lo Ndah, sama Sella..” Ujar Tia.

“Oh Deva sukanya sama yang montok-montok?” Ujar Rendy.

“Apaan sih lo?” Sella kesal.

“HAHAHAHAHA...”

***

“Sel, Ibu senang kamu hamil, yang penting kamu sudah menikah.” Ujar Ibu sambil mengelus perutku.

“Tapi kan, Bu. Sella masih kuliah.”

“Sel, Fahmi itu orang yang baik. Ibu setuju kamu menikah dengannya. Sekarang kan kamu lagi hamil, kalau kamu mengidam atau ada apa-apa, kamu bilang sama Fahmi kamu butuh apa, yaa..”

“Ibu...”

*Beberapa bulan kemudian, Sella melahirkan. Bayi Sella telah dipindahkan ke ruang bayi, yang letaknya tak jauh dari ruang persalinannya.

“Ibu, anak aku mana?” Tanya Sella pada Ibunya.

“Sedang di adzani sama Fahmi. Selamat ya, sayang..”

Sella mengangguk senang. Air matanya terharu mendengar Ibu mengatakan bahwa Fahmi sedang menga-adzani buah hati mereka. Ia segera menuju ke ruang perawatan bayi. Di depan ruang perawatan bayi, Sella bertemu dengan Fahmi sambil tersenyum.

“Tuh liat, anak kita..” Fahmi menunjuk salah satu bayi yang sedang tertidur.

Saat ingin melihat bayi nya secara dekat............

***

“Mbak... Mbak Sella! Bangun, udah subuh.” Suara Rico adik Sella mengejutkan.

Sella tersenyum lalu mengelus perutnya, dan tersadar, bahwa perutnya sudah rata kembali.

“Ah, mimpi lagi..” Sella mengusap wajahnya.

“Hah? Gue mimpi menikah, dan punya anak? Dan dalam mimpi gue Ibu menyebut nama Fahmi? Itu berarti gue menikah dan punya anak sama Fahmi? Ah.. makin gila gue lama-lama...” Sella mengacak-acak rambutnya sendiri.

***

“Oh, jadi gue harus deket dulu sama teman-temannya, dengan begitu orang yang kita sukai bakal menganggap kalau kita ramah pada teman terdekatnya.. Ehm, gitu.” Ujar Sella saat membaca artikel “Cara mendekati laki-laki yang cuek” di internet.

“Dia dekat sama Indra, terus Agus. Berarti gue harus cari cara biar mereka deket sama gue.. Hahaha..”

“Tapi kan, gue mau jadi wanita muslimah yang taat. Masa mau deketin cowok duluan? Ah, tapi buat sekedar ngobrol aja masa nggak boleh. Seengaknya kita harus normal kan?” Sella menunduk sesal.

***

Sella mulai melancarkan aksinya saat berada didekat Indra dan Agus. Karena Indra memang orang yang mudah berbaur, maka Indra pun dengan sendirinya dekat dengan Sella. Sementara Agus, yang awalnya mengacuhkan Sella, kini mulai mendekati Sella, dan bersikap baik dengannya.

***

Fahmi duduk di balkon kost-annya sambil memainkan gitarnya dengan asal. Memandangi cahaya langit malam yang bertaburan bulan dan bintang, mencoba masuk ke dalam relung keheningan malam lalu menyampaikan pada seseorang yang ia kagumi, bahwa ia mulai menyukai sosok perempuan yang sering mampir ke dalam mimpi-mimpinya. Ingin rasanya ia mengatakan, mengapa dalam mimpi mereka harus dipertemukan dengan hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Bahkan, orang-orang akan tertawa terbahak ketika mendengar lelucon yang memuakkan ini.

“Ya lo aneh-aneh aja sih, masa bisa suka karena mimpi, itu namanya lo terobsesi sama dia, makanya langsung masuk ke alam mimpi. Ditambah lo suka kepoin dia, yaudah makin jadi lah.” Ujar Doni menasehati sahabatnya.

“Tapi mungkin nggak sih, dia itu jawaban atas doa-doa gue? Perempuan solehah yang ramah, baik, cerdas, dan cantik. Ya lo tau selama ini mantan gue gimana, manja lah, yang terlalu gaul lah. Udah saatnya gue cari sosok yang mirip sama nyokap gue..”

“Emang dia cantik? Biasa aja menurut gue..”

“Senyumnya cantik banget, Don. Kalau gue liat dia senyum walaupun bukan senyum buat gue, itu berhasil membuat gue bergetar, apalagi kalau dia senyum buat gue. Duh, gak bisa ngebayangin gue. Sayang dia cuek banget sama gue.”

“Cocok sih sama lo.. cocok deh cocok..” Doni akhirnya mengiyakan tangkisan Fahmi. Fahmi hanya tersenyum.

Mungkin, ini yang dinamakan jawaban atas segala doa. Melalui pertemuan alam bawah sadar, Fahmi dipertemukan oleh perempuan yang jauh dari dugaannya. Perempuan yang menyayangi keluarganya, cerdas, bertutur kata dengan baik, dan sopan ini telah mengguncang hati Fahmi.

“Tapi dia nggak suka sama gue, Don. Dia cuek banget sama gue.. Padahal gue udah berusaha lembut banget kalau ngomong sama dia.”

“Ya ampun songong banget tuh orang..”

“Dia suka sama Deva deh kayaknya.”

“Hah? Deva yang anak kost-an depan ini?”

“Iya..”

“Yaudah cari cewek lain aja lah. Daripada lo nungguin dia sambil ngegalau gini? Cowok tuh bertindak, pantang menunggu!”

***

Ungkapan yang tak tersampaikan. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan hati Fahmi yang hanya menggagumi Sella dari jauh tapi tak pernah berani untuk melakukan pendekatan yang lebih intim lagi. Nyalinya terlalu ciut ketika mengetahui Sella sudah mulai dekat dengan Deva, dan perilaku Deva yang mengagumi sosok Sella.

Deva adalah laki-laki tampan, yang memiliki tingkah laku sopan, cerdas, dan mempesona itu banyak menarik hati perempuan yang ada dikelas. Tak terkecuali Indah dan Rifka, yang berusaha merebut hati Deva. Sayang, karena perbedaan rumah ibadah, menjadi penghalang untuk mereka mendekati Deva ke arah yang lebih serius.

“Jadi lo nggak suka sama Deva, Sel?” Tanya Indah.

“Nggak, Indah. Gue nggak mau memulai-mulai sama yang nggak pasti. Ibadah gue aja belum bener, mau yang nggak-nggak..”

“Oh, gue kira lo naksir sama Deva.. Status lo itu bukan buat Deva?” Indah semakin menegaskan pertanyaannya agar segera dijawab Sella.

“Bukan, Indah..”

“Oalah, gue pikir buat Deva..”

Sella tersenyum melihat temannya itu bernafas lega.
***

“Cobalah kau dengar, walau tanpa kata..”
Fahmi membaca status BBM Sella, lalu tanpa sadar menggantikan display picture dengan animasi kartun lucu yang menyampaikan pesan “I Love You”.

“Ah, kayak buat gue aja statusnya..” Fahmi tersenyum getir.

Dan beberapa status romantis Sella lain yang ia tuliskan pada akun sosialnya membuat Fahmi berpikir bahwa Sella sedang menyukai seseorang yang bukan dirinya. Hal itu membuatnya pergi melupakan Sella dan mencoba berpaling kepada hati yang lain.

***

“Iya, makasih ya udah nerima aku jadi pacarmu.” Balas mention Fahmi kepada seseorang perempuan dalam akun @gesyamaharani.

***

Matahari masih bersemangat bekerja menerangi bumi, tak pernah sekalipun ia berharap akan terbalas pengorbanannya selama ini. Ia memberi begitu banyak kehidupan, dan tanpa pernah meminta imbalan yang setimpal atas usaha yang ia lakukan sampai Tuhan mengatakan berhenti.

Matahari merupakan tata surya yang paling dekat dengan bumi, namun jauh dari pandangan dunia. Ia hanya mampu mengagumi keindahan bumi dari jauh tanpa berani mendekati karena takut akan melukai dan menghancurkan seisi bumi. Ia bahkan ikhlas ketika seisi bumi tak bersikap adil padanya.

***
“Tuh kan, mana mungkin dia suka sama gue, terus apa maksudnya dia suka lirik-lirik gue..” Tanpa terasa air mata Sella jatuh dari pelipis matanya, ia begitu sedih membaca balasan tweet Fahmi pada perempuan yang baru ia dapatkan hatinya.

“Mana ada orang jatuh cinta berasal dari mimpi, gue doang emang yang aneh..” Tambahnya sambil terisak.

***

Hari-hari pun berlalu, tak terasa Ujian Tengah Semester tiba, Fahmi makin mengagumi Sella kala Sella bersedia datang ke kampus di hari libur untuk mengajarkan beberapa materi kepada teman-temannya.

“Semoga lo dapat laki-laki terbaik yang bisa membahagiakan lo, Sella.. Gue nggak pantes sama lo. Gue cuma cowok brengsek seperti yang orang-orang bilang tentang gue.” Ujar Fahmi dalam hati penuh sesal.

Sella sadar bahwa Fahmi tengah memperhatikannya, Ia menahan air matanya yang hampir keluar dari tempat persembunyiannya.

“Sampai lo menemukan perempuan soleha yang baik, izinkan gue tetap menyimpan rasa pada lo ya, Mr. Sun! Gue nggak bisa mengakhiri perasaan ini, karena gue nggak pernah memulainya.” Sella menghela nafas agar air matanya tertahan.

“Mr. Sun!” Bolehkah aku memanggil namamu seperti itu? Bagiku, kau adalah Tuan Matahari yang mampu menerangi kembali hatiku yang sudah lama tenggelam dalam kegelapan malam.

***
         
   “Ya Allah, jika Fahmi adalah laki-laki yang Engkau kirimkan untuk aku, maka dekatkanlah kami, persatukanlah kami. Jadikan ia laki-laki yang baik budi pekertinya, dan jadikanlah ia imam yang baik untuk aku. Namun, jika Fahmi bukan untukku, maka berikanlah perempuan sholeha yang baik padanya, yang sayang padanya, dan berikan juga padaku laki-laki sholeh yang menyayangiku sepenuh hati.” Ujar Sella dalam doanya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang akhirnya keluar dengan deras.

***
6 bulan kemudian.

Tak ada yang spesial selama ini, Sella tetap menyukai Fahmi dari kejauhan, walaupun dengan tangisan saat ia mengetahui Fahmi sering berganti-ganti pasangan. Sella tetap mendoakan yang terbaik untuk Fahmi, sampai Fahmi menemukan perempuan yang terbaik untuknya. Sella tetap ingin menunggu datangnya keajaiban dari mimpi yang Tuhan berikan padanya, walau tanpa pernah berharap Fahmi akan menyambut harapan dan doanya.

 Fahmi pun tetap menyukai Sella meskipun ia mencoba mencocokan hati dengan perempuan yang lain. Sudah tiga perempuan yang mengisi hatinya selama ini. Namun Sella tetap ada dipikirannya. Ia masih berharap Sella membuka sedikit hatinya. Fahmi masih bersikap baik pada Sella, bahkan kini ia lebih berani memandangi Sella dan melakukan interaksi fisik dengan Sella, seperti mengajaknya tos.

“Eh, Va. Adain malam keakraban kelas, yuk?” Kata Rizal pada Deva.

“Ayo, ajakin aja anak-anaknya..”

“Mau kemana? Puncak atau pulau?”

“Yang deket aja dulu.. Puncak.”

“Yaudah nanti kita omongin, ya. Sel, lo ikut nggak kalau makrab ke puncak?” Tanya Deva saat Sella tengah serius membaca materi untuk UTS statistika.

“Hah? Iya Inshaa Allah gue ikut.” Sella kembali fokus pada bacaannya. Lalu fokusnya hilang kembali mendengar ada laki-laki memanggil namanya.

“Eh, Dion, itu Sella. Mana sini gelangnya.” Ujar Fahmi memanggil Dion yang baru datang. Dion pun mengeluarkan beberapa gelang buatan masa kini, lalu memberikan kepada Sella.

“Ini Sel, buat lo.” Ujar Dion memberikan.

“Buat gue? Emang kenapa?” Sella terheran melihat kedua temannya itu tersenyum senang.

“Semalem gue bikin gelang ini sama Fahmi buat lo!”

“Oh, gitu.. Wah bagus gelangnya, makasih yaa..”

“Cobain dulu, kesempitan nggak?” Ujar Dion meledek.

“Ih, kegedean malah. Tuh liat!” Sella menunjukkan bahwa gelang yang diberikan Dion terlalu besar di tangan kirinya.

“Dikecilin aja, bisa kok.”

Sella mulai mengakali gelang tersebut agar pas ditangannya. Beberapa kali ia terlihat kesulitan, lalu dengan gentle –nya, Fahmi yang semula berdiri segera duduk didepan Sella dan memakaikan gelang untuk Sella sambil mencocokan ukuran yang pas untuknya. Sella terkejut bukan main, matanya seketika membulat menerima perlakuan Fahmi.

“Segini cukup nggak? Atau masih kegedean?” Tanya Fahmi.

“Hah? Ehm, masih kegedean, Mi.” Ujar Sella gelagapan.
       
     Fahmi mengeluarkan gelang dari tangan Sella, lalu memotongnya dengan gunting yang ia keluarkan dari tasnya. Sella tersenyum melihat tingkah Fahmi. Dan setelah memotong sedikit, ia memasangkan gelang kembali ke tangan Sella.

            “Segini?”

            “Dikit lagi, nih segini aja.” Sella menjelaskan.

            Tanpa sadar, perlakuan Fahmi menjadi pusat perhatian Indra yang memperhatikan sahabatnya sejak tadi.

“Woy, nggak usah pake pegangan tangan segala kali!!” Suara Indra yang besar, cukup membuat teman-teman yang ada di depan koridor kelas memperhatikan apa yang dilakukan oleh Fahmi pada Sella.

Anggun, Tia, Rifka, dan Indah pun tersenyum meledek ke arah Sella. Sella menunduk malu. Fahmi segera membuka gelang dari tangan Sella, mengikat gelang agar lebih pas dan memberikan gelang tersebut pada Sella, lalu pergi ke arah Indra.

Wajah malu Sella tak dapat ia sembunyikan. Ia begitu bahagia mendapat perlakuan tadi dihadapan teman-temannya. Satu hal yang Sella lupakan adalah, Terima kasih! Sebuah ungkapan terima kasih karena telah membuatkan gelang yang indah dan memakaikannya langsung pada Sella.

***

You’re my bright blue sky,

You’re the SUN in my eyes,

Baby you’re my life,

You’re the reason why....

Lagu Christina Perry feat. Ed Sheeran terdengar riang ditelinga Sella saat ia melihat Fahmi dikolam renang pada acara makrab di puncak sore hari.

Fahmi beberapa kali melemparkan senyum pada Sella ketika teman-teman Sella menyuruh Sella untuk turun ke dalam kolam air yang sejuk. Sella hanya menggeleng untuk menjawab ajakan teman-temannya.

Suara adzan maghrib menghentikan aktivitas mereka sejenak untuk beribadah. Tak terkecuali Sella, yang juga melakukan sholat maghrib bersama Tia, Indah dan Rifka dikamarnya. Selesai sholat, Sella membantu teman-temannya yang sedang membuat teh manis hangat untuk menemani malam di suasana puncak yang dingin.

Sella mencari-cari sosok Fahmi, ia edarkan pandangannya ke segala penjuru sisi vila. Tak Sella temukan batang hidung Fahmi. Sella menghela nafas, mungkin ia sedang merokok didekat taman bersama Indra, pikir Sella.

Namun, saat Sella masuk ke kamarnya untuk mengambil alat masak yang ia bawa didalam tas, ia terkejut mendapati Fahmi sedang mengaji didalam kamarnya setelah melakukan sholat maghrib. Sella mengurungkan niatnya, lalu kembali ke dapur.

Betapa senang hatinya melihat tindakan Fahmi. Sella semakin terkagum mendengar suara Fahmi sampai ke dapur yang bersebelahan dengan kamarnya. Lamunan Sella terpecahkan saat Agus memanggil Sella.

“Sel, mending adain makrab terus deh. Gila, anak-anak pada rajin sholat begini. Biasanya nggak pernah loh.” Jelas Agus.

“Ya bagus dong, Gus.” Jawab Sella.

“Bagus sih, tapi jadi aneh aja gitu.”

***

Malam pun tiba. Acara malam keakraban kelas dilanjutkan dengan makan bersama. Hidangan ayam, sosis, bakso, dan otak-otak bakar pun telah selesai dibakar. Semua makan bersama dengan baik, diselingi obrolan-obrolan ringan.

Selesai makan, Sella merapikan piring-piring yang telah digunakan. Dan lagi, Fahmi dengan gentle –nya datang membantu Sella merapikan piring-piring.

“Eh, ini mau dicuci, Mi..” Ujar Sella memisahkan mana yang harus dicuci dan dibuang.

“Udah selesai nih.” Fahmi menyelesaikan pekerjaannya.

“Oke, mau gue kasih ke Putri, biar dicuci.” Sella meninggalkan Fahmi yang masih merapikan sampah, tanpa mengucapkan terima kasih.

Fahmi hanya menghela nafas melihat sikap dingin Sella padanya.
***
Acara makrab pun selesai. Semua orang telah kembali ke rumah masing-masing untuk menikmati liburan yang masih tersisa beberapa hari lagi. Senyuman akhir yang Fahmi berikan pada Sella, Sella sambut dengan hangat.

“Biarlah kita tetap seperti ini, dan aku akan terus memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar segera mempersatukan kita. Karena aku yakin, seperti kita mengayuhkan sepeda yang membawa kita sampai ke tempat akhir, maka seringnya menyebutmu dalam doa ku akan membawa kita sampai ke tempat tujuan, tempat yang sudah Tuhan tuliskan untuk kita di masa depan.”

***

Matahari, sinarmu begitu memancar sangat indah. Dan seluruh mahluk dibumi ini pun mengakuinya. Keindahanmu terus terpancar tanpa henti, seakan meyakinkan banyak mahluk bahwa kau tidak akan berkhianat dan akan terus menyinari bumi.

Kau bukan matahari yang menyakiti bumi dengan sinarmu yang dapat melukaiku, kau datang memberikan kehangatan dan kedamaian untukku. Dan saat kau memelukku, aku yakin kau mempunyai hati yang besar untuk menyukaiku.

Aku bukanlah bumi yang indah untuk membalas cintamu. Aku juga bukan pelangi yang mampu menghapus tetesan air matamu yang jatuh ke dasar bumi. Aku hanyalah penghuni bumi yang sering menyakiti perasaanmu dengan tindakanku yang acuh terhadapmu.

Kelak, seandainya kau telah menemukan tambahan hati, aku mohon.. tetaplah bersikap adil menyinari bumi, walaupun bumi terus menyakitimu. 

Dan, terima kasih! Satu kata yang sulit aku ucapkan kepadamu selama ini. Terima kasih karena telah meminjamkan cahayamu sejenak untuk menerangiku, dengan cahayamu itu, kini aku lebih siap membuka mata melihat keindahan dunia yang selama ini aku simpan dengan rapat.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar