Jumat, 29 Januari 2016

Cerpen - BIG, IT IS NOT ALWAYS PAIN


            Aku tahu kok, aku gak cantik secantik perempuan yang lain. Aku juga bukan perempuan hits yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Aku hanya anak rumahan yang suka mengagumi ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
      
      Namaku Rahma Gladys Niatra. Aku berumur 16 tahun, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Hari-hariku, aku isi dengan penuh keceriaan. Bagiku, tak mau aku melewatkan hari yang indah hanya untuk merenung diam tanpa melakukan sesuatu.

Aku cukup di segani banyak temanku. Mereka bilang aku ramah, baik, dan bijaksana. Banyak teman yang menganggapku sebagai teman curhat mereka dalam pemecahan masalahnya. Aku memang senang membantu dan memecahkan jalan keluar jika ada suatu masalah. Bagiku, itu mudah. Masalah dapat di selesaikan dengan hati yang dingin dan melalui nalar logika.

            Banyak kesan dan pesan yang ku dapat dari berbagai masalah dari teman-teman. Aku menyukai itu. Masalah sedikit demi sedikit terpecahkan asal mereka percaya bahwa setiap masalah pasti akan ada solusinya. Ya. Aku suka menasihati mereka, tapi tidak dengan diriku sendiri.

            Aku selalu hebat memberikan nasihat dan petuah sederhana kepada teman-temanku, namun belum ada yang bisa memberikan nasihat yang pas untukku. Aku sering bercermin, melihat bayangan yang ada didepanku. Sering terpikir, apakah aku tidak mampu menjadi seorang kekasih untuk orang lain? Apakah aku hanya sebatas teman curhat mereka yang aku sukai?

Tapi, walaupun aku tidak berfisik sempurna seperti orang kebanyakan, aku percaya diri dengan tubuhku yang lebih dari temanku yang lain. Aku tak pernah minder ataupun malu dengan ini. Menurutku, semua ini adalah ciptaan Tuhan yang harus kita syukuri. Lingkungan pula yang membuatku semangat dan semakin percaya diri dengan tidak memandang besar itu buruk. Aku hanya perlu menemukan sosok pangeran yang menerimaku apa adanya.

Di usia ku yang menginjak dewasa, rasa ingin mengetahui cinta pun aku alami. Aku mulai menyukai lawan jenis. Aku mulai menyukai sosok laki-laki yang baik agamanya, cerdas dan setia. Tapi di jaman sekarang ini, jarang sekali orang yang seperti itu, apalagi dengan postur tubuhku begini. Kebanyakan cowok sekarang lebih memilih wanita yang cantik. Itu juga yang ku tahu dari teman cowokku yang curhat kepadaku.

            Aku menyukai teman kelasku. Ia Ferry. Aku memang dekat dengannya. Tak heran teman-teman bahkan guru-guru pun menganggap kami berpacaran. Sebenarnya aku berharap demikian. Tapi, sudahlah.. hanya mimpi di siang bolong jika aku bersamanya. Ia keren, pintar, kreatif dan sangat ramah. Entah sudah berapa episode kami saling menceritakan kisah kami. Aku senang dapat mengenalnya lebih dekat.

“Ma, gue mau cerita nih. Gue naksir si Dian. Kira-kira kapan ya waktu yang tepat buat ungkapin perasaan gue?” Tanya Ferry yang tiba-tiba berbicara saat kami tengah duduk berdua ditaman sambil mendengarkan lagu di headset. Aku menghembuskan nafas. Mencoba bersabar dengan apa yang kudengar. Pertanyaannya membuatku tak bersemangat untuk menjawab. Beberapa detik kemudian akhirnya aku berbicara, aku tak mau membuat ia menunggu lama atas jawabanku.

 “Ya, terserah lo aja. Liat kondisinya aja dulu. Kalau tepat, nyatakan.” Ujarku dengan datar.

“Tapi, kalau dia nolak gue gimana?”  Tanyanya.

Pertanyaannya membuatku gusar.

“Hanya orang bodoh yang nolak segala kesempurnaan lo, Fer..” Kataku dalam hati.

“Nggak. Percaya sama gue! Dian pasti suka juga sama lo..”

“Serius, Ma?” Ferry menatap mataku untuk memastikan. Aku balas dengan anggukan.

“Ah syukurlah, kalau lo yang ngomong, gue jadi yakin.”

 Aku segera berlalu meninggalkannya.

***
          
  Hari semakin gelap, menandakan malam segera menghampiri. Aku yang sedang mengerjakan PR dikejutkan oleh kakakku dari belakang.

“Hayoo.. ngerjain PR sambil ngelamun. Kenapa lo ?” Tanya Kak Radit sambil menepuk bahuku.

“Gak apa-apa kok, Kak.” Balasku.

“Lo cewek banget ya kayaknya? Kalau cewek ditanya pasti gitu, nggak apa-apa. Ih..”

“Ya emang aku nggak kenapa-kenapa.”

“Pasti lagi galau. Cie, adek gue bisa galau. Biasanya jadi Mario Tegar.” Ejeknya.

“Ih. Apaan sih kak? Siapa yang galau. Aku lagi happy juga. Nih......” Kataku sambil menunjukan senyum paksaan.

“Ah, terpaksa tuh senyumnya. Gue tau dek, lo lagi galau, si Ferry abis nembak Dian kan?” Tanyanya membuatku kaget.

”Kok kakak tau Ferry sama Dian jadian?”

“Tau lah, mata-mata gue kan banyak. Udah gak usah di pikirin. Sekolah dulu yang bener, jangan pacaran dulu.” Katanya menasehatiku.

“Ehhmm, bisa banget kak, bilang aku gak boleh pacaran. Lah kakak? Pacarnya aja udah banyak banget.” Kataku membalikan.

“Gue kan udah gede. Ya enggak apa-apa lah.” Jawabnya.

“Gede apaan? Kakak kan kelas 3 SMA, beda 1 tahun doang kelasnya sama aku.”

“Yaa, kan waktu SD lo ikut aksel, dek. Kebalap setahun gue. Udah belajar lagi sana, jangan galau mulu. Ikhlaskan.”

“Ah, punya kakak nggak ada bikin semangatnya.”

“Emang lo mau banget pacaran? Ehm.. Terserah deh kalo lo mau pacaran. Tapi.. emang lo punya pacar dek? Temen deket aja gak ada, ada tapi udah jadian sama orang lain.”ejeknya sambil tertawa kecil.

“Ah.. Kan.. Mulai lagi. Mama.. Kak Radit tuh...” Ujar ku sambil berteriak.

“Sana ah pergi..” Aku mendorong Kak Radit yang masih tertawa geli.

Kata-katanya barusan membuatku semakin terpuruk sedih.

“Kenapa lo dek? Ngambek? Ya elah, gue becanda kok.” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku masih terdiam. Dengan lekukan bibir kebawah.

“Udah, gak usah di pikirin, gue cuma becanda. Udah lanjutin belajarnya biar pinter.” Katanya sambil meninggalkan kamarku.

Kata-katanya benar membuatku down. Entah apa maksudnya. Tapi, kusadari memang beginilah keadaanku.

***
            Aku bukan tipe orang yang terlalu larut dalam kesedihan dan renungan. Aku pun telah melupakan kata-kata Kak Raditya semalam. Sesampai di sekolah, aku bersikap seperti biasanya tanpa ada rasa sedih ketika tahu bahwa Ferry berpacaran dengan Dian. Aku mulai terbiasa dengan hal itu. Bagiku, untuk apa aku menangisi orang yang tak memikirkan perasaanku. Toh, itu hanya membuatku terganggu.


“Rahmaa..” Panggil seseorang dari belakang. Aku pun menoleh. 

“Eh, Tyas. Kenapa Yas?”

“Ngga, apa-apa cuma mau bareng aja. Hehe..”

 “Oh, ya udah yuk..” Ketika aku dan Tyas sedang menuju kelas. Seorang cowok tampan dengan motor Ninja merah-nya turun dari motor.

“Yas, kak Renaldi keren ya?” Tanyaku pada Tyas sambil tersenyum-senyum.

“Iya bener, Ma.. Tapi gue heran, kenapa ya dia sampai saat ini masih jomblo? Padahal banyak lho yang naksir sama dia. Termasuk lo..” Balasnya.

Selain Ferry, aku mengagumi kakak kelasku yang satu ini. Namanya Kak Renaldi. Ia pemain basket di sekolahku, pengajar ekskul musik, dan aktif dalam kegiatan agama pula. Aku pun tak pernah melewati pertandingan-pertandingan basketnya. Aku benar-benar mengaguminya. Aku rasa dia tahu perasaanku padanya. Karena aku sering memperhatikannya, dan teman-temanku pun sering mengejekku bila dia ada.

“Cie.. Rahma. Ada kak Renaldi tuh..” ejek Fira.

“Fira. Jangan mulai deh.” Balasku. Aku pun sambil meliriknya. Ternyata, dia tersenyum akibat ejekkan itu. Aku pun hanya bisa membalas senyum padanya.

Hubungan aku dan kak Renaldi semakin dekat karena kegiatan-kegiatan ekskul kami yang sama. Perasaanku terhadap Ferry sudah bukan sekedar suka melainkan sudah memahami bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Ferry yang mengetahui hal ini, segera menyetujui comblangan teman-teman yang lain.

Dan rasa yang ada di hatiku pun semakin menjadi-jadi. Aku semakin mencintai Kak Renaldi. Aku merasa bahwa kak Renaldi pun mempunyai rasa yang sama padaku, karena perhatiannya padaku selama ini.

***

“Rahma..” Panggil kak Renaldi padaku.

            “Kenapa kak?” Jawabku.

“Ehm, aku gak tau mau bilang apa sama kamu. Tapi ini bener-bener murni perasaan aku. Aku sayang banget sama kamu. Aku juga cinta sama kamu. Ya.. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku gak peduli, aku juga yakin kamu suka sama aku. Makanya itu, kamu mau gak jadi pacar aku?” Tanyanya.

Sebuah ucapan kejutan itu membuatku lemas, namun aku sangat bahagia. Ucapan itu tak pernah terbesit sedikit pun olehku. Dengan mataku yang masih membulat terkejut, dan mulut yang tiba-tiba terkunci rapat, Kak Renaldi memanggilku.

“Rahma..”

“Eh, si Rahma.. di tanya malah diem. Gimana Rahma? Aku di terima gak sama kamu?” Pintanya sedikit merayu.

“Ehm.. gimana ya, kak..” jawabku dengan gugup.

“Kenapa Ma? Gak di terima ya? Aku nggak pantes ya buat kamu?”

“Ehm, bukan bukan.. aku..aku.. aku sebenarnya suka juga sama kakak, tapi aku malu..” Aku menundukan pandanganku. Tak berani aku menatapnya.

“Malu? Malu kenapa?”

“Kakak gak malu punya pacar kayak aku?” Tanyaku ragu-ragu yang akhirnya tersampaikan.

Renaldi terdiam. Lalu tersenyum.

“Rahma.. aku menyayangi kamu bukan dari fisik atau yang lain, tapi aku menyayangi kamu dari hatimu. Kamu mampu membuat orang di sekitarmu tersenyum, termasuk aku. Gak usahlah kamu pikirin omongan orang lain nanti. Yang ngejalanin kan kita berdua. Yang merasakan, cuma kita berdua, Ma.”

Aku terdiam.

“Kakak yakin?”

“Ya! Sangat yakin. Aku yakin hubungan kita ini pasti sangat spesial.”

“Oke.” Ujarku.

“Serius? Yeeeeeee.... terima kasih Rahma.. Aku janji bakal yang berarti untuk kamu.” Katanya kegirangan.

Hari itu menjadi hari jadian aku dan Kak Renaldi. Aku sungguh merasakan kebahagiaan yang belum aku rasakan sebelumnya. Akhirnya, tepisan-tepisan bahwa besar adalah buruk seolah menghilang sedikit demi sedikit karena Kak Renaldi menggenggam tanganku dengan erat seolah membalas ejekan-ejekan selama ini.
***

Aku sedang berbaring dikamar sambil mengingat-ingat kejadian tadi siang. Tak pernah aku sangka, aku akan menjadi perempuan yang sangat beruntung. Tiba-tiba pintu kamarku terketuk.

“Masuk..” Kataku. Aku segera duduk menyambut kedatangan seseorang dari luar kamarku.

“Lo lagi ngapain?” Tanya kak Radit.

“Lagi happy..”

“Maksudnya?”

“Kakak belum tau aku jadian sama Kak Renaldy?”

“Hah? Lo jadian sama Renaldi? Katanya terkejut.

“Iya kak, emang kenapa?”

“Gak apa-apa sih.. lo suka sama Renaldi?

“Banget kak! malah cinta.”

“Tapi, gue gak yakin dia punya perasaan yang sama kayak lo, Ma..”

“Kenapa ngomong gitu sih, Kak? Kakak gak suka aku jadian sama Renaldi? Mentang-mentang aku gak punya pacar, sekalinya punya pacar kakak giniin aku..”

“Dek, gue gak maksud kayak gitu. ”

“Alah, boong. Kenapa sih Kak, kakak pacaran apa aku pernah ganggu? Nggak kan? Apa karena Kak Renaldi pacar pertama aku, kakak jadi semaunya. Aku udah dewasa Kak, aku juga berhak menentukan siapa yang bisa aku jadikan kekasih. Gak usah lah Kakak ikut-ikutan.”

“Rahma, kok lo ngomong gitu sih? Gue kakak lo, dan Aldi itu teman gue, wajar gue lebih tau tentang dia. Gue ngerti dia pacar pertama lo, tapi lo juga jangan terlalu berharap berlebihan.”

“Iya aku juga tau posisi aku!” Ujarku dengan nada membentak.

“Terserah deh, Ma.. gue cuma kasih tau, lo bakal nyesel nanti..” bentaknya sambil membanting pintu kamarku.
***

Hari-hariku pun terasa indah bersama Kak Renaldi, pulang antar jemput sekolah selalu dilakukannya. Tak ada kesan mencurigakan seperti yang Kak Radit katakan padaku. Hingga hubungan kami pun menginjak 4 bulan. Aku semakin yakin akan kehadirannya di hidupku, entah mengapa ia kini menyayangiku lebih dari yang dulu.

***
            Saat bel pulang sekolah tiba, aku telah janjian bahwa akan pulang bersama dengan Renaldi menggunakan motorku karena motornya di bengkel. Ketika aku menuju ke kelasnya di lantai dua, tak sengaja aku mendengar percakapan teman-teman Kak Renaldi. Di tempat itu kira-kira ada lima orang siswa.

“Eh  si Aldi, kok masih betah yah sama si balon tiup itu?” Kata salah seorang siswa.

“Tau tuh, taruhannya kan udah berakhir dari dua bulan yang lalu. Apa jangan-jangan si Renaldi suka beneran sama si Rahma?” Sahut teman yang lain.

“Kok mau sih Aldy?”

“Eh, tapi si Rahma manis kok, pinter juga lagi.”

“Ah, itu mah lo aja yang naksir”

“Terus, masalah taruhan gimana tuh? Eh, Zal. Lo udah lunasin taruhannya kan.”

“Sampai berapa bulan sih? Dua bulan doang kan?”

“Iya lah.. perjanjian dia jadian sama si Rahma kan cuma dua bulan, kalo udah empat bulan gini gue gak tanggung jawablah.”

“Yoiii....”

Hatiku bagai tersayat pedang panas mendengar ucapan mereka. Aku hanya menangis mendengar apa yang mereka nyatakan barusan. Aku segera berlari menuju parkiran motor, lalu aku pulang. Hari itu bagaikan hari yang menyesakkan dalam hidupku. Di perjalanan pulang aku berusaha menahan tangis. Sesampai di rumah aku segera berlari menuju kamarku. Aku meluapkan kesedihanku saat itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengapa Kak Renaldi tega menjadikanku bahan taruhan dengan teman-temannya?

Tiba-tiba tanda bunyi pesan masuk pun terdengar dari tasku. Aku segera meraih tasku dan melihat siapa pengirim pesan tersebut lalu membacanya. Ternyata dari Kak Renaldi.

“Rahma.. kamu dimana? Aku nyariin kamu. Kok motor kamu di parkiran udah gak ada? Jangan bilang kamu udah pulang..”

Aku tak membalas pesannya. Aku kembali menangis... ku dengar ketukan pintu dari luar kamarku. Aku segera bangun dan membukakan pintu. Kak Radit sudah ada di depan pintu.

“Rahma... nonton yuk. Film kesukaan kita udah tayang nih..”

“Nggak ah. Aku lagi males kak..” Kataku tanpa menatap mata Kak Radit. Kak Radit menyadarinya, segera ia hadapkan wajahku ke arahnya.

“Ntar dulu, kenapa mata lo? Abis nangis?”

“Gak apa-apa..”

“Cerita gak!” Katanya sedikit memaksa.

Kami duduk di tepi tempat ranjangku. Aku menceritakan semuanya pada Kak Radit tentang apa yang ku alami barusan. Wajah Kak Radit berubah seperti harimau yang akan memuntahkan amarahnya.
“Lo gak percaya sama gue kan, Ma?”

“Kan gue udah bilang. dia itu gak bener.. Lo tunggu sini, gue mau samperin dia.” Bergegas pergi.
Kak Radit entah kemana aku tak tahu, aku lebih memilih istirahat dan tertidur pulas.

***

Kak Radit menuju rumah Kak Renaldi. Setelah memarkirkan motornya di depan rumah Kak Renaldi, Kak Radit segera mengetuk pintu rumah Kak Renaldi. Kak Renaldi pun keluar dari rumahnya.

“Eh, Radit.. tumben kesini ada apa?”

“Jangan banyak bacot lo.” Kak Radit memukul Renaldi.

“Apa-apaan ini?”

“Apa-apaan? Hah? Pura-pura bego lo? Lo jadiin adek gue bahan taruhan kan! Sialan lo. Emang dari awal gue udah gak percaya waktu lo jadian sama adek gue, lo sama bejatnya waktu lo putusin Della seenak jidat lo!”

“Tapi, gue beneran gak ngerti”

“Ikut gue, lo..”

Kak  Radit dan Renaldi pun menuju ke rumahku. Sesampai di rumahku, Kak Radit membangunkanku, dan menyuruhku menemui serta membiarkan aku berbicara dengan Kak Renaldi di halaman belakang. Aku pun bersiap-siap, dan mengusap mataku agar tak terlihat seperti habis menangis. Aku pun menemui Kak Renaldi.

“Rahma..” Sapanya.

“Kamu kenapa? Habis nangis?" Katanya memandangku.

“Nggak! Kak, lebih baik hubungan kita, kita cukupkan sampai disini aja..”

“Lho kenapa?” Tanyanya heran.

“Kenapa? Kakak masih nanya kenapa? Kakak jadian sama aku karena taruhan uang sama temen-temen Kakak kan? Hebat banget sih, Kak..” Kataku sambil menahan tangis.

“Rahma.. mungkin memang sudah waktunya aku harus mengatakan hal yang sebenarnya sama kamu.”

“Bagus, kalo gitu apa yang mau kakak bilang? Kakak mau bilang Kakak bahagia dapet uang itu? Banyak ya Kak uangnya? Terus abis ini aku mau dikemanain? Diputusin? Ditinggal? Atau digantung?” Kataku dengan ketus.

“Bukan gitu, Ma.. Jujur, awalnya aku memang memperalat kamu sebagai bahan taruhan aku dan teman-teman. Tapi...” ucapannya terpotong.

“Tapi apa Kak? Apa? Aku malu, Kak. Aku malu tau itu semua.. Aku tau aku nggak secantik perempuan yang lain, tapi apa iya harus aku yang jadi bahan leluconan kalian? Aku juga manusia kak, aku juga perempuan.” aku mulai menangis.

“Rahma..” Kak Renaldi berusaha menenangkan aku dengan mengusap bahuku, lalu segera aku tepis.

“Aku pikir Kakak baik, kakak nggak menganggap kelebihan berat badan aku ini suatu masalah, tapi kayaknya aku salah. Kakak sama aja..”

“Rahma..”

“Udah deh, Kak. Aku nggak mau dengar apapun lagi... Aku...........”

“RAHMA! RAHMA DENGAR AKU DULU..!”

Kak Renaldi mengoyak bahuku agar aku mendengarkan ucapannya, seketika aku berhenti berbicara dan mendengarkannya.

“Aku nggak berniat untuk membuatmu sakit hati, kamu tahu hubungan  kita sudah annive yang ke empat bulan, kamu pasti tahu pertaruhan itu hanya kita menginjak hubungan ke dua bulan kan?”

Aku terdiam.

“RAHMA, JAWAB AKU!”

“Iya..”

“Apa itu artinya? Artinya aku sungguh mencintai kamu, aku punya perasaan yang lebih sama kamu. Kalau aku nggak cinta sama kamu, aku akan menyuruh kamu untuk melakukan hal yang nggak kamu suka, seperti berhenti ngemil, makan, iya kan? Coba, apa selama ini aku pernah melarang kamu untuk berhenti mengunyah saat kita jalan berdua? Apa aku pernah menyuruhku kamu untuk diet? Nggak kan, Ma?”

Aku terdiam mendengar penuturan Kak Renaldi yang dapat aku benarkan.

“Dan.. Aku gak pernah menggunakan uang itu sepeser pun, aku pun mulai mencintaimu ketika masa taruhan itu akan berakhir. Makanya aku putuskan agar lebih lama, karena aku mulai mencintaimu.”

“Asal kamu tahu Rahma, aku tak peduli dengan apa yang orang katakan tentang hubungan kita yang berawal dari sebuah taruhan. Aku justru bangga, selain aku mendapat uang taruhan itu, aku juga mendapat cinta kamu. Tapi sejujurnya, aku gak berniat untuk mempermainkan kamu.. Sungguh.” tambahnya.

Aku menatap matanya yang mulai berair.

“Kenapa harus dengan cara ini sih, Kak? Itu sama aja Kakak mempermalukan aku di hadapan teman-teman Kakak. Kenapa Kakak terima taruhan itu?

“Aku menerima taruhan karena aku bingung, kamu tahu setelah akuputus dengan Della? Saat itu aku seakan mati berpisah dengannya, Della menghancurkan hubungan kami dengan perselingkuhannya, lantas aku pun menjadi serba salah. Lalu aku putuskan dia, setelah kami putus, untuk menghilangkan rasa cintaku pada Della, aku menyetujui saran teman-teman untuk mencari penggantinya, dengan taruhan itu, justru aku mendapatkan kebahagiaan secara istimewa, aku menemukanmu lebih dari segalanya, itulah alasanku untuk mempertahankan hubungan kita, Ma..”

Aku terdiam. Kini tangannya menggenggam erat tanganku.

“Rahma, percayalah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kita selalu bersama untuk hari ini, esok dan selamanya.. Jangan ada ragu untuk kisah kita, Ma. Hubungan ini hanya kita yang menjalani, bukan mereka.”
“Tapi, ini bukan bagian taruhan lagi kan, Kak?”

“Nggak..! Sama sekali nggak. Kamu mau maafin aku? Aku janji nggak akan ada hal ini lagi. So?”
Aku masih terdiam.

“Rahma.. So?”

 Aku mengangguk tersenyum.

“Terima kasih lagi Rahma, aku sangat menyayangi kamu.. Nggak akan ada kata taruhan lagi. Dan jangan ungkit masalah ini lagi, Oke! Udah gak usah nangis, jelek ah .. ” mengusap air mataku dengan tangannya.

“Oh iya, uang taruhannya belum aku balikin. Tapi gak usah ya, buat tabungan kita menikah nanti.” Tambahnya.

Kak Renaldi mencium keningku, lalu memelukku dengan erat. Kami pun kembali bersama. Aku berjanji tak akan mengkhianatinya seperti Della yang dulu menduakannya. Setidaknya aku harus berterima kasih pada teman-teman Kak Renaldi, karena berkat saran mereka. Kami dapat menjalin sebuah kisah yang aku impikan sejak dulu.

Mungkin  pada akhirnya, aku dapat membuktikan, bahwa besar tidaklah buruk. Menjadi besar membuat kita semakin membuka mata untuk tidak berkecil hati, menjadi besar juga seharusnya bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak pernah salah memberikan cinta, justru menjadi besar akan mengetahui siapa mereka yang siap hadir disampingmu ketika kamu berduka, dan siapa yang hadir mencintaimu dengan sepenuh hati tanpa membuat si besar melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai.

Karena Tuhan tidak pernah salah menciptakan mahluk, dan tidak pernah salah memberikan garis hidup pada semua ciptaannya, sebab di balik itu semua, Tuhan telah mempersiapkan kejutan indah walau harus menunggu seolah seribu tahun lamanya.


*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar