MY LOVELY COUSIN
“Aku ngerti Fan, aku tahu. Jadi kamu gak usah ngejelasin lagi. Intinya, kamu selingkuh kan?” Fadli membuka suaranya
setelah sekian lama terdiam. Lawan
bicaranya kini hanya bisa menyedekapkan tangannya didada sambil menghela
nafas.
“Aku harus ngomong apa sih lagi, Dli? Aku gak selingkuh sama
siapapun. Apa sih yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?” Fanny mulai kesal dengan sikap kekasihnya yang mulai berpikir tidak
rasional. Ia
memang dekat dengan banyak teman laki-laki dikampusnya. Namun ia tak menyangka
kekasih satu-satunya itu menganggapnya berselingkuh dengan banyak pria.
“Kamu gak harus ngelakuin apapun kok! Hanya satu aja, kamu jujur. Toh
aku gak akan marah, Fan.” Fadli masih
bersikeras dengan argumennya, ia juga tak suka melihat Fanny dekat dengan
banyak teman yang lebih dominan laki-laki itu.
Fanny menoleh tajam ke arah Fadli.
“Aku udah jujur, Dli. Gibran itu sahabat aku!” Nada suara Fanny mulai terdengar keras.
“Ck! Aku gak mau ngomong lagi sama kamu, sebelum kamu jujur sama aku.
Karena gak ada sahabat yang saling mencium!” Kata Fadli keras. Fanny menunduk lemas.
“Hai, Fan!” seorang cowok tinggi dengan kulit putih melambai ke arah Fanny, ia datang menghampiridan
menyapa sambil mencium pipi kanan dan kiri Fanny. Kini Fadli yang harus menghembuskan nafas dan membuangnya keras-keras
karena tak suka melihat kekasihnya disambar tiba-tiba oleh pria yang tak ia
kenal.
“Siapa lagi, sih Fan? Kamu se-famous itu ya sampai banyak orang yang
mudah mendekati kamu?” Fadli beranjak dari duduknya
meninggalkan Fanny yang masih
ternganga menerima perlakuan barusan.
“Fadli!” Teriak Fanny sambil menatap kesal pada laki-laki yang baru
datang itu. Seketika, tangan cowok itu meraih tangan
Fanny.
“Dia kenapa
sih? Aneh!”
Katanya lalu duduk bersandar di samping
Fanny.
“Jelas dia
terlihat aneh, gimana gak aneh ngeliat pacarnya di sambar cipika-cipiki sama cowok keren
kayak lo!”
Fanny menggerutu sambil mengusap
wajahnya.
“Gue keren? Ah, benar. Tapi kenapa
gue masih jomblo juga ya, Fan?”
“Lo tanya sama
nenek lo, kenapa lo masih jomblo!” Fanny pergi meninggalkan cowok di sampingnya.
“Fan.. Fan... Nenek gue kan nenek lo
juga! Fan..”
Berusaha mengejar Fanny.
***
Tiba-tiba ponsel Fanny berdering. Ia merogoh ponsel di saku
celananya.
“Halo, Ma..”
“Fan, gimana Mas-mu udah dikampus?” Tanya Mamanya Fanny.
“Udah, Ma. Dan Mama tau gak,
aku hampir aja putus sama Fadli, gara-gara Mas Aldian cipika-cipiki sama aku.
Ngapain sih dia ke kampus aku?”
“Dia mau
jemput kamu katanya. Sudah lah, kasian kan jauh-jauh dari Yogya, cuma demi jemput kamu.”
“Iya sih. Tapi
caranya itu lho, kan bisa bikin orang salah paham, Ma.”
“Kamu jelasin
aja sama Fadli, kalo dia sepupu kamu
yang baru datang dari Yogya..”
“Iya.. Iya..”
“Yaudah ya Fan.
Dah..” Ibu Fanny mengakhiri pembicaraan.
“Fan! Ayo.” Aldian menghampiri Fanny
dengan motor merahnya.
“Cowok gue
ntar marah lagi, Mas.”
“Udah biarin, biar sama-sama
jomblo kita. Ayo..”
Fanny segera naik ke motor Aldian dengan pasrah. Bagaimana pun juga ia tak bisa
acuh terhadap sepupu yang baru datang dari Yogyakarta ini.
“Makan dulu
ya. Gue kangen bakso deket sekolah lo.” Aldian segera mengarahkan motornya ke tempat
bakso yang dimaksudnya.
***
Fanny dan Aldian sudah berada ditempat bakso langganan
Aldian sebelum ia memutuskan untuk kuliah di kota pelajar, Yogyakarta. Fanny pun sedikit tak
menyangka bahwa kakak sepupunya akan datang ke kampusnya dan hampir membuat
Fadli, kekasihnya mengakhiri hubungan mereka.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta tak membuatnya
berubah dari yang sebelumnya. Memiliki
tubuh yang tegap dengan wajah yang tampan, ditambah penampilannya
yang stylish membuat banyak wanita
ingin menjadi pujaan hatinya. Sayang,
tak ada satupuny yang berhasil memikat hatinya.
Aldian masih seperti dua tahun lalu yang selalu
mengganggu hubungan Fanny dengan pacar-pacarnya terdahulu. Motto Aldian adalah
"HIDUP JOMBLO SAMPAI SUKSES" yang masih lekat terngiang di otak kanan Fanny.
“Lo ngapain ke
Jakarta, Mas? Gak bilang-bilang lagi!” Fanny membuka percakapan.
“Gue mau magang disini, di kantor bokap
lo.” Jawab Aldian.
“Jauh banget.
Emang di Yogya kehabisan lahan magang?”
“Ya.. Enggak.
Gue juga kangen sama keluarga lo, udah lama nggak datang kesini. Dan.. Gue juga kangen sama nyokap gue.”
Fanny terdiam mendengar pernyataan Mas Aldian yang
umurnya 1 tahun lebih tua darinya.
“Oh. Terus kapan lo mau kesana? Apa mau gue
anterin?”
Ajak Fanny ragu-ragu.
“Boleh. Kalo
bisa hari ini kita kesana, gue udah kangen banget.
Emang anak durhaka
gue, dua
tahun baru bisa nengok nyokap.” Katanya sedikit bergurau.
“Ya.. Nyokap
lo juga pasti ngerti, lo sibuk disana. Yang penting kan, sekarang lo bakal
dateng kesana.”
“Iya sih.
Berarti kita ke toko bunga sama air mawar dulu ya?”
“Biasanya di
tempat pemakaman ada yang jualan kok.”
***
Fanny dan Aldian datang ke pemakaman Ibu Aldian yang
meninggal pada dua tahun lalu sebelum Aldian memutuskan kuliah di Yogyakarta.
Ibu Aldian yang sakit karena Kanker Rahim yang dideritanya, membuat Aldian
harus mengikhlaskan kepergian Ibunya yang genap berusia 50 tahun.
Air mata Aldian tumpah saat mengenang hidupnya dulu
bersama Ibunda tercinta yang terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Fanny dengan baik, mengusap punggung Kakak Sepupunya memberi support agar
selalu tabah mengikhlaskan kepergian Ibunya yang sudah tenang berada di sisi
Sang Pencipta.
***
“Kamu tidur di
kamar tamu ya, Di.” Kata Papanya Fanny saat makan malam.
“Gak di kamar
Fanny aja, Om?
Dulu kan sering tidur sama Fanny, Putri dan Meli, Om.”
“Itu waktu gue
masih kelas 4 dan lo, Mbak Putri dan Mbak Meli kelas 5 SD, ya Mas. Enak aja!” Fanny terlihat jutek menanggapi pernyataan
Aldian. Yang di jutekin malah terkekeh di balik tundukannya.
“Aldi, Aldi.. Oh iya, bagaimana dengan kakakmu di Yogya?" Tanya Papa Fanny.
“Baik kok, Om. Oh iya, disini Aldi cuma 3
bulan kok, Oom. Sampe masa magang aja.” Jawab Aldian.
“Langsung pulang kalo udah selesai. Jangan
lama-lama disini. Rusuh.” Sahut Fanny.
“Lo kenapa sih, Fan? Sensi banget sama
gue.” Jawab Aldi. Fanny menjulurkan lidahnya meledek.
***
Keesokan harinya. Fanny datang ke
kampus di antar oleh Aldian. Setibanya di kampus, Fanny segera mencari Fadli.
Namun, tak ia temukan batang hidung kekasihnya. Ia juga sempat bertanya pada
teman-temannya, dimana sosok kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya
selama satu tahun terakhir.
“FADLI!” Seru Fanny senang, karena
mendapati Fadli baru keluar dari perpustakaan. Ia pun menghampiri dan
menggandeng tangan Fadli seperti biasanya. Fadli hanya diam tanpa merespon
Fanny.
“Fadli.. Kok cuek sih?”
“Apa lagi sih, Fan?”
“Masih marah?”
“Siapa yang gak marah lihat pacarnya
di cium sama orang lain? Aku aja gak pernah boleh nyium kamu.”
“Oke. Aku jelasin sekali lagi ya.
Gibran nggak nyium aku, dia niup mata aku waktu aku kemasukan debu. Kamu bisa
tanya sama seisi di dunia ini.”
“Dan kemarin?” Tanya Fadli. Fanny
berpikir sejenak, sebenarnya ia suka melihat kekasihnya ini cemburu, namun
lama-lama tak juga ia mengerjainya.
“Kemarin.. dia itu sepupu aku, baru
datang dari Yogya. Mau magang di kantor
bokap, namanya Mas Aldian. Udah dong, nggak usah marah lagi..” Fanny
menggelayut manja.
“Kamu centil sih. Makanya semua orang
bisa deketin kamu semaunya mereka.”
“Janji deh, nggak diulangi.”
“Sungguh?”
Fanny mengangguk.
“Ayo ah..”
***
“Mas.. Ajarin dong. Susah nih
tugasnya..” Fanny melongokan kepalanya dari balik pintu. Didapatinya Aldi
sedang mengetik di laptopnya dengan banyak file dimeja belajarnya.
“Udah gede juga, masih aja
nanya-nanya.” Jawab Aldi santai.
“Mas..” Fanny masuk dan duduk di tepi
ranjang kamar tamu, yang kini menjadi ranjang sementara Aldian.
“Apa?”
“Kenapa sih, lo gak punya pacar? Lo
kan cakep, Mas. Pasti di kampus lo, banyak yang mau sama lo.”
“Gue gak butuh siapa-siapa, Fan. Gue
mau fokus dulu sama kuliah gue.”
“Emang kalo pacaran, ganggu kuliah ya?”
“Emangnya lo, taunya cuma pacaran,
ngoleksi mantan mulu.”
“Siapa bilang? Ih gue udah nggak gitu
lagi tau! Makanya, lo jangan ganggu hubungan gue sama yang ini, gue udah mau
setahun sama dia.” Ujar Fanny bangga.
“Masa?”
“Beneran! Terus, kalau tipe cewek yang
lo suka kayak apa, Mas?”
“Ehm...” Aldian seketika menghentikan
aktifitasnya, sambil terpikir pertanyaan dari Fanny.
“Lama lo mikirnya, Mas.”
“Ehm.. pokoknya.. gue suka sama cewek
yang gak banyak nuntut, terus baik, murah senyum, gak aneh-aneh, dan pintar
memasak.”
“Ehm.. standar ya?”
Aldi mengangguk.
“Temen gue banyak tuh, Mas. Mau gue
kenalin gak?”
“Seksi nggak?” Jawabnya, sambil
melanjutkan aktifitasnya.
“HAH?” Fanny terkejut.
“Kalau nggak seksi nggak mau ah.”
“Kenapa?” Tanya Fanny penasaran.
“FANNY..... Ada Fadli di bawah, Nak..”
Teriak Mamanya dari lantai satu.
“Ish.. ngapain sih malem-malem
kesini?” Gerutu Fanny.
“Kenapa? Dia kan cowok lo?”
“Gue banyak tugas, Mas. Gue kebawah
dulu ya..” Fanny pergi.
***
Di kantor tempat Aldi Magang. Aldi
mulai melihat kenyataan antara teori yang selama ini di pelajari di kampusnya,
dengan kegiatan yang ia lakukan hari ini. Tak jauh berbeda memang, sehingga
Aldi yang memang pandai, mudah menyesuaikan diri dan banyak membantu
menyelesaikan tugas dengan baik.
“Permisi..” Sapa seorang wanita cantik
berkemeja abu-abu dan di tunjang dengan sepatu wedges merah. Aldi pun menoleh
ke arahnya.
“Iya, ada apa ya?”
“Kamu anak magang ya? Bisa minta
tolong gak?”
“Oh.. bisa.. bisa.. ada apa ya, Bu?”
Jawab Aldi terpana.
“Ini.. tolong lengkapin persyaratan
perekrutan karyawan baru ya.. Kamu ke ruangan Pak Bahri untuk membantunya. Saya
ada meeting 5 menit lagi. Tolong ya.. bisa kan?” Pintanya.
“Oh.. Bisa, Bu..”
“Makasih ya.. AL-DI-AN..” Katanya
mengeja nama Aldian di name tagnya.
“Iya, Bu MI-RAN-TI.. woow..” Kata Aldi
tersenyum sambil membaca nama wanita cantik di name tag, tepat di dada kirinya.
“Saya permisi ya..” Ibu Miranti pergi
meninggalkan Aldian.
“Iya, Bu.. Waw.. Cantik.. Dadanya
juga.. Haha..”
***
“APA? LO SUKA SAMA KARYAWANNYA PAPA??”
Kata Fanny terkejut ketika Aldi membisikan sesuatu pada Fanny.
“Ssst... Ssst... Berisik banget sih
lo!” Aldi membekap mulut Fanny. Lalu melepaskannya.
“Lo gila?”
“Ya emangnya kenapa? Dia cantik. Dan
yang pastinya...”
“Dadanya.. Sst.. sst.. udah.. udah..
Gue gak mau dengar! Omes banget sih lo, Mas.. Emang lo gak bisa nilai orang
dari yang lain, apa? Kenapa harus dari..... ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ya memangnya kenapa? Gue suka. Wajar
dong, gue cowok.” Katanya sambil merebahkan tangannya di bahu Fanny.
“Pokoknya gue gak suka ya kalau lo
naksir sama karyawan Papa yang sok seksi itu.. cari yang lain lah, Mas..”
“Siapa? Lo?”
“Hah?” Fanny terperanjat kaget.
“Nggak mungkin, kan?”
Fanny menghela napas.
***
Aldian menuruni anak tangga lalu
menghampiri meja makan untuk makan malam bersama keluarga Fanny.
“Malam Om.. Tante..” Sapanya.
“Tumben lo nyapa?” Sahut Fanny.
“Yah... emangnya gak boleh nyapa? Oh
iya Om, ada pegawai minta saya lengkapi data karyawan yang baru. Terus katanya
kalau udah selesai, suruh di taro di meja kerjanya. Tapi saya gak tau meja
kerjanya, Om. Gimana ya?” Tanya Aldi sambil menyendok nasi.
“Ehm.. memang siapa yang minta
tolong?” Jawab Oom Indra.
“Bu Miranti..”
“Ehg.. Kamu letakkan saja di meja kerja saya.
Karena semua langsung saya lihat.”
“Oh gitu..”
“Kenapa lo, Mas? Kesempatan mau ketemu
Bu Miranti lagi, ya? Gak usah genit gitu deh, dia gak bakal suka sama lo!”
Sindir Fanny.
“Uhuk.. uhuk..” Indra tersedak.
“Minum dulu, Pa.. Papa sih makannya
buru-buru.” Lidya memberikan segelas air.
“Kenapa, Om?” Tanya Aldi menyelidik.
“Fanny. Kamu ini ada-ada aja.. Sudah
lanjutkan lagi makannya.” Tambah Lidya.
“Dia kan naksir sama Bu Miranti, Ma..
Katanya Mas Aldi sih, Bu Miranti itu.. AWWW....” Fanny menjerit kesakitan. Kaki
kirinya ditendang sengaja oleh Aldian.
“Kenapa, Fan?” Tanya Aldian sambil
melototkan matanya. Fanny memanyunkan bibirnya yang manis.
***
“Kenapa sih Mas harus Ibu-ibu?”
“Ibu-ibu apa? Dia masih muda. Eh.. lo
yang bilang gue harus punya cewek. Ya dia pilihan gue.” Jawabnya santai. Aldi
duduk di tepi ranjangnya.
“Pokoknya, besok lo liat aja. Gue
pasti bisa menaklukan Ibu Miranti yang cantik.. haha.” Ujar Aldi yakin.
Fanny menoleh. Ia tak percaya kakak
sepupunya masih bersikeras mempertahankan pendiriannya. Fanny menghampiri Aldi.
“Mas, tapi lo bisa cari yang seumuran
sama.... Awww...” Fanny menubruk Aldi. Fanny menatap Aldi. Tubuh Aldi tertindih
Fanny.
“Oke.. gue mau cari yang seumuran.
Tapi.. sama lo..” Aldi mengerlingkan matanya.
“Ma..Maksudnya?” Fanny terbata-bata.
“Gue suka sama lo, bahkan dari dulu. Waktu
kecil, kita sering kan tiban-tibanan kayak gini? Saat beranjak SMA, dan kita
udah gak boleh tidur bareng, gue sadar.. Ternyata, gue suka sama lo.”
“Mas.. lo becanda, kan?”
“Nggak.. Dan gue yakin, lo juga suka kan
sama gue?”
“Ah, mana mungkin, lo tau darimana?”
“Buktinya, lo gak mau bangun dari
tubuh gue?”
“Ehm?” Fanny tersadar, Ia segera
bangkit dari tubuhnya Aldi, dan Fanny terlihat salah tingkah.
“Jadi?”
“Ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan
kepalanya, sambil menutup wajahnya lalu pergi keluar dari kamar Aldi. Aldi
tertawa bahagia.
***
Keesokan harinya. Selesai mengantar
Fanny ke kampusnya, Aldi melaju ke kantor tempatnya melaksanakan tugas Praktek.
Dilihatnya dari jauh, 5 detik lagi lampu hijau akan berakhir, ia segera
melajukan motornya dengan cepat.
“Ah sial..” Katanya kesal karena lampu
hijau telah berubah menjadi merah.
Para pengendara lain pun ikut menunggu
berakhirnya lampu merah agar bisa melanjutkan perjalanan mereka. Tak sabar
menunggu, Aldi melihat-lihat sekitar. Seketika ia menajamkan penglihatannya, ia
cukup terkejut melihat Indra satu mobil dengan sosok yang ia kenal. Ibu
Miranti. Ya. Ia yakin, wanita cantik yang mengenakan blus oranye itu pasti Ibu
Miranti, pegawai yang seksi nan cantik satu mobil dengan Indra. Astaga.
Lampu merah berubah kembali menjadi
kuning lalu hijau. Mobil Indra segera melaju. Aldi pun mengikutinya dibelakang.
***
“Kita teruskan minggu depan.” Dosen
mengakhiri materi kuliah. Semua mahasiswa pun berhamburan keluar kelas.
“Fan.. kita jadi nonton kan?” Tanya
Fadli.
“Ehm.. Jadi.. ayo..”
***
“Permisi..” Aldi memasuki ruang kerja
Indra. Tak ia temukan sosok Om-nya
disana. Ia pun segera meletakkan berkas-berkas di atas meja kerja Indra.
“Pantes, kemarin gue bahas Bu Miranti
dia langsung keselek. Dasar bandot!” Aldi mengintip Indra sedang berbincang
dengan Miranti.
“Iya. Tapi saya gak mungkin nikahin
kamu. Kamu tahu, aku punya anak yang sudah dewasa. Bagaimana perasaannya nanti,
kalau Papa yang dia sayang, menikah lagi. Lagi pula, bagaimana dengan istriku?”
“Mas.. Kamu tuh harusnya berpikir,
bagaimana nasib aku selanjutnya. Apa aku harus jadi selingkuhanmu sepanjang
hidupku? Aku juga ingin bahagia, Mas..”
Aldi benar-benar membulatkan matanya
mendengar percakapan Indra dengan perempuan yang lagi-lagi ia tebak pasti
Miranti. Ia tak menyangka, Om yang menjadi panutannya, tega mengkhianati Tanta
Lidya dan Fanny. Aldi pun segera keluar dari ruangan Indra.
***
“Kita mau nonton apa?” Tanya Fadli.
“Terserah kamu deh..” Fanny sibuk
dengan handphonenya. Ia menunggu balasan pesan dari Aldian untuk mengingatkan
bahwa Aldian tidak boleh berbuat yang macam-macam pada pegawai Papanya.
“Mas Aldian kok gak bales, sih?” Keluhnya dalam hati.
“Fan.. Ayo..”
Fanny mengangguk. Fadli dan Fannya pun
masuk ke teater 3 dan menuju kursi di tengah.
***
“Aduh....” Miranti tiba-tiba
tersandung, Aldi yang berada di dekatnya segera menopang tubuh Miranti.
“Ibu gak apa-apa?”
“Nggak.. Makasih ya..” Miranti duduk
di kursi kantin.
“Ibu kenapa? Kok.. wajahnya sedih?”
Aldi mengikuti Miranti.
“Nggak.. Mungkin saya lagi kecapekan
aja.”
“Oh.. Mau saya pijitin?”
“Boleh.. Emang kamu bisa mijit?”
“Bisa..”
Aldi bersiap-siap mengambil posisi
untuk memijit Miranti. Miranti sendiri sibuk dengan handphonenya. Aldi
mengangkat ibu jari ke arah temannya agar bersiap memotret dirinya.
“Ibuuuu...” Mulut Aldi sedikit di
monyongkan, terlihat seperti mencium Miranti.
“Kenapa, Di?” Miranti menoleh ke arah
Aldi.
“Ckrek!” Foto pun terjepret.
***
“Filmnya kocak ya, Fan. Aku suka waktu
cowoknya beraksi, eh.. ternyata mau nyium ceweknya.”
“Ehm.. Iya..” Jawab Fanny sekenanya.
“Fan... Kita udah pacaran berapa lama,
sih?”
“Kenapa emang?” Fanny masih fokus
dengan handphonenya.
“Kamu tahu aku sayang banget sama
kamu, Fan.. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat mempertahankan hubungan.
Setelah kita wisuda, dan bekerja. Aku janji, aku akan melamar kamu, Fan..”
Fanny menoleh ke arah Fadli. Ia takjub
dengan ucapan Fadli. Ia tak menyangka kini ia memang sudah dewasa, ia tak
pernah berpikir untuk bosan ataupun mencari pengganti Fadli. Ia hanya ingin memastikan
bahwa Fadli lah yang akan menjadi masa depannya.
“Kamu mau kan, Fan?” Tanya Fadli
memastikan.
Perlahan tapi pasti, Fadli mendekatkan
dirinya ke arah Fanny. Fanny terpaku melihat apa yang akan dilakukan Fadli dihadapannya.
Dikecupnya bibir Fanny sekejap.
“Aku sayang banget sama kamu, Fanny..”
Fanny menunduk salah tingkah. Baginya
ini adalah pertama kalinya ia dicium oleh seorang laki-laki. Fadli membuat
perasaannya berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Perasaannya memang gembira,
namun dirinya gelisah.
Suara ringtone pesan di handphonenya
Fanny seketika mencairkan suasana yang mulai tegang saat itu. Fanny segera
membacanya.
From: Mas Aldi
Kalo lo liat, pasti lo kaget....
“Apaan sih.. nih orang.”
Sebuah gambar pun dilihatnya. Betapa
terkejutnya Fanny, mendapati Aldi mencium seorang wanita. Mulut Fanny ternganga
tak percaya.
“Siapa, Fan?” Tanya Fadli yang
ikut-ikutan panik melihat kepanikan Fanny.
“Pulang.. Pulang.. Dli..”
“Kamu kenapa sih?”
“Ayo cepat pulang...”
Fadli pun segera melajukan mobilnya.
***
“MAS... MAS ALDI” Fanny berteriak.
“Ada apa sih, Fanny? Kamu kok
teriak-teriak gitu?” Tanya Lidya.
“Mama.. Mas Aldi mana?”
“Belum pulang, Fan.. Kenapa sih?”
“Ah...” Fanny pergi.
“FANNY.. Kamu mau kemana lagi?” Tanya
Mamanya.
Fanny mengeluarkan handphonenya dan
segera menghubungi Aldi.
“Halo.. lo dimana, Mas?”
“Kenapa sih? Marah-marah gitu?”
Jawabnya santai.
“Dimana cepetan!”
“Gue di pasar malam. Yang di Jalan
Kenari. Kenapa emang?”
“Tut.. tut.. tut..” Sambungan telepon
terputus.
***
“FANNY....!” Teriak Aldi, saat melihat
adik sepupunya baru datang. Yang di panggil pun menoleh. Fanny segera
menghampiri Aldi di depan wahana kincir.
“MAS... LO NGAPAIN SIH PAKE...”
Ucapannya terpotong. Aldi segera menariknya ke dalam kincir.
“OKE BANG, PUTER!!” Teriak Aldi.
“Mas.. Ngapain naik ginian sih?”
“Daripada gue naik sendirian, atau..
gue di temenin Bu Miranti?” Ledek Aldi.
“Ih.. Gue gak tau deh harus ngomong
apa sama lo! Kok lo suka sih sama dia? Dia kan... Janda..” Fanny menunduk.
“Emang kenapa? Lo yang bilang, kalo
gue harus punya cewek.”
“Tapi gak dia juga!”
“Makanya lo harus jadi pacar gue!”
Fanny tertunduk malu. Sebenarnya
perasaannya mulai hadir semenjak Aldi datang ke rumahnya, bahkan jauh sebelum
itu. Dua tahun sebelum Ibunya meninggal, Fanny dan keluarganya sering menjenguk
Ibunya Aldi yang sakit. Beberapa kali, Fanny melirik ke arah Aldi, namun Aldi
terlihat cuek, bahkan tak mempedulikan dirinya.
Kincir pun mulai di putar. Aldi
berdiri saat kincir di putar.
“Lo ngapain sih? Gak seimbang ini.
Ntar kalo jatuh, gue syukurin lho!” Ujar Fanny kesal.
“Coba deh. Enak loh..” Aldi duduk, dan
mencoba membantu Fanny mengikutinya.
“Jatuh gak nih?”
“Nggak!”
Fanny berusaha berdiri mengikuti Aldi.
Fanny merasakan sesuatu yang berbeda, mencoba menyeimbangkan diri di kabin
kincir, dan diputar.
“GREEEK...!” Kincir terhenti. Fanny
dan Aldi terjebak di paling atas. Fanny jatuh terduduk di pangkuan Aldi. Aldi
memandangi Fanny sangat dalam, begitu pun Fanny. Matanya yang berbinar, seolah
mengharapkan lebih dari sekedar tatapan Aldi.
“Fan... Gue suka sama lo. Perasaan gue
bukan sekedar sepupu, gue ingin lebih dari itu.”
Fanny tak bisa menjawab pertanyaannya.
Di perasaannya kini hanya ada Fadli. Namun, ia tak bisa menolak hadirnya
perasaan lain untuk sepupunya itu.
“Gak bisa, Mas. Gue itu sepupu lo.
Sampai kapanpun kenyataan itu gak bisa diubah.”
“Banyak yang sepupuan, tapi pacaran
bahkan menikah, Fan. Kenapa harus takut?”
“Kalau lo nekat, kita di hujam sama
semua orang, Mas. Sama orangtua gue, bokap lo, dan seluruh keluarga yang lain.
Kita bisa dipecat dari keluarga.”
“Gue gak peduli. Bertahun-tahun gue
tahan perasaan ini, sampai akhirnya gue memutuskan untuk jujur sama lo. Dan
sekarang lo nolak gue, rasanya sakit, Fan!”
“Lebih sakit mana, kalau kita putus
karena gak direstuin keluarga? Lo itu anak dari kakaknya nyokap gue, Mas! Lo
harus sadarin hal itu!”
“Percuma gue datang jauh-jauh magang
kesini. Padahal tujuan gue untuk ungkapin perasaan ini. Tapi, lo gak punya rasa
buat gue.” Aldi menunduk.
Fanny bingung menghadapi dirinya saat
ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Fanny memberanikan dirinya
merangkul pundak Aldi dan memeluk Aldi.
“Maafin gue, mas.” Ujarnya
dalam hati.
***
Semenjak kejadian tadi malam, Aldi dan
Fanny tidak bertegur sapa. Keduanya tampak malu dan enggan berkomentar.
“Om.. Saya.. Ingin mengakhiri magang
disini.”
Pernyataan Aldi yang tiba-tiba,
membuat semua orang menatap penuh tanya.
“Kenapa, Aldi?” Tanya Indra.
“Saya... Naksir sama pegawai Om,
namanya Bu Miranti. Dia selalu bikin saya jantungan, Om. Saya gak kuat di tatap
sama Bu Miranti.”
“APA??” Tanya Indra terkejut.
“Apa maksud kamu?” Tambahnya.
“Saya mencoba mendekati Bu Miranti,
tapi dia menolak saya, Om. Padahal, awalnya saya pikir Bu Miranti suka sama
saya. Ternyata dia suka sama orang lain.”
“Bu Miranti itu siapa, Di?” Tanya
Lidya.
“Sekretarisnya Om Indra, Tante..”
“Sekretarisnya? Sejak kapan Papa punya
sekretaris perempuan, Pa?”
“Ehg.. Baru-baru ini, Ma..” Jawab
Indra tergagap.
“Om.. Bisa bantu saya gak, untuk
mendapatkan Bu Miranti? Saya pusing Om buat deketin Bu Miranti, susah banget..”
“Memang usianya berapa tahun, Di?”
Tanya Lidya.
“NGGAK!” Indra menggebrak meja makan.
“Kamu gak boleh mendekati Miranti. Miranti itu sudah berusia 28 tahun. Mau jadi
apa kamu mendekatinya?”
“Om.. Dalam hukum maupun agama, kan
gak ada yang melarang kita mencintai orang yag lebih tua kan? Menurut saya
sah-sah saja.”
“TIDAK!” Bentak Indra.
“Kenapa, Om? Alasannya apa?”
“Dia sudah mempunyai anak! Bagaimana
bisa kamu membesarkannya? Sedangkan kamu saja belum lulus kuliah!”
“Pa.. Menurut Mama, gak ada salahnya.
Lagi pula Aldi kan hanya minta didekati, kenapa Papa yang marah-marah?”
“Tidak! Sampai kapanpun, Miranti tidak
boleh dinikahi siapapun!”
“Kenapa, Om? Apa Om yang mau menikahi
Ibu Miranti?”
Semua orang di meja makan menoleh ke
arah Aldi. Termasuk Fanny.
“Maksud lo apa, Mas?” Tanya Fanny
terkejut.
“Nggak.. gue cuma ngira aja. Abis Om
posesif banget sih. Masa gue mau deketin Bu Mira gak boleh..” Katanya sambil
meneguk minumnya.
“Sudah Di.. Jangan memperkeruh suasana
saat makan. Ayo lanjutkan makan! Sudah Pa.. Jangan emosi.” Ujar Lidya.
***
“Fan.. Helmnya..”
Fanny membuka helmnya, lalu memberikan
kepada Aldi.
“Mas, gue......”
“Kriing.. kring..” Ponsel Aldi
berdering.
“Halo.. Bu Miranti..”
Fanny menghela napas. Mungkin tadi
malam hanya bualan Aldi semata. Aldi lebih memilih Ibu Miranti dibanding
dirinya. Fanny segera berlari meninggalkan Aldi.
“Iya Bu, sama-sama. Ya.. saya pikir
memang itulah cara yang terbaik. Daripada Ibu hanya menunggu yang belum pasti.
Kapan Ibu take-off? Oh.. gitu. Oke..”
Aldi mengakhiri teleponnya. Dia tersenyum lega.
***
“Aku harus menikahi Miranti. Apapun
tanggapan Lidya dan Fanny, aku tidak peduli. Miranti harus menjadi istri
keduaku sebelum orang lain melamarnya! Termasuk Aldi!” Indra menuju ruangannya,
mencari Miranti.
***
“Fan..” Aldi mendekati Fanny saat
Fanny di dapur.
“Nggak, Mas.. Nggak! Lo pikir gue
cewek apaan? Lo udah tau gue sepupu lo, lo malah bilang suka sama gue, terus
kalau nanti kita pacaran, gak di restuin, lo ninggalin gue seenak jidat lo.
Belum pacaran aja, lo bimbang, mau milih gue atau Bu Miranti yang seksinya
ngalahin artis-artis baru. Mau lo apa, sih?”
“FANNY...” Teriak temannya dari ruang
tamu.
“Gue eneg ngeliat lo!” Fanny menyikut
Aldi lalu pergi menemui temannya.
“Gue kan mau jelasin. Gue mau balik ke
Yogya. Kenapa dia marah-marah?”
***
“Miranti mana? Apa dia belum datang,
hari ini?” Tanya Indra pada karyawannya.
“Nggak tau, Pak.. Biasanya, pagi-pagi
sudah datang.”
“Pak.. Pak.. Bu Miranti, nitip ini ke
saya.” Pegawai lain menyodorkan surat. Dengan cepat, Indra membuka surat itu
lalu membacanya.
“APA? RESIGN? NGGAK BISA!” Indra
meninggalkan karyawannya yang keheranan.
***
“Aduh.. Fanny.. Fanny.. Kenapa sih gue
jadi sepupu lo? Kenapa lo harus jadi anaknya Tante Lidya? Dan kenapa Tante
Lidya harus jadi adik Nyokap gue? Aaah.....” Aldi menggaruk kepalanya.
“Ini semua gara-gara Nenek sama Kakek
gue nih. Kenapa harus lahirin Nyokap gue sebagai kakaknya Tante Lidya? Berat
banget gue ninggalin Fanny disini.”
--Ponsel Aldi berdering--
From:
Fanny
Jemput
gue kalau emang kita mau jadian. SEKARANG!!!!!!
“Hah?
Fanny ngajakin jadian? Serius nih? Harus cepet-cepet nih. Suratnya? Ck! Bodo
ah.. Gak jadi ke Yogya deh..” Aldi meninggalkan surat yang ia tulis untuk Fanny
di mejanya.
***
“CIIIIT..... BRUUUUUUUKKK! BRUUUK! BRUUUK...!”
Tabrakan beruntun itu tak dapat
menghentikan siapapun. Lima mobil dan dua belas motor pun hancur seketika,
Fanny meratapi kemalangannya hari ini. Dua orang yang ia sayang kembali kepada
Tuhan, Sang Pencipta. Fanny menyesali semuanya. Beribu tetes air matanya tak
dapat mengembalikan sosok yang pernah ia cintai untuk kembali ke dunia ini.
Fanny hanya bisa melihat Mamanya tergolek lemas tak berdaya menyaksikan orang
yang telah menjadi suaminya ikut meninggal dalam kejadiaan naas tersebut. Fanny
dan Mamanya benar-benar harus mengikhlaskan Aldi dan Papanya.
***
“Non.. Bibi temukan ini di kamarnya
Mas Aldi..” Bibi menyodorkan surat kepada Fanny. Fanny segera membuka dan
membacanya.
Buat: Fanny. Adik Sepupuku tersayang..
Dari: Mas-Mu yang paling guanteng
sejagad raya.
Fanny.. Gue tau hubungan kita gak
layak dipersatukan. Hubungan kita bakal jadi dosa yang mungkin gak di ampunin
sama Tuhan. Gue emang suka, bahkan gue cinta sama lo. Tapi setelah gue
pikir-pikir, gue lebih suka sama Bu Miranti. Bukan dari seksinya kok. Tapi dari
hatinya. Gue berniat pulang ke Yogya dan nyari tempat magang lagi disana. Gue
dan Bu Miranti memutuskan untuk menjalin hubungan.
Fan.. Gue tau, gue bodoh banget.
Tapi gue akan lebih bodoh lagi kalau membiarkan bokap lo jadiin Bu Miranti
istri yang kedua. Bokap lo berniat melamar Bu Miranti. Tapi.. Gue cegah dengan
rayuan maut gue, dan dia sudah pindah jauh sekarang. Sekarang, keluarga lo bisa
damai, Fan. Gak akan ada gangguan lagi. Gue gak mau hubungan keluarga lo rusak
kayak keluarga gue. Lo tau kan, nyokap gue mulai sakit-sakitan waktu tau bokap
gue selingkuh. Gue gak mau hal itu ke ulang lagi sama keluarga lo. Sampai gue
mati pun, gue tetep suka sama lo, Fan. Jaga diri baik-baik ya, Fan. Dah.. Salam
buat Fadli. Semoga lo langgeng sama dia. Bye..
Aldi.
Fanny menangis sejadi-jadinya. Tetes
demi tetes air matanya jatuh membasahi pipinya. Tak pernah ia bayangkan akan
begini jadinya. Ia semakin terpuruk di sisi makam Aldi dan Papanya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar