Jumat, 29 Januari 2016

Cerpen ~ My Lovely Cousin

MY LOVELY COUSIN

Aku ngerti Fan, aku tahu. Jadi kamu gak usah ngejelasin lagi. Intinya, kamu selingkuh kan? Fadli membuka suaranya setelah sekian lama terdiam. Lawan bicaranya kini hanya bisa menyedekapkan tangannya didada sambil menghela nafas. 

Aku harus ngomong apa sih lagi, Dli? Aku gak selingkuh sama siapapun. Apa sih yang harus aku lakuin supaya kamu percaya? Fanny mulai kesal dengan sikap kekasihnya yang mulai berpikir tidak rasional. Ia memang dekat dengan banyak teman laki-laki dikampusnya. Namun ia tak menyangka kekasih satu-satunya itu menganggapnya berselingkuh dengan banyak pria.
Kamu gak harus ngelakuin apapun kok! Hanya satu aja, kamu jujur. Toh aku gak akan marah, Fan.” Fadli masih bersikeras dengan argumennya, ia juga tak suka melihat Fanny dekat dengan banyak teman yang lebih dominan laki-laki itu.
Fanny menoleh tajam ke arah Fadli.
Aku udah jujur, Dli. Gibran itu sahabat aku!” Nada suara Fanny mulai terdengar keras.
Ck! Aku gak mau ngomong lagi sama kamu, sebelum kamu jujur sama aku. Karena gak ada sahabat yang saling mencium! Kata Fadli keras. Fanny menunduk lemas.
Hai, Fan! seorang cowok tinggi dengan kulit putih melambai ke arah Fanny, ia datang menghampiridan menyapa sambil mencium pipi kanan dan kiri Fanny. Kini Fadli yang harus menghembuskan nafas dan membuangnya keras-keras karena tak suka melihat kekasihnya disambar tiba-tiba oleh pria yang tak ia kenal.
“Siapa lagi, sih Fan? Kamu se-famous itu ya sampai banyak orang yang mudah mendekati kamu?” Fadli beranjak dari duduknya meninggalkan Fanny yang masih ternganga menerima perlakuan barusan.
Fadli!Teriak Fanny sambil menatap kesal pada laki-laki yang baru datang itu. Seketika, tangan cowok itu meraih tangan Fanny.
Dia kenapa sih? Aneh! Katanya lalu duduk bersandar di samping Fanny.
Jelas dia terlihat aneh, gimana gak aneh ngeliat pacarnya di sambar cipika-cipiki sama cowok keren kayak lo! Fanny menggerutu sambil mengusap wajahnya.
Gue keren? Ah, benar. Tapi kenapa gue masih jomblo juga ya, Fan?
Lo tanya sama nenek lo, kenapa lo masih jomblo! Fanny pergi meninggalkan cowok di sampingnya.
Fan.. Fan... Nenek gue kan nenek lo juga! Fan.. Berusaha mengejar Fanny.
***
Tiba-tiba ponsel Fanny berdering. Ia merogoh ponsel di saku celananya.
Halo, Ma..”
Fan, gimana Mas-mu udah dikampus? Tanya Mamanya Fanny.
Udah, Ma. Dan Mama tau gak, aku hampir aja putus sama Fadli, gara-gara Mas Aldian cipika-cipiki sama aku. Ngapain sih dia ke kampus aku?
Dia mau jemput kamu katanya. Sudah lah, kasian kan jauh-jauh dari Yogya, cuma demi jemput kamu.
Iya sih. Tapi caranya itu lho, kan bisa bikin orang salah paham, Ma.
“Kamu jelasin aja sama Fadli, kalo dia sepupu kamu yang baru datang dari Yogya..
Iya.. Iya..
Yaudah ya Fan. Dah..” Ibu Fanny mengakhiri pembicaraan.
Fan! Ayo. Aldian menghampiri Fanny dengan motor merahnya.
Cowok gue ntar marah lagi, Mas.
Udah biarin, biar sama-sama jomblo kita. Ayo..
Fanny segera naik ke motor Aldian dengan pasrah. Bagaimana pun juga ia tak bisa acuh terhadap sepupu yang baru datang dari Yogyakarta ini.
Makan dulu ya. Gue kangen bakso deket sekolah lo. Aldian segera mengarahkan motornya ke tempat bakso yang dimaksudnya.
***
Fanny dan Aldian sudah berada ditempat bakso langganan Aldian sebelum ia memutuskan untuk kuliah di kota pelajar, Yogyakarta. Fanny pun sedikit tak menyangka bahwa kakak sepupunya akan datang ke kampusnya dan hampir membuat Fadli, kekasihnya mengakhiri hubungan mereka.
Dua tahun meninggalkan kota Jakarta tak membuatnya berubah dari yang sebelumnya. Memiliki tubuh yang tegap dengan wajah yang tampan, ditambah penampilannya yang stylish membuat banyak wanita ingin menjadi pujaan hatinya. Sayang, tak ada satupuny yang berhasil memikat hatinya.
Aldian masih seperti dua tahun lalu yang selalu mengganggu hubungan Fanny dengan pacar-pacarnya terdahulu. Motto Aldian adalah "HIDUP JOMBLO SAMPAI SUKSES" yang masih lekat terngiang di otak kanan Fanny.
Lo ngapain ke Jakarta, Mas? Gak bilang-bilang lagi! Fanny membuka percakapan.
Gue mau magang disini, di kantor bokap lo.” Jawab Aldian.
Jauh banget. Emang di Yogya kehabisan lahan magang?
Ya.. Enggak. Gue juga kangen sama keluarga lo, udah lama nggak datang kesini. Dan.. Gue juga kangen sama nyokap gue.
Fanny terdiam mendengar pernyataan Mas Aldian yang umurnya 1 tahun lebih tua darinya.
 “Oh. Terus kapan lo mau kesana? Apa mau gue anterin? Ajak Fanny ragu-ragu.
Boleh. Kalo bisa hari ini kita kesana, gue udah kangen banget. Emang anak durhaka gue, dua tahun baru bisa nengok nyokap. Katanya sedikit bergurau.
Ya.. Nyokap lo juga pasti ngerti, lo sibuk disana. Yang penting kan, sekarang lo bakal dateng kesana.
Iya sih. Berarti kita ke toko bunga sama air mawar dulu ya?
Biasanya di tempat pemakaman ada yang jualan kok.
***
Fanny dan Aldian datang ke pemakaman Ibu Aldian yang meninggal pada dua tahun lalu sebelum Aldian memutuskan kuliah di Yogyakarta. Ibu Aldian yang sakit karena Kanker Rahim yang dideritanya, membuat Aldian harus mengikhlaskan kepergian Ibunya yang genap berusia 50 tahun.
Air mata Aldian tumpah saat mengenang hidupnya dulu bersama Ibunda tercinta yang terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Fanny dengan baik, mengusap punggung Kakak Sepupunya memberi support agar selalu tabah mengikhlaskan kepergian Ibunya yang sudah tenang berada di sisi Sang Pencipta.
***
Kamu tidur di kamar tamu ya, Di. Kata Papanya Fanny saat makan malam.
Gak di kamar Fanny aja, Om? Dulu kan sering tidur sama Fanny, Putri dan Meli, Om.
Itu waktu gue masih kelas 4 dan lo, Mbak Putri dan Mbak Meli kelas 5  SD, ya Mas. Enak aja! Fanny terlihat jutek menanggapi pernyataan Aldian. Yang di jutekin malah terkekeh di balik tundukannya.
Aldi, Aldi..  Oh iya, bagaimana dengan kakakmu di Yogya?" Tanya Papa Fanny.
Baik kok, Om. Oh iya, disini Aldi cuma 3 bulan kok, Oom. Sampe masa magang aja.Jawab Aldian.
“Langsung pulang kalo udah selesai. Jangan lama-lama disini. Rusuh.” Sahut Fanny.
“Lo kenapa sih, Fan? Sensi banget sama gue.” Jawab Aldi. Fanny menjulurkan lidahnya meledek.
***
Keesokan harinya. Fanny datang ke kampus di antar oleh Aldian. Setibanya di kampus, Fanny segera mencari Fadli. Namun, tak ia temukan batang hidung kekasihnya. Ia juga sempat bertanya pada teman-temannya, dimana sosok kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir.
“FADLI!” Seru Fanny senang, karena mendapati Fadli baru keluar dari perpustakaan. Ia pun menghampiri dan menggandeng tangan Fadli seperti biasanya. Fadli hanya diam tanpa merespon Fanny.
“Fadli.. Kok cuek sih?”
“Apa lagi sih, Fan?”
“Masih marah?”
“Siapa yang gak marah lihat pacarnya di cium sama orang lain? Aku aja gak pernah boleh nyium kamu.”
“Oke. Aku jelasin sekali lagi ya. Gibran nggak nyium aku, dia niup mata aku waktu aku kemasukan debu. Kamu bisa tanya sama seisi di dunia ini.”
“Dan kemarin?” Tanya Fadli. Fanny berpikir sejenak, sebenarnya ia suka melihat kekasihnya ini cemburu, namun lama-lama tak juga ia mengerjainya.
“Kemarin.. dia itu sepupu aku, baru datang dari Yogya. Mau magang  di kantor bokap, namanya Mas Aldian. Udah dong, nggak usah marah lagi..” Fanny menggelayut manja.
“Kamu centil sih. Makanya semua orang bisa deketin kamu semaunya mereka.”
“Janji deh, nggak diulangi.”
“Sungguh?”
Fanny mengangguk.
“Ayo ah..”
***
“Mas.. Ajarin dong. Susah nih tugasnya..” Fanny melongokan kepalanya dari balik pintu. Didapatinya Aldi sedang mengetik di laptopnya dengan banyak file dimeja belajarnya.
“Udah gede juga, masih aja nanya-nanya.” Jawab Aldi santai.
“Mas..” Fanny masuk dan duduk di tepi ranjang kamar tamu, yang kini menjadi ranjang sementara Aldian.
“Apa?”
“Kenapa sih, lo gak punya pacar? Lo kan cakep, Mas. Pasti di kampus lo, banyak yang mau sama lo.”
“Gue gak butuh siapa-siapa, Fan. Gue mau fokus dulu sama kuliah gue.”
“Emang kalo pacaran, ganggu kuliah ya?”
“Emangnya lo, taunya cuma pacaran, ngoleksi mantan mulu.”
“Siapa bilang? Ih gue udah nggak gitu lagi tau! Makanya, lo jangan ganggu hubungan gue sama yang ini, gue udah mau setahun sama dia.” Ujar Fanny bangga.
“Masa?”
“Beneran! Terus, kalau tipe cewek yang lo suka kayak apa, Mas?”
“Ehm...” Aldian seketika menghentikan aktifitasnya, sambil terpikir pertanyaan dari Fanny.
“Lama lo mikirnya, Mas.”
“Ehm.. pokoknya.. gue suka sama cewek yang gak banyak nuntut, terus baik, murah senyum, gak aneh-aneh, dan pintar memasak.”
“Ehm.. standar ya?”
Aldi mengangguk.
“Temen gue banyak tuh, Mas. Mau gue kenalin gak?”
“Seksi nggak?” Jawabnya, sambil melanjutkan aktifitasnya.
“HAH?” Fanny terkejut.
“Kalau nggak seksi nggak mau ah.”
“Kenapa?” Tanya Fanny penasaran.
“FANNY..... Ada Fadli di bawah, Nak..” Teriak Mamanya dari lantai satu.
“Ish.. ngapain sih malem-malem kesini?” Gerutu Fanny.
“Kenapa? Dia kan cowok lo?”
“Gue banyak tugas, Mas. Gue kebawah dulu ya..” Fanny pergi.
***
Di kantor tempat Aldi Magang. Aldi mulai melihat kenyataan antara teori yang selama ini di pelajari di kampusnya, dengan kegiatan yang ia lakukan hari ini. Tak jauh berbeda memang, sehingga Aldi yang memang pandai, mudah menyesuaikan diri dan banyak membantu menyelesaikan tugas dengan baik.
“Permisi..” Sapa seorang wanita cantik berkemeja abu-abu dan di tunjang dengan sepatu wedges merah. Aldi pun menoleh ke arahnya.
“Iya, ada apa ya?”
“Kamu anak magang ya? Bisa minta tolong gak?”
“Oh.. bisa.. bisa.. ada apa ya, Bu?” Jawab Aldi terpana.
“Ini.. tolong lengkapin persyaratan perekrutan karyawan baru ya.. Kamu ke ruangan Pak Bahri untuk membantunya. Saya ada meeting 5 menit lagi. Tolong ya.. bisa kan?” Pintanya.
“Oh.. Bisa, Bu..”
“Makasih ya.. AL-DI-AN..” Katanya mengeja nama Aldian di name tagnya.
“Iya, Bu MI-RAN-TI.. woow..” Kata Aldi tersenyum sambil membaca nama wanita cantik di name tag, tepat di dada kirinya.
“Saya permisi ya..” Ibu Miranti pergi meninggalkan Aldian.
“Iya, Bu.. Waw.. Cantik.. Dadanya juga.. Haha..”
***
“APA? LO SUKA SAMA KARYAWANNYA PAPA??” Kata Fanny terkejut ketika Aldi membisikan sesuatu pada Fanny.
“Ssst... Ssst... Berisik banget sih lo!” Aldi membekap mulut Fanny. Lalu melepaskannya.
“Lo gila?”
“Ya emangnya kenapa? Dia cantik. Dan yang pastinya...”
“Dadanya.. Sst.. sst.. udah.. udah.. Gue gak mau dengar! Omes banget sih lo, Mas.. Emang lo gak bisa nilai orang dari yang lain, apa? Kenapa harus dari..... ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya memangnya kenapa? Gue suka. Wajar dong, gue cowok.” Katanya sambil merebahkan tangannya di bahu Fanny.
“Pokoknya gue gak suka ya kalau lo naksir sama karyawan Papa yang sok seksi itu.. cari yang lain lah, Mas..”
“Siapa? Lo?”
“Hah?” Fanny terperanjat kaget.
“Nggak mungkin, kan?”
Fanny menghela napas.
***
Aldian menuruni anak tangga lalu menghampiri meja makan untuk makan malam bersama keluarga Fanny.
“Malam Om.. Tante..” Sapanya.
“Tumben lo nyapa?” Sahut Fanny.
“Yah... emangnya gak boleh nyapa? Oh iya Om, ada pegawai minta saya lengkapi data karyawan yang baru. Terus katanya kalau udah selesai, suruh di taro di meja kerjanya. Tapi saya gak tau meja kerjanya, Om. Gimana ya?” Tanya Aldi sambil menyendok nasi.
“Ehm.. memang siapa yang minta tolong?” Jawab Oom Indra.
“Bu Miranti..”
 “Ehg.. Kamu letakkan saja di meja kerja saya. Karena semua langsung saya lihat.”
“Oh gitu..”
“Kenapa lo, Mas? Kesempatan mau ketemu Bu Miranti lagi, ya? Gak usah genit gitu deh, dia gak bakal suka sama lo!” Sindir Fanny.
“Uhuk.. uhuk..” Indra tersedak.
“Minum dulu, Pa.. Papa sih makannya buru-buru.” Lidya memberikan segelas air.
“Kenapa, Om?” Tanya Aldi menyelidik.
“Fanny. Kamu ini ada-ada aja.. Sudah lanjutkan lagi makannya.” Tambah Lidya.
“Dia kan naksir sama Bu Miranti, Ma.. Katanya Mas Aldi sih, Bu Miranti itu.. AWWW....” Fanny menjerit kesakitan. Kaki kirinya ditendang sengaja oleh Aldian.
“Kenapa, Fan?” Tanya Aldian sambil melototkan matanya. Fanny memanyunkan bibirnya yang manis.
***
“Kenapa sih Mas harus Ibu-ibu?”
“Ibu-ibu apa? Dia masih muda. Eh.. lo yang bilang gue harus punya cewek. Ya dia pilihan gue.” Jawabnya santai. Aldi duduk di tepi ranjangnya.
“Pokoknya, besok lo liat aja. Gue pasti bisa menaklukan Ibu Miranti yang cantik.. haha.” Ujar Aldi yakin.
Fanny menoleh. Ia tak percaya kakak sepupunya masih bersikeras mempertahankan pendiriannya. Fanny menghampiri Aldi.
“Mas, tapi lo bisa cari yang seumuran sama.... Awww...” Fanny menubruk Aldi. Fanny menatap Aldi. Tubuh Aldi tertindih Fanny.
“Oke.. gue mau cari yang seumuran. Tapi.. sama lo..” Aldi mengerlingkan matanya.
“Ma..Maksudnya?” Fanny terbata-bata.
“Gue suka sama lo, bahkan dari dulu. Waktu kecil, kita sering kan tiban-tibanan kayak gini? Saat beranjak SMA, dan kita udah gak boleh tidur bareng, gue sadar.. Ternyata, gue suka sama lo.”
“Mas.. lo becanda, kan?”
“Nggak.. Dan gue yakin, lo juga suka kan sama gue?”
“Ah, mana mungkin, lo tau darimana?”
“Buktinya, lo gak mau bangun dari tubuh gue?”
“Ehm?” Fanny tersadar, Ia segera bangkit dari tubuhnya Aldi, dan Fanny terlihat salah tingkah.
“Jadi?”
“Ehm...” Fanny menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menutup wajahnya lalu pergi keluar dari kamar Aldi. Aldi tertawa bahagia.
***
Keesokan harinya. Selesai mengantar Fanny ke kampusnya, Aldi melaju ke kantor tempatnya melaksanakan tugas Praktek. Dilihatnya dari jauh, 5 detik lagi lampu hijau akan berakhir, ia segera melajukan motornya dengan cepat.
“Ah sial..” Katanya kesal karena lampu hijau telah berubah menjadi merah.
Para pengendara lain pun ikut menunggu berakhirnya lampu merah agar bisa melanjutkan perjalanan mereka. Tak sabar menunggu, Aldi melihat-lihat sekitar. Seketika ia menajamkan penglihatannya, ia cukup terkejut melihat Indra satu mobil dengan sosok yang ia kenal. Ibu Miranti. Ya. Ia yakin, wanita cantik yang mengenakan blus oranye itu pasti Ibu Miranti, pegawai yang seksi nan cantik satu mobil dengan Indra. Astaga.
Lampu merah berubah kembali menjadi kuning lalu hijau. Mobil Indra segera melaju. Aldi pun mengikutinya dibelakang.
***
“Kita teruskan minggu depan.” Dosen mengakhiri materi kuliah. Semua mahasiswa pun berhamburan keluar kelas.
“Fan.. kita jadi nonton kan?” Tanya Fadli.
“Ehm.. Jadi.. ayo..”
***
“Permisi..” Aldi memasuki ruang kerja Indra. Tak ia temukan sosok Om-nya  disana. Ia pun segera meletakkan berkas-berkas di atas meja kerja Indra.
“Pantes, kemarin gue bahas Bu Miranti dia langsung keselek. Dasar bandot!” Aldi mengintip Indra sedang berbincang dengan Miranti.
“Iya. Tapi saya gak mungkin nikahin kamu. Kamu tahu, aku punya anak yang sudah dewasa. Bagaimana perasaannya nanti, kalau Papa yang dia sayang, menikah lagi. Lagi pula, bagaimana dengan istriku?”
“Mas.. Kamu tuh harusnya berpikir, bagaimana nasib aku selanjutnya. Apa aku harus jadi selingkuhanmu sepanjang hidupku? Aku juga ingin bahagia, Mas..”
Aldi benar-benar membulatkan matanya mendengar percakapan Indra dengan perempuan yang lagi-lagi ia tebak pasti Miranti. Ia tak menyangka, Om yang menjadi panutannya, tega mengkhianati Tanta Lidya dan Fanny. Aldi pun segera keluar dari ruangan Indra.
***
“Kita mau nonton apa?” Tanya Fadli.
“Terserah kamu deh..” Fanny sibuk dengan handphonenya. Ia menunggu balasan pesan dari Aldian untuk mengingatkan bahwa Aldian tidak boleh berbuat yang macam-macam pada pegawai Papanya.
“Mas Aldian kok gak bales, sih?” Keluhnya dalam hati.
“Fan.. Ayo..”
Fanny mengangguk. Fadli dan Fannya pun masuk ke teater 3 dan menuju kursi di tengah.
***
“Aduh....” Miranti tiba-tiba tersandung, Aldi yang berada di dekatnya segera menopang tubuh Miranti.
“Ibu gak apa-apa?”
“Nggak.. Makasih ya..” Miranti duduk di kursi kantin.
“Ibu kenapa? Kok.. wajahnya sedih?” Aldi mengikuti Miranti.
“Nggak.. Mungkin saya lagi kecapekan aja.”
“Oh.. Mau saya pijitin?”
“Boleh.. Emang kamu bisa mijit?”
“Bisa..”
Aldi bersiap-siap mengambil posisi untuk memijit Miranti. Miranti sendiri sibuk dengan handphonenya. Aldi mengangkat ibu jari ke arah temannya agar bersiap memotret dirinya.
“Ibuuuu...” Mulut Aldi sedikit di monyongkan, terlihat seperti mencium Miranti.
“Kenapa, Di?” Miranti menoleh ke arah Aldi.
“Ckrek!” Foto pun terjepret.
***
“Filmnya kocak ya, Fan. Aku suka waktu cowoknya beraksi, eh.. ternyata mau nyium ceweknya.”
“Ehm.. Iya..” Jawab Fanny sekenanya.
“Fan... Kita udah pacaran berapa lama, sih?”
“Kenapa emang?” Fanny masih fokus dengan handphonenya.
“Kamu tahu aku sayang banget sama kamu, Fan.. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat mempertahankan hubungan. Setelah kita wisuda, dan bekerja. Aku janji, aku akan melamar kamu, Fan..”
Fanny menoleh ke arah Fadli. Ia takjub dengan ucapan Fadli. Ia tak menyangka kini ia memang sudah dewasa, ia tak pernah berpikir untuk bosan ataupun mencari pengganti Fadli. Ia hanya ingin memastikan bahwa Fadli lah yang akan menjadi masa depannya.
“Kamu mau kan, Fan?” Tanya Fadli memastikan.
Perlahan tapi pasti, Fadli mendekatkan dirinya ke arah Fanny. Fanny terpaku melihat apa yang akan dilakukan Fadli dihadapannya. Dikecupnya bibir Fanny sekejap.
“Aku sayang banget sama kamu, Fanny..”
Fanny menunduk salah tingkah. Baginya ini adalah pertama kalinya ia dicium oleh seorang laki-laki. Fadli membuat perasaannya berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Perasaannya memang gembira, namun dirinya gelisah.
Suara ringtone pesan di handphonenya Fanny seketika mencairkan suasana yang mulai tegang saat itu. Fanny segera membacanya.
From: Mas Aldi
Kalo lo liat, pasti lo kaget....
“Apaan sih.. nih orang.”
Sebuah gambar pun dilihatnya. Betapa terkejutnya Fanny, mendapati Aldi mencium seorang wanita. Mulut Fanny ternganga tak percaya.
“Siapa, Fan?” Tanya Fadli yang ikut-ikutan panik melihat kepanikan Fanny.
“Pulang.. Pulang.. Dli..”
“Kamu kenapa sih?”
“Ayo cepat pulang...”
Fadli pun segera melajukan mobilnya.
***
“MAS... MAS ALDI” Fanny berteriak.
“Ada apa sih, Fanny? Kamu kok teriak-teriak gitu?” Tanya Lidya.
“Mama.. Mas Aldi mana?”
“Belum pulang, Fan.. Kenapa sih?”
“Ah...” Fanny pergi.
“FANNY.. Kamu mau kemana lagi?” Tanya Mamanya.
Fanny mengeluarkan handphonenya dan segera menghubungi Aldi.
“Halo.. lo dimana, Mas?”
“Kenapa sih? Marah-marah gitu?” Jawabnya santai.
“Dimana cepetan!”
“Gue di pasar malam. Yang di Jalan Kenari. Kenapa emang?”
“Tut.. tut.. tut..” Sambungan telepon terputus.
***
“FANNY....!” Teriak Aldi, saat melihat adik sepupunya baru datang. Yang di panggil pun menoleh. Fanny segera menghampiri Aldi di depan wahana kincir.
“MAS... LO NGAPAIN SIH PAKE...” Ucapannya terpotong. Aldi segera menariknya ke dalam kincir.
“OKE BANG, PUTER!!” Teriak Aldi.
“Mas.. Ngapain naik ginian sih?”
“Daripada gue naik sendirian, atau.. gue di temenin Bu Miranti?” Ledek Aldi.
“Ih.. Gue gak tau deh harus ngomong apa sama lo! Kok lo suka sih sama dia? Dia kan... Janda..” Fanny menunduk.
“Emang kenapa? Lo yang bilang, kalo gue harus punya cewek.”
“Tapi gak dia juga!”
“Makanya lo harus jadi pacar gue!”
Fanny tertunduk malu. Sebenarnya perasaannya mulai hadir semenjak Aldi datang ke rumahnya, bahkan jauh sebelum itu. Dua tahun sebelum Ibunya meninggal, Fanny dan keluarganya sering menjenguk Ibunya Aldi yang sakit. Beberapa kali, Fanny melirik ke arah Aldi, namun Aldi terlihat cuek, bahkan tak mempedulikan dirinya.
Kincir pun mulai di putar. Aldi berdiri saat kincir di putar.
“Lo ngapain sih? Gak seimbang ini. Ntar kalo jatuh, gue syukurin lho!” Ujar Fanny kesal.
“Coba deh. Enak loh..” Aldi duduk, dan mencoba membantu Fanny mengikutinya.
“Jatuh gak nih?”
“Nggak!”
Fanny berusaha berdiri mengikuti Aldi. Fanny merasakan sesuatu yang berbeda, mencoba menyeimbangkan diri di kabin kincir, dan diputar.
“GREEEK...!” Kincir terhenti. Fanny dan Aldi terjebak di paling atas. Fanny jatuh terduduk di pangkuan Aldi. Aldi memandangi Fanny sangat dalam, begitu pun Fanny. Matanya yang berbinar, seolah mengharapkan lebih dari sekedar tatapan Aldi.
“Fan... Gue suka sama lo. Perasaan gue bukan sekedar sepupu, gue ingin lebih dari itu.”
Fanny tak bisa menjawab pertanyaannya. Di perasaannya kini hanya ada Fadli. Namun, ia tak bisa menolak hadirnya perasaan lain untuk sepupunya itu.
“Gak bisa, Mas. Gue itu sepupu lo. Sampai kapanpun kenyataan itu gak bisa diubah.”
“Banyak yang sepupuan, tapi pacaran bahkan menikah, Fan. Kenapa harus takut?”
“Kalau lo nekat, kita di hujam sama semua orang, Mas. Sama orangtua gue, bokap lo, dan seluruh keluarga yang lain. Kita bisa dipecat dari keluarga.”
“Gue gak peduli. Bertahun-tahun gue tahan perasaan ini, sampai akhirnya gue memutuskan untuk jujur sama lo. Dan sekarang lo nolak gue, rasanya sakit, Fan!”
“Lebih sakit mana, kalau kita putus karena gak direstuin keluarga? Lo itu anak dari kakaknya nyokap gue, Mas! Lo harus sadarin hal itu!”
“Percuma gue datang jauh-jauh magang kesini. Padahal tujuan gue untuk ungkapin perasaan ini. Tapi, lo gak punya rasa buat gue.” Aldi menunduk.
Fanny bingung menghadapi dirinya saat ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Fanny memberanikan dirinya merangkul pundak Aldi dan memeluk Aldi.
“Maafin gue, mas.” Ujarnya dalam hati.  
***
Semenjak kejadian tadi malam, Aldi dan Fanny tidak bertegur sapa. Keduanya tampak malu dan enggan berkomentar.
“Om.. Saya.. Ingin mengakhiri magang disini.”
Pernyataan Aldi yang tiba-tiba, membuat semua orang menatap penuh tanya.
“Kenapa, Aldi?” Tanya Indra.
“Saya... Naksir sama pegawai Om, namanya Bu Miranti. Dia selalu bikin saya jantungan, Om. Saya gak kuat di tatap sama Bu Miranti.”
“APA??” Tanya Indra terkejut.
“Apa maksud kamu?” Tambahnya.
“Saya mencoba mendekati Bu Miranti, tapi dia menolak saya, Om. Padahal, awalnya saya pikir Bu Miranti suka sama saya. Ternyata dia suka sama orang lain.”
“Bu Miranti itu siapa, Di?” Tanya Lidya.
“Sekretarisnya Om Indra, Tante..”
“Sekretarisnya? Sejak kapan Papa punya sekretaris perempuan, Pa?”
“Ehg.. Baru-baru ini, Ma..” Jawab Indra tergagap.
“Om.. Bisa bantu saya gak, untuk mendapatkan Bu Miranti? Saya pusing Om buat deketin Bu Miranti, susah banget..”
“Memang usianya berapa tahun, Di?” Tanya Lidya.
“NGGAK!” Indra menggebrak meja makan. “Kamu gak boleh mendekati Miranti. Miranti itu sudah berusia 28 tahun. Mau jadi apa kamu mendekatinya?”
“Om.. Dalam hukum maupun agama, kan gak ada yang melarang kita mencintai orang yag lebih tua kan? Menurut saya sah-sah saja.”
“TIDAK!” Bentak Indra.
“Kenapa, Om? Alasannya apa?”
“Dia sudah mempunyai anak! Bagaimana bisa kamu membesarkannya? Sedangkan kamu saja belum lulus kuliah!”
“Pa.. Menurut Mama, gak ada salahnya. Lagi pula Aldi kan hanya minta didekati, kenapa Papa yang marah-marah?”
“Tidak! Sampai kapanpun, Miranti tidak boleh dinikahi siapapun!”
“Kenapa, Om? Apa Om yang mau menikahi Ibu Miranti?”
Semua orang di meja makan menoleh ke arah Aldi. Termasuk Fanny.
“Maksud lo apa, Mas?” Tanya Fanny terkejut.
“Nggak.. gue cuma ngira aja. Abis Om posesif banget sih. Masa gue mau deketin Bu Mira gak boleh..” Katanya sambil meneguk minumnya.
“Sudah Di.. Jangan memperkeruh suasana saat makan. Ayo lanjutkan makan! Sudah Pa.. Jangan emosi.” Ujar Lidya.
***
“Fan.. Helmnya..”
Fanny membuka helmnya, lalu memberikan kepada Aldi.
“Mas, gue......”
“Kriing.. kring..” Ponsel Aldi berdering.
“Halo.. Bu Miranti..”
Fanny menghela napas. Mungkin tadi malam hanya bualan Aldi semata. Aldi lebih memilih Ibu Miranti dibanding dirinya. Fanny segera berlari meninggalkan Aldi.
“Iya Bu, sama-sama. Ya.. saya pikir memang itulah cara yang terbaik. Daripada Ibu hanya menunggu yang belum pasti. Kapan Ibu take-off? Oh.. gitu. Oke..” Aldi mengakhiri teleponnya. Dia tersenyum lega.
***
“Aku harus menikahi Miranti. Apapun tanggapan Lidya dan Fanny, aku tidak peduli. Miranti harus menjadi istri keduaku sebelum orang lain melamarnya! Termasuk Aldi!” Indra menuju ruangannya, mencari Miranti.
***
“Fan..” Aldi mendekati Fanny saat Fanny di dapur.
“Nggak, Mas.. Nggak! Lo pikir gue cewek apaan? Lo udah tau gue sepupu lo, lo malah bilang suka sama gue, terus kalau nanti kita pacaran, gak di restuin, lo ninggalin gue seenak jidat lo. Belum pacaran aja, lo bimbang, mau milih gue atau Bu Miranti yang seksinya ngalahin artis-artis baru. Mau lo apa, sih?”
“FANNY...” Teriak temannya dari ruang tamu.
“Gue eneg ngeliat lo!” Fanny menyikut Aldi lalu pergi menemui temannya.
“Gue kan mau jelasin. Gue mau balik ke Yogya. Kenapa dia marah-marah?”
***
“Miranti mana? Apa dia belum datang, hari ini?” Tanya Indra pada karyawannya.
“Nggak tau, Pak.. Biasanya, pagi-pagi sudah datang.”
“Pak.. Pak.. Bu Miranti, nitip ini ke saya.” Pegawai lain menyodorkan surat. Dengan cepat, Indra membuka surat itu lalu membacanya.
“APA? RESIGN? NGGAK BISA!” Indra meninggalkan karyawannya yang keheranan.
***
“Aduh.. Fanny.. Fanny.. Kenapa sih gue jadi sepupu lo? Kenapa lo harus jadi anaknya Tante Lidya? Dan kenapa Tante Lidya harus jadi adik Nyokap gue? Aaah.....” Aldi menggaruk kepalanya.
“Ini semua gara-gara Nenek sama Kakek gue nih. Kenapa harus lahirin Nyokap gue sebagai kakaknya Tante Lidya? Berat banget gue ninggalin Fanny disini.”
--Ponsel Aldi berdering--
            From: Fanny
            Jemput gue kalau emang kita mau jadian. SEKARANG!!!!!!
            “Hah? Fanny ngajakin jadian? Serius nih? Harus cepet-cepet nih. Suratnya? Ck! Bodo ah.. Gak jadi ke Yogya deh..” Aldi meninggalkan surat yang ia tulis untuk Fanny di mejanya.
***
“CIIIIT..... BRUUUUUUUKKK! BRUUUK! BRUUUK...!”
Tabrakan beruntun itu tak dapat menghentikan siapapun. Lima mobil dan dua belas motor pun hancur seketika, Fanny meratapi kemalangannya hari ini. Dua orang yang ia sayang kembali kepada Tuhan, Sang Pencipta. Fanny menyesali semuanya. Beribu tetes air matanya tak dapat mengembalikan sosok yang pernah ia cintai untuk kembali ke dunia ini. Fanny hanya bisa melihat Mamanya tergolek lemas tak berdaya menyaksikan orang yang telah menjadi suaminya ikut meninggal dalam kejadiaan naas tersebut. Fanny dan Mamanya benar-benar harus mengikhlaskan Aldi dan Papanya.
***
“Non.. Bibi temukan ini di kamarnya Mas Aldi..” Bibi menyodorkan surat kepada Fanny. Fanny segera membuka dan membacanya.
Buat: Fanny. Adik Sepupuku tersayang..
Dari: Mas-Mu yang paling guanteng sejagad raya.
Fanny.. Gue tau hubungan kita gak layak dipersatukan. Hubungan kita bakal jadi dosa yang mungkin gak di ampunin sama Tuhan. Gue emang suka, bahkan gue cinta sama lo. Tapi setelah gue pikir-pikir, gue lebih suka sama Bu Miranti. Bukan dari seksinya kok. Tapi dari hatinya. Gue berniat pulang ke Yogya dan nyari tempat magang lagi disana. Gue dan Bu Miranti memutuskan untuk menjalin hubungan.
Fan.. Gue tau, gue bodoh banget. Tapi gue akan lebih bodoh lagi kalau membiarkan bokap lo jadiin Bu Miranti istri yang kedua. Bokap lo berniat melamar Bu Miranti. Tapi.. Gue cegah dengan rayuan maut gue, dan dia sudah pindah jauh sekarang. Sekarang, keluarga lo bisa damai, Fan. Gak akan ada gangguan lagi. Gue gak mau hubungan keluarga lo rusak kayak keluarga gue. Lo tau kan, nyokap gue mulai sakit-sakitan waktu tau bokap gue selingkuh. Gue gak mau hal itu ke ulang lagi sama keluarga lo. Sampai gue mati pun, gue tetep suka sama lo, Fan. Jaga diri baik-baik ya, Fan. Dah.. Salam buat Fadli. Semoga lo langgeng sama dia. Bye..
Aldi.
Fanny menangis sejadi-jadinya. Tetes demi tetes air matanya jatuh membasahi pipinya. Tak pernah ia bayangkan akan begini jadinya. Ia semakin terpuruk di sisi makam Aldi dan Papanya.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar